HRWG dan Solidaritas Perempuan:
RUU PPMI Harus Berdasarkan Standar Konvensi Pekerja Migran 1990
[Jakarta, 24 Oktober 2017] Human Rights Working Group (HRWG) dan
Solidaritas Perempuan (SP) sebagai anggota Jaringan Buruh Migran (JBM), memberikan
apresiasi atas upaya DPR RI dan Pemerintah yang melibatkan masyarakat sipil dalam
merevisi UU 39/2004 yang rencananya akan disahkan menjadi Undang-Undang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada 25 Oktober besok. Namun, penting bagi kami
untuk menyampaikan bahwa secara substansi, UU PPMI tidak banyak berubah
dibandingkan dengan UU 39/2004.
Salah satu perubahan yang cukup
signifikan adalah adanya konsideran Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan
Anggota Keluarganya tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang No.6/2012. Sebagai negara peratifikasi
Konvensi, Indonesia wajib mengharmonisasi dan mengimplementasikan
artikel-artikel dalam Konvensi Pekerja Migran 1990.
Dimasukkannya Konvensi Migran 1990
dalam konsideran UU PPMI, seharusnya menjadi komitmen pemerintah untuk
mensinkronisasikan dan mewujudkan perlindungan pekerja migran Indonesia dan
anggota keluarganya yang komprehensif berdasarkan Konvensi Migran 90. Namun,
jika disandingkan dengan Konvensi Pekerja Migran 1990, aturan substantif yang
tertera dalam undang-undang ini masih sangat jauh dari standar konvensi. Jangan
sampai, Konvensi Migran 90 hanya menjadi konsideran hukum, tanpa secara
konsisten termuat di dalam pengaturan UU PPMI.
Undang-Undang PPMI mengakui bahwa
bekerja adalah hak setiap warga negara yang diakui dalam UU Dasar 1945. Namun,
HRWG dan Solidaritas Perempuan menilai bahwa posisi pekerja migran dalam
undang-undang masih diletakkan sebagai objek dan bukan subjek. Hal ini terlihat
dari minimnya ruang keterlibatan Pekerja Migran yang dijamin di dalam RUU. Tak
hanya itu, Pekerja Migran dalam hal ini Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih diharuskan
mendaftar bekerja ke luar negeri melalui perusahaan swasta atau Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI).
Hal tersebut justru bertentangan dengan
semangat dan substansi Konvensi dimana pekerja migran dapat memilih kepada
siapa dan melalui cara apa dia bekerja karena kemerdekaan menentukan tersebut
dijamin dalam Konvensi maka UU PPMI. Seharusnya, UU PPMI dapat memberikan
jaminan kebebasan kepada pekerja migran dalam menentukan tujuan migrasi dan
kepada siapa dia akan bekerja tanpa dibatasi dengan keharusan mendaftar melalui
perusahaan swasta. Dengan kata lain pekerja migran belum dijamin hak-haknya
untuk bekerja secara mandiri oleh pemerintah. Oleh karena itu Pemerintah harus
membuat aturan turunan yang mengakomodir mengenai jaminan dan prosedur untuk
pekerja mandiri.
Nisaa Yura, Koordinator Program SP menyatakan,
mayoritas Perempuan Pekerja Migran bekerja sebagai PRT dan menjadi kelompok yang
memiliki kerentanan berlapis karena sudah banyak terjadi kasus-kasus kekerasan dan
pelanggaran HAM yang mereka alami di setiap tahap migrasi hingga menjadi korban
perdagangan manusia. “Sudah seharusnya mereka menjadi subjek prioritas yang
dilindungi oleh Negara dan bukan mengalihkan tanggungjawab perlindungan
tersebut kepada swasta,” pungkasnya. “Mewajibkan PRT Migran untuk mendaftar
melalui PPTKIS akan menciptakan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta,
sehingga mereka terus berada dalam posisi rentan dan tereksploitasi,” lanjut
Nisaa.
Pemerintah juga luput memahami bahwa
migrasi sampai hari ini masih berwajah perempuan. Hal ini dapat terlihat dari
tidak masuknya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) di dalam
konsideran RUU PPMI. Fakta bahwa PRT Migran banyak yang menjadi korban
perdagangan orang juga tidak menjadi perhatian serius pemerintah. Ini terbukti
dari tidak terlihatnya sinkronisasi aturan antara UU PTPPO dengan RUU.
Undang-Undang PPMI mengamanatkan
pemerintah Indonesia untuk menempatkan pekerja migran di negara tujuan yang
telah memiliki peraturan ketenagakerjaan dan juga perjanjian bilateral dengan
pemerintah Indonesia. Faktanya, Pemerintah Indonesia sendiri melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan karena telah mengirimkan
pekerja migran tanpa adanya perjanjian bilateral atau MoU dengan negara tersebut.
Perjanjian bilateral Indonesia dengan
Malaysia terkait pekerja informal telah berakhir sejak Mei 2016 namun belum
juga diperbaharui hingga saat ini sementara jumlah pekerja migran yang bekerja
disana terus bertambah. Hal ini menandakan pemerintah telah dengan sengaja
membiarkan pekerja migran Indonesia bekerja diluar negeri tanpa adanya
kesepahaman aturan mengenai pekerja migran Indonesia. Padahal MoU adalah salah
satu bentuk perlindungan yang harus dimiliki untuk menentukan standar kerja
layak, jaminan sosial, penetapan hak dan tanggung jawab, perlindungan hak-hak
pekerja migran dan anggota keluarganya, serta mekanisme penyelesaian masalah
antar kedua negara.
Standar konvensi juga sudah menyatakan
bahwa kedua negara dapat melakukan perjanjian kerjasama untuk mereduksi dan
menangani adanya pekerja migran ireguler termasuk pengaturan mengenai jaminan
sosial pekerja migran dan anggota keluarganya. Kelak Pemerintah Indonesia harus
lebih tegas dan berani dalam menentukan aturan dalam MoU sebagai bargaining position dan menjadikan
posisi perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak negara.
Selain itu, HRWG dan Solidaritas
Perempuan mendukung penguatan peran atase ketenagakerjaan sebagai bentuk
perlindungan pekerja migran di luar negeri yang telah diatur dalam UU PPMI.
Namun demikian, kami tetap bersikap kritis dalam menyikapi pemilihan atase
ketenagakerjaan di luar negeri. Pemilihan atase ketenagakerjaan harus beradasar
kepada kompetensi dan bukan berdasarkan pada pangkat atau golongan pejabat
publik.
Wike Devi, HRWG menjelaskan “Penguatan
kapasitas dan fungsi diplomatic atase ketenagakerjaa sangat diperlukan
mengingat beban berat yang dipikulnya untuk bertanggung jawab mendata,
memverifikasi, memfasilitasi dan menangani perihal ketenagakerjaan di negara
tujuan. Oleh karena itu adanya merit system dan peningkatan kapasitas
ketenagakerjaan, HAM, dan gender mutlak harus diberikan kepada atase
ketenagakerjaan.”
Kami mendorong dalam hal ini
Kementerian Luar Negeri untuk melakukan hal serupa kepada staff Perwakilan RI
diluar negeri mengingat pentingnya peran Perwakilan RI dalam melindungi pekerja
migran dan anggota keluarganya sesuai standar Konvensi. Hal ini sangat penting
mengingat masih adanya diskriminasi pelayanan dan perlindungan yang diberikan
staff Perwakilan RI diluar negeri kepada pekerja migran berdasarkan status
regular dan irrguler, bahkan dibandingkan dengan WNI yang lain. Kami memandang,
kedepan perlu adanya mekanisme evaluasi terbuka yang melibatkan masyarakat
sipil dan pekerja migran terkait kinerja, pelayanan, dan perlindungan yang
diberikan oleh staff Perwakilan RI di luar negeri.
Narahubung:
Nisaa (0812380709637)
Wike (081298163375)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar