PENTINGNYA
KONTRAKTUAL DAN PEMBIAYAAN DALAM
PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA
SERIKAT BURUH
MIGRAN INDONESIA
(SBMI)
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), yang juga menjadi anggota JBM (Presedium
Legilasi) menyoroti pentingnya kontraktual dan pembiayaan penempatan pekerja
migran dalam sistem perlindungan pekerja migran. Secara substansial di draf RUU
PPMI tidak ada perubahan secara signifikan pasal yang mengatur kontraktual
dengan UU 39/2004 yang lama. Misalnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak
serta penyelesaian sengketa. Perbaikan
dalam RUU PPMI dalam hal ini adalah adanya verifikasi agency dan calon pemberi
kerja yang dilakukan oleh atase ketenagakerjaan dan/atau pejabat dinas
luar negeri yang ditunjuk.
Berdasarkan aturan
perundang-undangan yang terkait dengan ketenagakerjaan adalah kepastian
berkontrak atau kontraktual. Ada dua jenis kontrak yakni Perjanjian Penempatan (Perjanjian
antara calon pekerja migran dengan PPTKIS) dan perjanjian kerja (Perjanjian
antara pekerja mogran dengan pemberi kerja). Untuk dua perjanjian tersebut
persamaan terletak pada mengatur mengenai hak dan kewajiban antara calon
pekerja Indonesia dan PPTKIS, mengatur mengenai kepastian bekerja (majikan
tempat dibekerja, di negara mana, bekerja sebagai apa, biaya serta proses
penempatan) serta mengatur mekanisme menyelesaian sengketa. Perbedaan keduanya
terletak pada kondisi kerja, jam kerja, konsumsi dan tempat tinggal yang layak
bagi pekerja migran.
Data SBMI mengenai pelanggaran kontraktual sepanjang
2014 - 2015, dari 734 kasus yang ditangani, hanya 9 pekerja migran yang menyimpan
salinan dokumen Perjanjian Penempatan dan sisanya tidak pernah diberikan Akibatnya ketika sedang menyelesaikan
sengketa antara pekerja migran dengan
majikan yang diwakili oleh PPTKIS, tidak
bisa diteruskan ranah litigasi namun
hanya diselesaikan dengan dengan musyawarah/ mediasi yang hasilnya banyak merugikan pekerja migran.
Di tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak
1501 dan hanya 65 kasus yang memiliki perjanjian penempatan.
Bahkan berdasarkan data yang dihimpun
oleh SBMI Malang, Wonosobo, dan DPN SBMI,
ditemukan maraknya penipuan dengan modus penempatan pekerja migran
tanpa adanya sebuah perjanjian penempatan dan perjanjian kerja dengan kerugian mencapai 5 Milyar dan gagal berangkat.
Di dalam RUU PPMI telah disebutkan mengenai perjanjian penempatan. SBMI
mengapresiasi upaya Panja RUU PPMI untuk memasukkan norma perjanjian penempatan
sebagai dokumen penempatan. Banyak pihak terutama PPTKIS menolak perjanjian
penempatan karena bila perjanjian penempatan diberikan kepada calon pekerja
migran Indonesia akan ketahuan belangnya dan merugikan PPTKIS. Misalnya PPTKIS
dalam perjanjian penempatan hanya boleh memproses penempatan maksimal 3 bulan.
Biaya yang dibebankan kepada buruh migran tidak boleh melebihi ketentuan
pemerintah. Selain itu PPTKIS diuntungkan dengan tidak adanya perjanjian
penempatan dan menggunakan surat pernyataan sepihak yang dapat mempidanakan
pekerja migran selama 6 bulan karena pekerja migran dianggap wan prestasi
padahal bila mengacu pada perjanjian penempatan, calon pekerja migran dapat
mengundurkan diri bila terjadi force
mayeur.
Namun meski
demikian dalam RUU PPMI masih ada kelemahan dalam kontraktual :
1.
Tidak ada norma yang memastikan perjanjian berlaku di dua negara. Dari
pengalaman SBMI, kerap kali perjanjian kerja di negara asal tidak berlaku. Yang
berlaku di negara tujuan yang lebih merugikan pekerja migran karena pekerja
migran tidak memahami bahasanya/
2.
Tidak biligual (dalam dua bahasa)
3.
Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerja masih memakai musyawarah
mufakat.
Pembiayaan
Kasus Overcharging ( beban biaya yang
berlebih tidak sesusi dengan ketentuan pemerintah) marak karena pada prakteknya
hampir keseluruhan pekerja migran yang ditempatkan oleh PPTKIS tidak pernah
menandatangani perjanjian penempatan sehingga pekerja migran terbebani biaya
yang berlebihan berdasarkan surat pernyataan yang dibuat sepihak oleh PPTKIS.
Padahal didalam perjanjian penempatan ada norma mengatur soal pembiayaan yang
sesusi dengan ketentuan pemerintah dan tata cara pembayarannya. Kalau seandanya
PPTKIS memberlakukan perjanjian penempatan pekerja migran dan pejabat yang
mennyaksikan penandatangan sudah bisa mengetahui terlebih dahulu.
Dari penanganan
kasus overcharging yang ditangani oleh SBMI selama 2015 s/d 2017, hanya 40
buruh migran yang berkasus memiliki salinan perjanjian penempatan. Sisanya
sebanyak 320 buruh migran tidak memiliki salinan perjanjian penempatan.
Rata-rata dari buruh migran memiliki surat pernyataan surat pernyataan dari PPTKIS yang di buat secara sepihak dan tidak sama
sekali sesuai dengan standart Permenaker No. 22 tahun 2014 ( Standart
Kontraktual).
Berdasar data diatas, SBMI sebagai
Anggota JBM (Presidium Legislasi) mendukung pemerintah menambahkan norma dalam
perundang-undangan :
1.
Memastikan perjanjian
kerja harus berlaku di dua negara
2.
Perjanjian kerja harus
dilakukan dalam dua bahasa
3.
Perjanjian kerja harus
jelas yuridiksi penyelesaian sengketanya
4.
PPTKIS yang tidak
memberikan dokumen perjanjian kerja mendapatkan sanksi
5.
Memastikan PPTKIS
menggunakan perjanjian penempatan untuk proses penempatan
6.
Memastikan dokumen
perjanjian penempatan diberikan kepada pekerja migran dan anggotanya
7.
Memastikan pejabat di
bidang ketenagakerjaan memahami isi perjanjian penempatan sebelum
ditandatangani oleh pejabat tersebut
8.
Memastikan penandatanganan
perjanjian penempatan oleh calon pekerja migran di layanan terpadu satu atap
dan disaksikan oleh keluarga atau serikat buruh dengan mekanisme tripartit
Jakarta, 24 Oktober 2017
Hariyanto (Ketua Umum SBMI) / Presidium Legislasi : 085259307953, 0822 9828 0638
Tidak ada komentar:
Posting Komentar