Laman

Translate

Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan  Pekerja Migran Indonesia

Hari ini, 25 Oktober 2017, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) disahkan di Paripurna pukul 10.00. Jaringan Buruh Migran (JBM) yang terdiri dari 26 organisasi di dalam dan di luar negeri, telah mengawal RUU PPMI dari tahun 2010. Sudah tujuh tahun RUU  ini dibahas dan akhirnya disahkan. 

Kami mengapresiasi Panja RUU PPMI dalam menyelesaian RUU PPMI. Kami juga berterimakasih kepada seluruh pihak dan media yang terus memantau, mengawal RUU PPMI hingga disahkan.

Jaringan Buruh Migran (JBM) memandang ada perubahan signifikan dari RUU PPMI diantaranya yaitu: 
1. Definisi buruh migran dan anggota keluarga (darat dan laut) telah sesuai dengan konvensi PBB 1990.
2. Konvensi PBB 1990 masuk dalam konsideran, sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak, salah satunya kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi dan hukum.
3. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggungjawab pemerintah (sebelumnya PJTKI),  ini akan meningkatkan keterampilan calon pekerja migran tidak hanya formalitas, dan mengurangi biaya penempatan hingga 8 juta. 
4. Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan sejak dari desa.
5. Ada kejelasan pembagian kewenangan operator dan regulator (Kementerian dan Badan), serta pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, provinsi, daerah dan desa.
6. Rezim asuransi TKI diganti dengan BPJS.
7. Layanan LTSA di daerah-daerah, sehingga tidak harus dilakukan di Pusat. 
8. Menghapus KTKLN, kartu yang sering menjadi alat untuk pemerasan pekerja migran.
9. Penguatan peran Atase ketenagakerjaan di luar negeri.
10. Dalam endorse job order ada verifikasi agency dan calon pemberi kerja oleh Atase Ketenagakerjaan.
11. Pengurangan peran PJTKI.
12. Sanksi tidak hanya untuk korporasi tetapi juga untuk pejabat.
13. Pasal mengenai konflik of interest (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan).
14. Aturan turunan dibatasi dua tahun harus selesai. Sebelumnya ada amanat undang undang yang tidak dilaksanakan. 

Namun masih terdapat kelemahan antara lain :

1. Mekanimse penempatan masih harus melalui PJTKI, PRT belum bisa menjadi pekerja mandiri, masih harus melalui PJTKI.
2. Perjanjian kerja belum memastikan berlaku di kedua negara dan mekanisme penyelesaian sengketa belum memasukkan qoasi peradilan.
3. Jaminan sosial belum mencakup resiko yang sering dialami buruh migran yakni PHK sepihak dan gaji tidak dibayar.
4. Pelibatan peran serta masyarakat masih lemah, karena dalam pelaksanaan pengawasan pelindungan berkata “dapat” melibatkan masyarakat.
5. Untuk sanksi pidana masih terdapat kelemahan :
a. Beberapa sanksi tidak mencantumkan hukuman minimal akibatnya tergantung hakim dalam memberikan keputusan
b. Korban menjadi korban karena memiliki peluang untuk dihukum
c. Pengurus korporasi tidak dipidana, 
d. Bantuan hukum diatur dalam pasal hak, tidak diatur dalam bab khusus bantuan hukum bagi pekerja migran Indonesia sehingga cara mengakses, lembaga mana yang harus dituju, berapa lama penyelesaian sengketa, apakah didampingi pengacara atau tidak belum belum.
6. Mekanisme penyelesaian sengketa, pemerintah tidak membuat kuasi peradilan dan berpotensi cuci tangan dari tanggungjawab perlindungan bagi buruh migran. (Pasal 77 ayat 3 : jika tidak tercapai kesepakatan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan).
7. Untuk kelembagaan, tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah : 
a. belum diatur mengenai tugas pemerintah daerah untuk menangani kasus. Diharapkan di LTSA hal ini dapat terwujud
b. Pemerintah pusat belum diamanatkan membuat sistem data yang terintegrasi dari desa hingga di luar negeri.
8. Usulan DPR ttg Dewan Pengawasan tidak diakomodir.

Kami berharap kelemahan ini dapat diatur di peraturan turunan dengan melibatkan buruh migran, organisasi/serikat buruh migran dan organisasi yang peduli kepada buruh migran.

Jakarta, 25 Oktober 2017

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights

Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani (SekNas JBM)  : 082124714978  /  Boby Alwy (SBMI) : 085283006797

PENEGAKAN DAN BANTUAN HUKUM DALAM RUU PPMI Apakah dapat Meningkatkan Akses Keadilan bagi Buruh Migran?

PENEGAKAN DAN BANTUAN HUKUM DALAM RUU PPMI
Apakah dapat Meningkatkan Akses Keadilan bagi Buruh Migran?

Pemerintah dan DPR RI telah melakukan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan rencananya dalam waktu dekat akan segera mengesahkan RUU tersebut. Salah satu isu krusial yang patut dikritisi dalam draft terakhir yang diberikan oleh Pemerintah dan DPR adalah terkait Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum untuk buruh migran.
-          Penegakan Hukum melalui Pemberian Sanksi
Di dalam batang tubuh RUU PPMI, pengaturan mengenai sanksi diatur melalui Pasal 74 yakni  sanksi administratif, Pasal 79-87 yang mengatur sanksi pidana.

a.       Korban menjadi korban karena memiliki peluang untuk dihukum

Sanksi pidana yang terletak di Pasal 79 yang memungkinkan buruh migran yang “dipaksa” atau “diperdaya” agar menyetujui dokumen palsu yang dibuatkan oleh calo atau penyalur, turut menjadi pihak yang dikenakan hukuman. Sanksi ini secara tidak langsung bertentangan dengan UU TPPO, Pasal 18 yang menyatakan bahwa “korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Seharusnya Pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan kesesuaian norma pengaturan yang ada di dalam RUU PPMI dan juga UU TPPO sehingga tidak mengandung makna yang bias.

b.      Pengurus Korporasi Tidak Dipidana

RUU PPMI secara tidak langsung mengatur bahwa korporasi hanya dapat dipidana denda dengan kata penghubung “dapat” dalam Pasal 87 “......dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. Penggunaan kata dapat tidak tepat dalam perumusan sanksi pidana karena memunculkan ketidakpastian. Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011, bagian penjelasannya angka 118: “Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.” Seharusnya kata dapat harus dihilangkan.

Selain itu, dalam UU No 12 Tahun 2011 juga diatur tentang pemberian sanksi pidana untuk korporasi yaitu:
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
    a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
   b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.

Seharusnya pemberian sanksi bagi korporasi berkiblat pada panduan yang sudah dibuat dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


Bantuan Hukum dan Penyelesaian Sengketa untuk Buruh Migran

Pasal 21 dalam Bab Pelindungan Selama Bekerja dan Pasal 6 dalam Bab Hak Calon dan/atau Buruh Migran menyebutkan tentang Bantuan Hukum di negara setempat. Namun tidak terdapat pasal khusus tentang bantuan hukum dan amanat peraturan turunannya, sehingga pelaksanaan Pasal ini pun masih ambigu. Bagaimana buruh migran dapat menggunakan haknya? Siapa yang harus ditemui saat buruh migran mendapatkan kasus? Berapa lama mereka harus menunggu hingga dapat didampingi oleh pengacara? Hal-hal tersebut di atas harus dibuat dalam peraturan teknis di tingkat kementerian dan juga wajib dibuat SOP pengaduan di masing-masing kantor perwakilan sehingga buruh migran yang menghadapi kasus dapat terjamin kepastian hukumnya.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN: Pasal cuci tangan Pemerintah dari tanggung jawab perlindungan

Pasal 77 ayat 3

(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan tuntutan dan/atau gugatan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jaringan Buruh Migran konsisten mengusulkan sistem quasi peradilan sebagai salah satu representasi kekuasaan kehakiman yang dapat menyelesaikan perselisihan antara buruh migran dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara cepat, sederhana, dan mudah. Lembaga ini dapat berada di bawah BNP2TKI di tingkat kotamadya atau kabupaten sehingga dapat diakses lebih mudah oleh buruh migran dan prosesnya tidak terlalu lama seperti di pengadilan. Dengan meminta buruh migran menggugat melalui pengadilan, sama halnya pemerintah tanggung jawabnya untuk melindungi buruh migran.

Untuk itulah, LBH Jakarta sebagai anggota Jaringan Buruh Migran meminta pemerintah dan DPR untuk membuka ruang diskusi lagi agar pasal-pasal penegakan hukum dan sanksi dapat diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan memastikan mekanisme bantuan hukum dan penyelesaian sengketa yang cepat dan berbiaya ringan untuk buruh migran.

Jakarta, 24 Oktober 2017


Eny Rofiatul: 085711457214

Pentingnya Kerja Bersama antar Instansi Pemerintah dan pelibatan Peran Serta Masyarakat sebagai Satu Team dalam Perbaikan Tata Kelola Migrasi Pekerja Migran Indonesia

Pentingnya Kerja Bersama antar Instansi Pemerintah dan pelibatan Peran Serta Masyarakat sebagai Satu Team dalam Perbaikan Tata Kelola Migrasi Pekerja Migran Indonesia

Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari 26 organisasi yang ada di dalam dan di luar negeri telah mengawal revisi UU 39/2004 dari tahun 2010 masih melihat tata kelola migrasi masih berjalan terpisah-pisah. Akar permasalahan kelembagaan adalah lemahnya peran dan fungsi kelembagaan serta minimnya kerja sinergis dan koordinasi di antara lembaga pemerintah. Beberapa problem terkait kelembagaan dari pelaksanaan UU 39/2004, di antaranya adalah: (1) peran pemerintah pusat dan daerah masih belum jelas ; (2) pelayanan migrasi kerja bagi PMI masih panjang, berbelit-belit dan berbiaya mahal; (3) peran perlindungan PMI lebih banyak diserahkan pada PPTKIS yang notabene adalah lembaga bisnis; dan (4) lemahnya sinergitas dan koordinasi kerja antar lembaga pemerintah yang terkait dengan migrasi PMI ke luar negeri.

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2014 terkait 19 kementerian/lembaga mengenai evaluasi atas rencana aksi kerja bersama untuk perbaikan Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terdiri dari beberapa bidang pembenahan yakni, Pertama. Pembenahan kualitas kelembagaan dan operasional PPTKIS baru mencapai 64% dikarenakan belum terlaksananya audit komprehensif (managemen, keuangan, kinerja) seluruh PPTKIS yang terdaftar. Kedua, pembenahan infrastruktur pemerintah dalam mendorong layanan dan perlindungan kepada BMI baru mencapai 55%. Hal ini disebabkan belum berfungsinya sistem Whistle Blowing di Kemenaker, belum ada satgas layanan dan perlindungan TKI di Perwalu dll. Ketiga, pembenahan infrastruktur bandar udara untuk menunjang perlindungan terhadap TKI, baru mencapai 56 persen. Hal ini disebabkan belum terbitnya SOP Pelaksanaan klarifikasi TKI bermasalah; Belum terwujudnya implementasi penugasan POLRI dalam pengamanan bandara; Belum terbitnya Permenhub yang mengatur pengalihan tanggung jawab penerbitan dan pengawasan kartu PAS bandar udara oleh Angkasa Pura, dll.

Tanggal 12 Oktober 2017, panja RUU 39/2004 atau RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) telah selesai di pembahasan tingkat I dan akan diteruskan di pembahasan tingkat II yakni di Paripurna untuk disahkan (25 Oktober 2017). Setelah 7 tahun pembahasan akhirnya RUU PPMI diselesaikan juga. Jaringan Buruh Migran mengapresiasi upaya pemerintah dan DPR untuk menyepakati point-point krusial yang menjadi perdebatan hingga 7 tahun, terutama di point kelembagaan yakni tugas Badan kepada menteri. Telah disepakati dalam draf RUU pertanggal 12 Oktober, Kepala Badan diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab melalui menteri.

Dalam RUU PPMI meskipun telah disepakati mengenai pembagian tugas regulator dan operator, termasuk didalamnya tugas, kewenangan dan sanksi bagi pejabat yang melanggar, pasal konflik of interest (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan)dan adanya layanan terpadu satu atap  (LTSA) untuk memudahkan koordinasi, namun kami masih melihat ada celah dalam RUU yang berpotensi bekerja secara terpisah-pisah. Belajar dari pengalaman  Filipina, dalam UU mereka termandatkan kata-kata “One country one team” . Potensi bekerja terpisah dapat dilihat pada misalnya dalam mencabut SIP2MI ( Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia). Meskipun dualisme dalam hal penerbitan dan pencabutan SIP2MI telah diakomodir dalam RUU PPMI, yang mana menjadi kewajiban badan, namun dalam RUU, Badan tidak dimandatkan untuk membuat peraturan terkait SIP2MI. Di sisi lain, pemerintah pusat memiliki tugas untuk mencabut SIP2MI. Sedangkan definisi pemerintah pusat adalah Presiden, Wakil Presiden dan Menteri. Definisi Badan sebagai lembaga non kementerian.


Berdasarkan permasalahan diatas, Jaringan Buruh Migran (JBM) menyerukan agar pemerintah menambah norma dalam peraturan perundang-undangan :
 
1. Membangun sistem pengawasan yang komprehensif dan dilakukan secara periodik. Dalam draf  RUU PPMI meski sudah dimandatkan untuk melakukan pengawasan, namun belum ada norma yang menyebutkan secara spesifik kata “periodik dan komprehensif” dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. artinya pengawasan yang ada dapat dilakukan sesekali dan berkala yang berdampak tidak maksimalnya implementasi dari UU.
2. Membangun basis data dan informasi yang terintegrasi mulai dari tingkat desa hingga luar negeri. Meski dalam RUU telah memandatkan pemerintah daerah membuat basis data namun belum ada pasal yang memandatkan tugas pemerintah pusat dalam membuat sistem database yang terintegrasi dari desa hingga luar negeri.
3. Membangun sistem penanganan kasus dan bantuan hukum yang terintegrasi. Dalam draf RUU meskipun telah disebutkan mengenai tugas pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi kerjasama antar instansi untuk menanggapi pengaduan dan penanganan kasus, namun tugas hanya di pemerintah pusat. Pemerintah daerah (Prov dan Kabupaten) tidak mempunyai tugas untuk menanggapi pengaduan dan penanganan kasus.
4. Layanan terpadu satu atap direkomendasikan untuk didekatkan pada yang dilayani. Meskipun dalam RUU telah dimandatkan LTSA di tingkat Prov dan Kab, namun seharusnya pelayanan LTSA didekatkan pada PMI yakni di tingkat kabupaten.
5.  Memastikan keterlibatan pekerja migran Indonesia, organisasi/serikat buruh migran dan organisasi yang peduli pada pekerja migran dalam penyusunan kebijakan yang ada baik ditingkat daerah hingga pusat. Pelibatan buruh migran dalam RUU masih tidak jelas. Meski di menimbang telah ada namun seakan-akan hanya tempelan dan di pasal RUU keterlibatan ini hanya pada pengawasan dengan kata “dapat”.

Jakarta, 24 Oktober 2017


Jaringan Buruh Migran

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights


Narahubung:

Savitri Wisnuwardhani (SekNas JBM)   : 082124714978

MENYONSONG DI SAHKANNYA RUU PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

MENYONSONG DI SAHKANNYA RUU PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
JAKARTA , 24 OKTOBER 2017


KSBSI adalah salah satu anggota Jaringan Buruh Migran yang secara aktif berjuang pada isu perlindungan sosial bagi buruh migran. Di UU 39/2004 Tentang Penempatan dan  Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, diatur mengenai perlindungan sosial namun skema perlindungan sosial yang ada bukan perlindungan sosial melainkan asuransi yang mana penyelenggaranya diserahkan kepada swasta. Akibatnya, klaim asuransi tidak dibayarkan secara maksimal oleh konsorsium TKI kepada buruh migran. Data BNP2TKI tahun 2014, klaim asuransi yang dibayarkan kepada buruh migran hanya mencapai 5,6%.  Sejak tahun 2012-2014 SBMI menerima aduan permasalahan BMI hanya 20% saja yang mengadu terkait klaim asuransi dan itupun tidak semua kasus klaim asuransi bisa dicairkan oleh konsorsium perusahaan asuransi karena terkendala masalah dokumen.[1] Dari kasus buruh migran migran dari Qatar, sebanyak 43 yang ter PHK, 37  orang menerima klaim asuransi  PHK Rp 7,5 juta, 5 diantaranya hanya mendapatkan Rp 3,5jt karena bekerja kurang dari 2 bulan. Untuk kasus Bin Laden, dari 106 kasus yang ditangani mendapatkan klaim PHK sepihak sebanyak Rp 7,5juta.

Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Berangkat dari hal tersebut bahwa warga Negara Indonesia tidak hanya berdomisili di dalam negeri tetapi juga diluar negeri, baik mereka belajar sebagai mahasiswa ataupun mereka sedang bekerja di berbagai sektor yang professional maupun yang sangat rentan.

Bekerja keluar negeri kadang kala bukan menjadi pilihan tetapi adanya unsur keterpaksaan karena tidak adanya lapangan kerja di dalam negeri yang dapat menampung mereka, sehingga tidak ada pilihan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan memenuhi syarat kerja yang dibutuhkan, bahkan mereka bekerja pada kodisi rentan tanpa jamianan sosial atau asuransi, membuat buruh migran sulit mendapatkan pengobatan ketika sakit, atau membayar lebih mahal dari yang seharusnya.

BPJS Ketenagakerjaan, mulai 1 Agustus menggantikan asuransi TKI dalam hal perlindungan Tenaga kerja  di luar negeri melalui Permen No. 7 tahun 2017, menjadi perbandingan adalah Asuransi TKI mampu menanggung 13 resiko Pekerja Migran, tetapi BPJS hanya menanggung 6 risiko, ini menjadi kemunduran perlindungan bagi TKI. Selain itu ada perlakuan diskriminasi terhadap Tenaga kerja di Luar negeri,  Buruh yang bekerja di Indoensia, mendapatkan jaminan kematian (JK), Jaminan Kecelakaan kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP), tetapi buruh mingan hanya diwajibkan pada 2 jaminan ( JKK dan JK) sementara JHT adalah opsional dan JP tidak di rekomendasikan sama sekali, itupun dapat ditanggung ketika posisi Buruh migran berada didalam negeri, sehingga kehadiran BPJS Ketenagakerjaan tidak menjawab kebutuhan buruh migran pada masa penempatan. Selain itu juga ada jaminan Kesehatan yang di kelola oleh BPJS Kesehatan.
Premi / iuran Jaminan Sosial juga memberatkan TKI, mereka dibebani biaya iuran Rp. 370,000,- (tiga ratus tujuh puluh ribu rupiah) sementara Buruh di dalam negeri untuk JKK dan JK ditanggung oleh pemberi kerja dan JHT buruh membayar 2 % dan 1%untuk Jaminan Pensiun, sementara jaminan sosial bagi TKI, buruh migran harus membayar 100% dari dua program yang seharusnya menjadi tanggungan majikan,

Buruh migran membutuhkan JHT dan JP kerena dimasa tua buruh migran sudah tidak sulit mencari kerja di luar negeri, karena usia juga karena kesehatan, sementara majikan banyak yang mencari tenaga kerja yang masih mudah dan gesit, sehingga dibutuhkan jaminan bagi mereka pada masa tua, untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk itu KSBSI sebagai anggota dari Jaringan Buruh Migran menuntut :

1.Tanggungan risiko untuk buruh migran di tambah, dari 6 risiko menjadi 13 risiko seperti sebelumnya
2.Biaya Premi menjadi tanggung jawab Negara melalui PBI atau majikan yang menanggung
3.BPJS membangun kerjasama dengan jaminan sosial di Negara tujuan
4.Pemerintah  membangun kerjasama dengan Rumah sakit Pemerintah di Negara tujuan
5.Negara menjamin prinsip Portabilitas untuk  peserta yang berada di luar negeri.
6.BPJS harus melakukan sosialisasi yang intensif ke kantong buruh migran tentang manfaat BPJS bagi buruh migran
7.BPJS harus mengevaluasi mekanisme untuk mendapatkan klaim (mekanisme klaim yang mudah dan cepat) prosedur dan tata cara klaim jelas tapi tidak applicable.
8.BPJS harus transparansi dalam penggunaan dana
9.Mekanisme pengawasan diperluas dengan melibatkan peran serta masyarakat ( organisasi Buruh, organisasi Buruh Migran dan organisasi pengiat Buruh Migran)


Jakarta, 24 Oktober 2017

Yatini Sulistyowasti ( KSBSI) : 085312303209

PENTINGNYA KONTRAKTUAL DAN PEMBIAYAAN DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

PENTINGNYA KONTRAKTUAL DAN PEMBIAYAAN  DALAM PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

SERIKAT BURUH MIGRAN INDONESIA
(SBMI)

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), yang juga menjadi anggota JBM (Presedium Legilasi) menyoroti pentingnya kontraktual dan pembiayaan penempatan pekerja migran dalam sistem perlindungan pekerja migran. Secara substansial di draf RUU PPMI tidak ada perubahan secara signifikan pasal yang mengatur kontraktual dengan UU 39/2004 yang lama. Misalnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak serta penyelesaian sengketa.  Perbaikan dalam RUU PPMI dalam hal ini adalah adanya verifikasi agency dan calon pemberi kerja yang dilakukan oleh atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk.

Berdasarkan aturan perundang-undangan yang terkait dengan ketenagakerjaan adalah kepastian berkontrak atau kontraktual. Ada dua jenis kontrak yakni Perjanjian Penempatan (Perjanjian antara calon pekerja migran dengan PPTKIS) dan perjanjian kerja (Perjanjian antara pekerja mogran dengan pemberi kerja). Untuk dua perjanjian tersebut persamaan terletak pada mengatur mengenai hak dan kewajiban antara calon pekerja Indonesia dan PPTKIS, mengatur mengenai kepastian bekerja (majikan tempat dibekerja, di negara mana, bekerja sebagai apa, biaya serta proses penempatan) serta mengatur mekanisme menyelesaian sengketa. Perbedaan keduanya terletak pada kondisi kerja, jam kerja, konsumsi dan tempat tinggal yang layak bagi pekerja migran.

Data SBMI mengenai pelanggaran kontraktual sepanjang 2014  - 2015, dari 734 kasus yang ditangani, hanya 9 pekerja migran yang menyimpan salinan dokumen Perjanjian Penempatan dan sisanya tidak pernah diberikan Akibatnya ketika sedang menyelesaikan sengketa  antara pekerja migran dengan majikan yang diwakili oleh  PPTKIS, tidak bisa diteruskan  ranah litigasi namun hanya diselesaikan dengan dengan  musyawarah/ mediasi yang hasilnya banyak merugikan pekerja migran. Di tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1501 dan hanya 65 kasus yang memiliki perjanjian penempatan.

Bahkan berdasarkan data yang dihimpun  oleh SBMI Malang, Wonosobo, dan DPN SBMI, ditemukan maraknya penipuan dengan modus penempatan pekerja migran  tanpa adanya sebuah perjanjian penempatan dan perjanjian kerja dengan kerugian mencapai 5 Milyar dan gagal berangkat.

Di dalam RUU PPMI telah disebutkan mengenai perjanjian penempatan. SBMI mengapresiasi upaya Panja RUU PPMI untuk memasukkan norma perjanjian penempatan sebagai dokumen penempatan. Banyak pihak terutama PPTKIS menolak perjanjian penempatan karena bila perjanjian penempatan diberikan kepada calon pekerja migran Indonesia akan ketahuan belangnya dan merugikan PPTKIS. Misalnya PPTKIS dalam perjanjian penempatan hanya boleh memproses penempatan maksimal 3 bulan. Biaya yang dibebankan kepada buruh migran tidak boleh melebihi ketentuan pemerintah. Selain itu PPTKIS diuntungkan dengan tidak adanya perjanjian penempatan dan menggunakan surat pernyataan sepihak yang dapat mempidanakan pekerja migran selama 6 bulan karena pekerja migran dianggap wan prestasi padahal bila mengacu pada perjanjian penempatan, calon pekerja migran dapat mengundurkan diri bila terjadi force mayeur.

Namun meski demikian dalam RUU PPMI masih ada kelemahan dalam kontraktual :
1.      Tidak ada norma yang memastikan perjanjian berlaku di dua negara. Dari pengalaman SBMI, kerap kali perjanjian kerja di negara asal tidak berlaku. Yang berlaku di negara tujuan yang lebih merugikan pekerja migran karena pekerja migran tidak memahami bahasanya/
2.      Tidak biligual (dalam dua bahasa)
3.      Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerja masih memakai musyawarah mufakat.

Pembiayaan
Kasus Overcharging ( beban biaya yang berlebih tidak sesusi dengan ketentuan pemerintah) marak karena pada prakteknya hampir keseluruhan pekerja migran yang ditempatkan oleh PPTKIS tidak pernah menandatangani perjanjian penempatan sehingga pekerja migran terbebani biaya yang berlebihan berdasarkan surat pernyataan yang dibuat sepihak oleh PPTKIS. Padahal didalam perjanjian penempatan ada norma mengatur soal pembiayaan yang sesusi dengan ketentuan pemerintah dan tata cara pembayarannya. Kalau seandanya PPTKIS memberlakukan perjanjian penempatan pekerja migran dan pejabat yang mennyaksikan penandatangan sudah bisa mengetahui terlebih dahulu.

Dari penanganan kasus overcharging yang ditangani oleh SBMI selama 2015 s/d 2017, hanya 40 buruh migran yang berkasus memiliki salinan perjanjian penempatan. Sisanya sebanyak 320 buruh migran tidak memiliki salinan perjanjian penempatan. Rata-rata dari buruh migran memiliki surat pernyataan surat pernyataan dari PPTKIS yang di buat secara sepihak dan tidak sama sekali sesuai dengan standart Permenaker No. 22 tahun 2014 ( Standart Kontraktual).

Berdasar data diatas, SBMI sebagai Anggota JBM (Presidium Legislasi) mendukung pemerintah menambahkan norma dalam perundang-undangan :
1.      Memastikan perjanjian kerja harus berlaku di dua negara
2.      Perjanjian kerja harus dilakukan dalam dua bahasa
3.      Perjanjian kerja harus jelas yuridiksi penyelesaian sengketanya
4.      PPTKIS yang tidak memberikan dokumen perjanjian kerja mendapatkan sanksi
5.      Memastikan PPTKIS menggunakan perjanjian penempatan untuk proses penempatan
6.      Memastikan dokumen perjanjian penempatan diberikan kepada pekerja migran dan anggotanya
7.      Memastikan pejabat di bidang ketenagakerjaan memahami isi perjanjian penempatan sebelum ditandatangani oleh pejabat tersebut
8.      Memastikan penandatanganan perjanjian penempatan oleh calon pekerja migran di layanan terpadu satu atap dan disaksikan oleh keluarga atau serikat buruh dengan mekanisme tripartit

Jakarta, 24 Oktober 2017


Hariyanto (Ketua Umum SBMI) / Presidium Legislasi  : 085259307953, 0822 9828 0638

RUU PPMI Harus Berdasarkan Standar Konvensi Pekerja Migran 1990


HRWG dan Solidaritas Perempuan:
RUU PPMI Harus Berdasarkan Standar Konvensi Pekerja Migran 1990              

[Jakarta, 24 Oktober 2017] Human Rights Working Group (HRWG) dan Solidaritas Perempuan (SP) sebagai anggota Jaringan Buruh Migran (JBM), memberikan apresiasi atas upaya DPR RI dan Pemerintah yang melibatkan masyarakat sipil dalam merevisi UU 39/2004 yang rencananya akan disahkan menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada 25 Oktober besok. Namun, penting bagi kami untuk menyampaikan bahwa secara substansi, UU PPMI tidak banyak berubah dibandingkan dengan UU 39/2004.

Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah adanya konsideran Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6/2012. Sebagai negara peratifikasi Konvensi, Indonesia wajib mengharmonisasi dan mengimplementasikan artikel-artikel dalam Konvensi Pekerja Migran 1990.

Dimasukkannya Konvensi Migran 1990 dalam konsideran UU PPMI, seharusnya menjadi komitmen pemerintah untuk mensinkronisasikan dan mewujudkan perlindungan pekerja migran Indonesia dan anggota keluarganya yang komprehensif berdasarkan Konvensi Migran 90. Namun, jika disandingkan dengan Konvensi Pekerja Migran 1990, aturan substantif yang tertera dalam undang-undang ini masih sangat jauh dari standar konvensi. Jangan sampai, Konvensi Migran 90 hanya menjadi konsideran hukum, tanpa secara konsisten termuat di dalam pengaturan UU PPMI.

Undang-Undang PPMI mengakui bahwa bekerja adalah hak setiap warga negara yang diakui dalam UU Dasar 1945. Namun, HRWG dan Solidaritas Perempuan menilai bahwa posisi pekerja migran dalam undang-undang masih diletakkan sebagai objek dan bukan subjek. Hal ini terlihat dari minimnya ruang keterlibatan Pekerja Migran yang dijamin di dalam RUU. Tak hanya itu, Pekerja Migran dalam hal ini Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih diharuskan mendaftar bekerja ke luar negeri melalui perusahaan swasta atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI).

Hal tersebut justru bertentangan dengan semangat dan substansi Konvensi dimana pekerja migran dapat memilih kepada siapa dan melalui cara apa dia bekerja karena kemerdekaan menentukan tersebut dijamin dalam Konvensi maka UU PPMI. Seharusnya, UU PPMI dapat memberikan jaminan kebebasan kepada pekerja migran dalam menentukan tujuan migrasi dan kepada siapa dia akan bekerja tanpa dibatasi dengan keharusan mendaftar melalui perusahaan swasta. Dengan kata lain pekerja migran belum dijamin hak-haknya untuk bekerja secara mandiri oleh pemerintah. Oleh karena itu Pemerintah harus membuat aturan turunan yang mengakomodir mengenai jaminan dan prosedur untuk pekerja mandiri.

Nisaa Yura, Koordinator Program SP menyatakan, mayoritas Perempuan Pekerja Migran bekerja sebagai PRT dan menjadi kelompok yang memiliki kerentanan berlapis karena sudah banyak terjadi kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang mereka alami di setiap tahap migrasi hingga menjadi korban perdagangan manusia. “Sudah seharusnya mereka menjadi subjek prioritas yang dilindungi oleh Negara dan bukan mengalihkan tanggungjawab perlindungan tersebut kepada swasta,” pungkasnya. “Mewajibkan PRT Migran untuk mendaftar melalui PPTKIS akan menciptakan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta, sehingga mereka terus berada dalam posisi rentan dan tereksploitasi,” lanjut Nisaa.

Pemerintah juga luput memahami bahwa migrasi sampai hari ini masih berwajah perempuan. Hal ini dapat terlihat dari tidak masuknya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di dalam konsideran RUU PPMI. Fakta bahwa PRT Migran banyak yang menjadi korban perdagangan orang juga tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Ini terbukti dari tidak terlihatnya sinkronisasi aturan antara UU PTPPO dengan RUU. 

Undang-Undang PPMI mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk menempatkan pekerja migran di negara tujuan yang telah memiliki peraturan ketenagakerjaan dan juga perjanjian bilateral dengan pemerintah Indonesia. Faktanya, Pemerintah Indonesia sendiri melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan karena telah mengirimkan pekerja migran tanpa adanya perjanjian bilateral atau MoU dengan negara tersebut.

Perjanjian bilateral Indonesia dengan Malaysia terkait pekerja informal telah berakhir sejak Mei 2016 namun belum juga diperbaharui hingga saat ini sementara jumlah pekerja migran yang bekerja disana terus bertambah. Hal ini menandakan pemerintah telah dengan sengaja membiarkan pekerja migran Indonesia bekerja diluar negeri tanpa adanya kesepahaman aturan mengenai pekerja migran Indonesia. Padahal MoU adalah salah satu bentuk perlindungan yang harus dimiliki untuk menentukan standar kerja layak, jaminan sosial, penetapan hak dan tanggung jawab, perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, serta mekanisme penyelesaian masalah antar kedua negara.

Standar konvensi juga sudah menyatakan bahwa kedua negara dapat melakukan perjanjian kerjasama untuk mereduksi dan menangani adanya pekerja migran ireguler termasuk pengaturan mengenai jaminan sosial pekerja migran dan anggota keluarganya. Kelak Pemerintah Indonesia harus lebih tegas dan berani dalam menentukan aturan dalam MoU sebagai bargaining position dan menjadikan posisi perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak negara.

Selain itu, HRWG dan Solidaritas Perempuan mendukung penguatan peran atase ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan pekerja migran di luar negeri yang telah diatur dalam UU PPMI. Namun demikian, kami tetap bersikap kritis dalam menyikapi pemilihan atase ketenagakerjaan di luar negeri. Pemilihan atase ketenagakerjaan harus beradasar kepada kompetensi dan bukan berdasarkan pada pangkat atau golongan pejabat publik.

Wike Devi, HRWG menjelaskan “Penguatan kapasitas dan fungsi diplomatic atase ketenagakerjaa sangat diperlukan mengingat beban berat yang dipikulnya untuk bertanggung jawab mendata, memverifikasi, memfasilitasi dan menangani perihal ketenagakerjaan di negara tujuan. Oleh karena itu adanya merit system dan peningkatan kapasitas ketenagakerjaan, HAM, dan gender mutlak harus diberikan kepada atase ketenagakerjaan.”

Kami mendorong dalam hal ini Kementerian Luar Negeri untuk melakukan hal serupa kepada staff Perwakilan RI diluar negeri mengingat pentingnya peran Perwakilan RI dalam melindungi pekerja migran dan anggota keluarganya sesuai standar Konvensi. Hal ini sangat penting mengingat masih adanya diskriminasi pelayanan dan perlindungan yang diberikan staff Perwakilan RI diluar negeri kepada pekerja migran berdasarkan status regular dan irrguler, bahkan dibandingkan dengan WNI yang lain. Kami memandang, kedepan perlu adanya mekanisme evaluasi terbuka yang melibatkan masyarakat sipil dan pekerja migran terkait kinerja, pelayanan, dan perlindungan yang diberikan oleh staff Perwakilan RI di luar negeri.

Narahubung:

Nisaa (0812380709637)

Wike (081298163375)

Panja RUU PPMI berdiskusi mengenai norma sanksi pidana penjara atau denda

Rapat Panja RUU PPMI tgl 10/10/2017 di komisi IX. #latepost
10/10/2017. Panja RUU PPMI berdiskusi mengenai norma sanksi pidana penjara atau denda. Diskusi mulai dari sanksi pidana :
Pasal 69 : Setiap orang yang dengan sengaja memberikan data dan informasi tidak benar dalam pengisian setiap dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 70 : Setiap orang yang menempatkan Pekerja Migran Indonesia, padahal diketahui atau patut menduganya bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 71 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap Orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia :
a. pada jabatan dan tempat pekerjaan yang keliru sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a; atau
b. yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan, norma kesusilaan, atau peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b.
Pasal 72 : Setiap Orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 yang dengan sengaja melaksanakan penempatan Pekerja Migran Indonesia, dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paaling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 73 :
(1) Setiap pejabat yang dengan sengaja memberangkatkan Pekerja Migran Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dlaam Pasal 64 ayat (1), dipidanan dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap pejabat yang dengan sengaja menahan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2), dipidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang :
a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 62 huruf b;
b. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada jabatan yang tidak sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b;
c. mengalihkan atau memindahtangankan SIP3MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf h;
d. mengalihkan atau memindahtangankan SIP2MI kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf j;
Pasal 75 : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima miliar rupiah ), setiap orang yang;
a. membebankan komponen biaya penempatan yang telah ditanggung calon Pemberi Kerja kepada Calon Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf a;
b. menempatkan Calon pekerja Migran Indonesia ke negara tertentu yang dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b;
c. menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa SIP2MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c;
d. menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada negara tujuan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d;
Pasal 76:
(1) Dalam hal tindak pidana sebgaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai Pasal 75 dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntuan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satupertiga) dari masing-masing ancaman pidana denda

[11 - 10 - 2017] Perlindungan Pekerja Migran Diutamakan

JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan tenaga kerja Indonesia menjadi inti dari isi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Pemerintah berperan besar dalam perlindungan tenaga kerja sejak sebelum berangkat sampai sesudah pulang dari negara penempatan.

“Ini paradigma baru. Kemajuan yang harus diapresiasi,” ujar Kepala Pusat Riset dan Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah di Jakarta, Selasa (10/10).

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia disebutkan, pembagian peran antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, dan desa. Contoh peran pusat adalah memfasilitasi pelatihan calon pekerja migran melalui pendidikan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.

Sementara pelayanan kebutuhan administrasi keberangkatan ditangani pemerintah provinsi dan kabupaten, melalui pendirian layanan terpadu satu atap. Adapun desa bertugas melakukan monitoring keberangkatan dan kepulangan buruh. Wujud kemajuan berikutnya adalah adanya jaminan sosial bagi pekerja migran. Mereka kini memperoleh akses jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.

RUU juga mencantumkan pengenaan sanksi akibat tindak kejahatan dalam proses penempatan. Menurut Anis, bentuknya adalah sanksi pidana yang sudah selaras dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Menurut Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal, contoh kemajuan lain adalah dicantumkannya larangan pejabat negara menjadi pengurus perusahaan penempatan. Ini tidak ada pada regulasi sebelumnya, yakni UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Meski demikian, Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran Indonesia Savitri Wisnuwardhani mengemukakan, RUU tidak membahas perlindungan kepada pekerja migran yang berangkat secara mandiri. RUU malah mengharuskan segala risiko yang dialami buruh migran mandiri menjadi tanggung jawab sendiri. (MED)

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan