Laman

Translate

[09 - 01 - 2018] Remitansi Perlu Dikelola Lebih Produktif

KOMPAS/A HANDOKO
Para tenaga kerja Indonesia antre untuk memasukkan aplikasi pembuatan rekening baru PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk di depan Stadium Perpaduan, Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia, Selasa (22/11/2017). Mereka membutuhkan akses keuangan yang murah karena setiap bulan mengirimkan remitansi ke Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran mengelola remitansi untuk kegiatan produktif di kalangan pekerja migran Indonesia perlu terus didorong. Pemerintah diharapkan aktif mengupayakan literasi keuangan sebelum dan sesudah penempatan pekerja.

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Savitri Wisnuwardhani menggambarkan, pada 2004, pemakaian terbesar remitansi berturut-turut adalah untuk pembelian/sewa tanah, perbaikan rumah, biaya sekolah anak, dan pembelian perabot. Sisanya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, membayar utang, dan membantu sanak keluarga.

Pada 2017, lanjut Savitri, penggunaan terbesar kiriman uang itu untuk biaya kebutuhan sehari- hari, sekolah anak, modal usaha, keperluan rumah, dan pembelian barang berharga. Alokasi pemanfaatan remitansi untuk keperluan belian/sewa tanah, uang sekolah, rumah, dan kebutuhan sehari-hari selalu ada.

”Mereka sebenarnya cukup paham bahwa ketika bekerja ke luar negeri perlu memikirkan tabungan masa depan, seperti lahan dan modal usaha. Namun, saat pulang, mereka belum cukup mampu mengolah lahan jadi produktif. Kalaupun ada niat memiliki modal usaha, keterampilan mereka masih kurang,” ujar Savitri di Jakarta, Senin (8/1). Oleh karena itu, kerap terjadi anggota keluarga pergi bekerja lagi ke luar negeri agar mendapat tambahan uang.

Mereka sebenarnya cukup paham bahwa ketika bekerja ke luar negeri perlu memikirkan tabungan masa depan, seperti lahan dan modal usaha.

Laporan Bank Dunia berjudul Pekerja Global Indonesia: Antara Peluang dan Risiko (November 2017) menyebutkan, sebagian besar pekerja migran Indonesia memperoleh penghasilan lebih tinggi dan mengalami perbaikan ekonomi setelah bermigrasi. Para pekerja migran ini menerima upah bersih rata-rata sekitar Rp 3,7 juta atau hampir empat kali lipat dibandingkan upah sebelum bermigrasi.



KOMPAS/KHAERUL ANWARPara buruh migran asal Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, biasanya mengisi waktu luang kerja hari Sabtu dan Minggu di Taman Victoria Park, Hongkong.

Laporan ini juga menyebutkan, remitansi perempuan pekerja migran Indonesia pada 2014, mampu mengurangi partisipasi angkatan kerja anak. Perempuan pekerja migran Indonesia di sektor domestik ini berkontribusi sekitar 51 persen terhadap total remitansi.

Sebelumnya, pada 2005, Bank Dunia memperkirakan hanya 35 persen remitansi pekerja migran Indonesia yang dikirim melalui jalur formal. Kini, pengiriman melalui jalur formal diperkirakan mencapai 90 persen.

Hal ini dipengaruhi semakin mudahnya akses pengiriman keuangan dan peningkatan kualitas pelatihan sebelum keberangkatan terkait topik perbankan.

Mengacu Survei Internasional Migrasi dan Remitansi Bank Dunia 2013/2014, sekitar 41 persen dari rumah tangga pekerja migran berhasil menyisihkan remitansinya untuk biaya pendidikan anak, 15 persen untuk investasi modal usaha, dan 22 persen tabungan.

”Pemerintah sekarang mengembangkan Desa Migran Produktif (Desmigratif). Program ini seharusnya menyesuaikan potensi desa penyuplai pekerja migran. Tujuannya adalah mempermudah sosialisasi dan pembinaan usaha berdasarkan potensi sumber daya alam di desa itu,” kata Savitri.

Secara terpisah, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Servulus Bobo Riti mengatakan, nilai remitansi pekerja migran Indonesia cenderung turun tiga tahun terakhir. Nilai remitansi pada 2015 tercatat 9,42 miliar dollar AS. Nilai ini turun menjadi 8,85 miliar dollar AS pada 2016. Pada Januari-September 2017 tercatat 6,5 miliar dollar AS atau setara Rp 88,620 triliun. BNP2TKI memperkirakan, sampai akhir 2017 nilai remitansi mencapai sekitar 8,5 miliar dollar AS atau setara Rp 113,8 triliun. (MED)

CIPTAKAN DUNIA RAMAH PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Internatinal Migrants Day
“CIPTAKAN DUNIA RAMAH PEKERJA MIGRAN INDONESIA”

Pada tanggal 17/desember/2017, dalam acara Peringatan Hari Buruh Migran Internasional yg diselenggarakan oleh SBMI di Islamic Center Bekasi Dpn Sbmi, pada sesi diskusi Panel:
- Lalu Muhammad Iqbal (Kemlu), mengungkapkan bahwa sangat setuju dg integrasi data. Untuk buruh migran Indonesia yg tidk punya NIK/KTP Indonesia bisa membuat di KBRI. Karena skrg masing2 kementrian punya data masing-masing, maka perlu untuk mengintegrasikan satu data saja agar mempermudah proses perlindungan buruh migran dan sehingga dapat dilihat datanya dr hulu-hilir.
- Sukoyo (Kemendagri), menanggapi terkait dengan disahkannya UU no.18 PPMI, maka akan ada kebijakan2 Peraturan Daerah yang tumpang tindih. Maka harus dilihat dahulu, jika berbeda hingga 50% dari UU PPMI maka akan direview dan berpotensi untuk dibatalkan. Oleh karenanya, Kemnaker harus membuat NSPK (norma standart prosedur kriteria) untuk UU PPMI sebelum 2 tahun dr disahkannya UU PPMI. Jika tidak, maka Pemda dpt membuat peraturan turunannya sendiri.
- Savitri (Seknas JBM) mengungkapkan bahwa permasalahan yg dialami oleh buruh migran terbesar adalah 1) masalah ketenagakerjaan dlm hal upah rendah dan upah tidak dibayar, 2) kondisi kerja yg ekspolitatif dalam hal jam kerja tinggi, beban pekerjaan berat, tidak ada hari libur, 3)mendapatkan kekerasan baik psikis maupun fisik. UU PPMI meski telah lebih baik daripada UU 39/2004 namun masih byk kelemahan di UU PPMI yg perlu di perbaiki di dalam 28 peraturan turunan terutama pada bagian pengawasan. Pengawasan harus memastikan bahwa hak2 buruh migran tidak dilanggar dan pelayanan migrasi dapat mudah diakses, mudah dijangkau, cepat, bebas pungli dan bebas dari komersialisasi.
- Hariyanto (Ketua Umum SBMI) menerangkan Kelemahan UU no 18 tahun 2017 dan tantangan pemerintah. Bahwa tantangan pemerintah dalam membuat 27 aturan turunan sangatlah berat oleh sebab itu hatus melibatkan maayarakat sipil dalam substansi pembuatan drafting aturan turunanya
- Sri Ariyani dari (justice without border) menegaskan bahwa “Jangan sampai peraturan turunan yg dibuatkan memunculkan ruang eksploitasi yang baru”.


​Hentikan Kebijakan dan Praktik Diskriminasi Terhadap Buruh Migran Indonesia


Siaran Pers Bersama
Hari Buruh Migran Internasional

​“Hentikan Kebijakan dan Praktik Diskriminasi Terhadap Buruh Migran Indonesia”​

17 Desember 2017. Hari Buruh Migran Sedunia, Konvensi Migran 90 yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2012, belum terharmonisasi di dalam berbagai kebijakan secara utuh. Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah justru mendiskriminasi Buruh Migran terutama perempuan pekerja rumah tangga.

Hingga saat ini sebanyak kurang lebih 7 juta orang yang bekerja diluar negeri dan 70% diantaranya adalah perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik. Persoalan Buruh Migran tidak terlepas dari pemiskinan struktural yang terjadi akibat kebijakan pembangunan negara. Investasi yang mengakibatkan alih fungsi dan perampasan lahan yang menjadi sumber-sumber kehidupan masyarakat, merupakan faktor pendorong utama migrasi tenaga kerja. Dalam situais pemiskinan, perempuan dihadapkan pada beban dan tanggung jawab untuk merawat dan menghidupi keluarga. Ketika mereka, ataupun suami dan ayah mereka tidak lagi dapat mengakses sumber kehidupan dan lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri, maka perempuan harus berpikir dan bekerja lebih berat untuk mencari alternatif sumber kehidupan, termasuk bekerja sebagai Buruh Migran di luar negeri.

Sayangnya, upaya pemerintah untuk menyediakan perlindungan bagi perempuan buruh migran, khususnya pekerja rumah tangga belum mampu mengatasi akar pesoalan. Bahkan, beberapa kebijakan yang dibuat atas nama perlindungan cenderung diskriminatif.

Pemberlakuan Roadmap Zero Domestic Workrs yang diperkuat dengan Kepmen 260 Tahun 2015 menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Pasalnya, alih-alih menyediakan perlindungan bagi perempuan yang mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak, kebijakan ini justru mendiskriminasi Pekerja Rumah Tangga Migran karena bersifat pelarangan atau pembatasan bagi pilihan perempuan untuk bekerja. Hal ini jelas melanggar Konvensi Migran 90, dan Rekomendasi CEDAW No. 26. Oleh karena itu, hak asasi buruh migran tidak akan terpenuhi apabilan masih terdapat kebijakan yang mendiskriminasi buruh migran. ​“Bukti jika Negara serius melindungi hak-hak perempuan buruh migran adalah dengan mencabut kebijakan dan menghentikan berbagai praktik diskriminatif terhadap perempuan buruh migran dan keluarganya” Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan​ menegaskan.

Tidak saja diskriminatif, pemberlakuan kebijakan ini nyatanya berdampak pada melonjaknya kasus-kasus trafficking perempuan buruh migran di Arab Saudi dan Negara timur tengah lainnya. Data Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan lebih dari 263 kasus trafficking yang dilaporkan dengan modus penempatan unprosedural pasca pemberlakuan Kepmen 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Pengiriman TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah. Sekali lagi, situasi menjadi bukti kuat dari ketidakefektifan kebijakan tersebut yang justru semakin merentankan perempuan buruh migran menjadi korban perdagangan orang.

Perlu diakui, bahwa upaya pemerintah dalam mewujudkan perbaikan tata kelola migrasi terlihat dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru disahkan pada Oktober 2017. Pembagian tugas dan wewenang yang proporsional antara pemerintah pusat dan daerah, pengurangan peran swasta dalam system penempatan, pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), peralihan pengelolaan jaminan sosial dari swasta ke Negara, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan menjadi isu penting yang diatur UU. Menanggapi UU ini, ​Hariyanto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia​ mengingatkan bahwa “Pemerintah juga harus menjamin pendidikan gratis dan aksesnya yang mudah agar dapat dinikmati manfaatnya bagi buruh migran termasuk anak buruh migran. Ini penting agar buruh migran dan keluarganya memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan yang baik dalam mempertahankan maupun memperjuangkan hak-haknya”.

Lebih lanjut, ​Savitri dari Jaringan Buruh Migran​ menyatakan “Permasalahan yangg dialami oleh buruh migran terbesar adalah masalah ketenagakerjaan dalam hal upah rendah dan upah tidak dibayar, kondisi kerja yang ekspolitatif dalam hal jam kerja tinggi, beban pekerjaan berat, tidak ada hari libur, dan mendapatkan kekerasan baik psikis maupun fisik. UU PPMI meski telah lebih baik dari UU No. 39/2004 namun masih banyak kelemahan yang perlu di perbaiki dalam 28 peraturan turunan terutama pada bagian pengawasan. Pengawasan harus memastikan bahwa hak-hak buruh migran tidak dilanggar dan pelayanan migrasi dapat mudah diakses, mudah dijangkau, cepat, bebas pungli dan bebas dari komersialisasi. Jangan sampai peraturan turunan memunculkan ruang eksploitasi yang baru”.

Senada, Puspa Dewy menegaskan bahwa UU No. 18 Tahun 2017 masih menyisakan persoalan, terutama bagi Pekerja Rumah Tangga Migran yang mayoritas adalah perempuan. “Masih ada celah kerentanan PRT Migran di dalam UU No. 18/2017. Pekerja rumah tangga yang masih sangat rentan mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang karena penempatannya masih diserahkan kepada pihak swasta,” pungkasnya. Oleh karena itu, pembentukan peraturan turunan yang dimandatkan UU No. 18/2017 harus terus dikawal dan dikritisi untuk memastikan jaminan perlindungan seluruh hak-hak Buruh Migran dalam Konvensi Migran 1990 sepenuhnya dapat direalisasikan tanpa terkecuali, termasuk dengan mencabut kebijakan dan menghentikan praktik diskriminatif terhadap buruh migran.
Jakarta, 18 Desember 2017

​Jaringan Buruh Migran​

​Narahubung​
Hariyanto: 082298280638
Risca: 081219436262
Savitri: 082124714978


Analisis dari grafik kasus dengan kebijakan mengenai Permasalahan yang di hadapi Pekerja Migran Indonesia


TKI meninggal dan sakit

Pada bulian Juli, kasus TKI meninggal dan sakit terdapat 12 orang meninggal dan 3 yang sakit dan kembali ke Indonesia. Sebanyak 6 orang buruh migran yang telah meninggal di Malaysia. Terdapat tiga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Blitar yang meninggal dunia. Ketiga TKI tersebut meninggal di negara tempat mereka bekerja. Disnaker juga menyebutkan, penyebab meninggalnya TKI tersebut akibat kecelakaan kerja dan sakit. Su’udi pria asal Desa Jatitengah, Kecamatan Selopuro contohnya, Beliau meninggal dunia di Malaysia karena kecelakaan kerja. Selain itu Sujono (43) warga Dusun Sumberarum, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, meninggal di Brunei Darussalam karena sakit. Dan Sri Susiani (45) warga Jalan Mastrip Kelurahan/ Kecamatan Srengat meninggal di Taiwan.

Selain itu, terdapat dua orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lagi bernama Tina dan Aat terpaksa dipulangkan dari Arab Saudi. Keduanya diterbangkan kembali ke tanah air karena menderita sakit. "Tina asal Majalengka dilaporkan Rumah Sakit Raja Fahad dirawat sejak Maret 2017 dan sempat diisolasi karena mengidap penyakit menular hepatitis B, sedangkan anaknya dititipkan ke salah satu WNI dan tetap melanjutkan pendidikannya di kelas III, Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) selama ibunya dirawat," kata pelaksana fungsi konsuler KJRI Jeddah, Fadhly Ahmad, dalam keterangan tertulis KJRI Jeddah, Selasa (1/8/2017).

Dalam melihat kasus TKI yang sakit dan meninggal ini, pada sisi lain Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, memunculkan peralihan jaminan sosial dari asuransi konsorsium oleh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Agustus 2017 dengan skema khusus perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi TKI. Nantinya para TKI ini wajib terdaftar dalam dua program, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dan ada program tambahan Jaminan Hari Tua, yang dapat menjadi tabungan para TKI saat memasuki usia tua.

Pemerintah berupaya bahwa “negara harus hadir dalam perlindungan TKI dengan pelayanan yang maksimal, pelayanan lebih dekat, jangkauan lebih luas” kata Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Pencegahan KPK, Asep Rahmat Suwandha pada acara sosialisasi transformasi perlindungan TKI melalui BPJS Ketenagakerjaan (31/07/2017). Hal ini diungkapkan terkait dengan meningkatnya jumlah TKI yang sakit dan meninggal. Negara mengupayakan untuk hadir melalui jaminan social BPJS Ketenagakerjaan yang nirlaba, akses yng mudah dan klaim yang mulus.

Namun, BNP2TKI meminta memperluas jaminan resiko bpjs ketenagakerjaan. Sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia, mulai (1/8/2017), asuransi TKI yang selama ini dijalankan oleh konsorsium asuransi dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.Namun menurut Nusron, BPJS Ketenagakerjaan saat ini hanya menanggung 6 dari 13 coverage perlindungan TKI yang awalnya ditanggung konsorsium asuransi TKI. Artinya,  perlu adanya perluasan jaminan resiko dari BPJS Ketenagakerjaan dan atau BPJS menggandeng pihak lain yang sanggup mengcover 7 risiko sisanya yang tidak ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ketujuh risiko tersebut antara lain risiko PHK, TKI dipindah tempat kerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja, upah tidak dibayar, gagal berangkat, gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI, pemulangan TKI bermasalah, serta risiko menghadapi masalah hukum.

TKI illegal [1]

Pada bulan Agustus, sebanyak 27 TKI yang diamankan dalam operasi di Batam. TKI itu terdiri atas 20 laki-laki dan tujuh perempuan dan ditemukan juga 1 orang bayi laki-laki berumur 2 bulan. Mereka menggunakan boat pancung. Mereka berangkat dari Batam dengan rute Punggur Batam tujuan Pantai Desaru Johor Malaysia. sDi lain waktu, pada tanggal 13 agustus 2017 sebanyak 37 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal diamankan TNI AL yang berpatroli. Ke-37 orang itu berasal dari tujuh daerah, yakni Bugis, Lombok, Medan, Pasuruan, Lampung, Flores, dan Solo, serta seorang berkewarganegaraan Pakistan.  setelah proses penyelidikan selesai, pihaknya akan menyerahkan para TKI ilegal tersebut kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Batam.

Terkait dengan semakin meningkat dan langgengnya buruh migran yang tidak berdokumen atau yang sering dianggap illegal ini, terutama pada TKI yang menjalani rehiring, Sunarno sebagai Koordinasi keimigrasian menyakatan agar seluruh TKI yang mendaftar rehiring dan e-Kad dapat terlayani dengan baik sesuai tenggat yang ditetapkan Malaysia. Hal ini juga untuk menghindari praktik pemalsuan paspor yang kemungkinan dilakukan oleh jaringan terorisme dan narkoba. Seperti terdapat tiga pekerja migran ilegal asal Myanmar mengaku asal Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Malaysia juga diminta untuk mempermudah prosedur kepulangan bagi TKI ilegal yang hendak pulang secara sukarela. Misalnya tidak menerapkan denda yang mahal, tidak menahan, serta tidak memberikan larangan (ban) bagi mereka untuk bekerja kembali di Malaysia secara legal. “Jangan sampai mereka yang telah beritikad baik pulang secara sukarela, dipersulit,” ujar Sunarno.

Selain itu, Kepala Kantor Imigrasi Wonosobo, Kantor Imigrasi Wonosobo Berupaya Tekan Angka TKI Ilegal. upaya meminimalisir penyalahgunaan paspor oleh masyarakat, terutama para calon tenaga kerja Indonesia (TKI), yang hendak bekerja di luar negeri. Upaya tersebut, dulakukan dengan cara pengecekan data diri dan ID, melalui sistem online.  lewat sistem yang telah tersambung antar jaringan tersebut, kantor imigrasi bisa mengetahui secara akurat, rekomendasi ID milik para calon TKI, yang didapat dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), maupun Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Pemerintah juga telah mengupayakan dalam pelayanan seperti “Petugas di bagian wawancara tetap selektif dalam melakukan tugasnya. Terbukti, sampai akhir Juli 2017, mereka sudah menolak 123 pemohon paspor,” ungkap Kepala Sub Seksi Lalu Lintas Keimigrasian, Washono. Ditekankan bahwa jika pengecekan ID calon TKI melalui sistem online tidak hanya berlaku untuk calon TKI mandiri, atau via Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), melainkan berlaku juga bagi calon TKI dari program Goverment to Goverment (G to G).

Namun, di sisi lain terdapat kritik serta masukan dari Ninik Rahayu, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia mengatakan bahwa Salah satu bentuk pelayanan yang belum banyak didapat para TKI ialah soal pemenuhan hak informasi. “Bagaimana orang bisa bekerja dengan baik jika informasi tentang tata caranya saja tidak didapatkan,” katanya saat mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Selain soal pemenuhan hak informasi, Ninik menuturkan pelayanan kesehatan, asuransi, dan e-KTP sampai verifikasi dokumen TKI seharusnya dilakukan di pelayanan satu atap. Menurut dia, pelayanan satu atap di Jawa Timur tersebut tidak dibarengi dengan sistem yang baik. Sehingga rekomendasi bagi TKI yang hendak pergi ke luar negeri masih dikeluarkan banyak pihak.  Kurangnya informasi hingga ke tingkat desa ini membuat peluang untuk calo/tekong mengambil kesempatan merekrut buruh migrant dan kurangnya informasi terkait jalur legal atau ilegal juga belum masif. Inilah yang membuat meningkatnya pekerja migran undocumented atau tidak lewat jalur migrasi resmi.

TKI ilegal [2]

Rupanya kasus TKI illegal ini belum dapat ditekan. Dalam bulan Oktober, kasus TKI ilegal terdapat 18 TKI ilegal yang pergi ke Malaysia melalui perairan Muara Tanjung. Dalam upaya menekan angka TKI ilegal, pemerintah memperluas perlindungan dengan adanya program Desmigratif. Terdapat 240 Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) dari seluruh Indonesia mengikuti bimbingan teknis cara bermigrasi yang aman bagi calon pekerja migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Selain itu, pemerintah juga sedang mendorong Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang dibangun dengan tujuan untuk memangkas birokrasi yang panjang dalam mengurus dokumen calon TKI. Di dalam LTSA, didalamnya ada kerjasama antara berbagai instansi yakni pihak kesehatan, imigrasi, BP3TKI dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebagai upaya tambahan, pemerintah sudah harus segera membuka Balai Latihan Kerja (BLK). Hal tersebut sesuai dengan undang-undang yang baru, Layanan Terpadu Satu Atap harus diikuti pendirian Balai Latihan Kerja, baik untuk tujuan dalam negeri maupun luar negeri. Supaya kompetensi dari setiap TKI itu dapat diketahui, sesuai dengan job order-nya. Selama ini, umumnya karena untuk pelatihan itu biayanya begitu tinggi, maka para TKI ini hanya direkrut dan kemudian langsung diberangkatkan tanpa melalui pelatihan sesuai kompetensi, baik itu bahasa asing maupun ketrampilan khusus. Dalam setiap layanan satu atap. Calon TKI yang sudah jelas memiliki kontrak kerja, dapat mengajukan kredit kepada bank untuk biaya keberangkatan. Ini akan menghapus hutang TKI kepada calo yang selama ini terjadi dan menjadikan mereka tetap miskin meski sudah bisa bekerja ke luar negeri. Asuransi juga dilibatkan untuk memberikan jaminan, baik bagi TKI sendiri maupun keluarganya di kampung.

TPPO

Pada tanggal 4 September 2017, muncul Kasus Pekerja migran Indonesia di Cina mengalami persoalan yang sangat serius yakni korban perdagangan orang, di antaranya mereka bahkan ada yang dijadikan wanita penghibur, demikian menurut Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia Soegeng Rahardjo.  Traficking dijadikan PSK yang sulit dilindungi itu justru modus tawaran bekerja di spa. Kadang-kadang mereka dipaksa, disuruh jadi pekerja seks komersial. Kemudian, ada lagi pekerja wanita yang dibawa dan dikawinkan di sini,” ungkap Soegeng. Menurut Soegeng, hal itu sekaligus menandai meningkatnya modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Cina. Menurut data media monitoring terdapat 80 orang yang mengalami perdagangan orang di Cina pada bulan September. https://tirto.id/tki-di-cina-jadi-modus-prostitusi-dan-perdagangan-manusia-cvjl

Umumnya TPPO diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan para korban. “Satu satunya cara adalah kualitas pendidikan harus ditingkatkan. Setelah ini mereka harus diberikan semacam pernyataan agar tidak mudah percaya dengan iming-iming gaji tinggi dan hidup enak,” ungkap Soegeng (Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia). Namun, Soegeng juga menganggap sanksi yang diterapkan untuk pelaku TPPO sangat sulit diterapkan karena harus ada pembuktian korban dipaksa atau atas kemauannya sendiri. “Karena itu, lebih baik meningkatkan pencegahannya. Korban tidak tahu apa-apa, ang harus dihukum dengan tegas itu, ya agen-agen penyalur," tambahannya. Oleh sebab itu, Soegeng mendukung upaya Diretorat Jenderal Imigrasi menunda pengeluaran paspor. Dia juga setuju dengan peraturan deposit minimum Rp 15 juta-Rp 20 juta bagi yang ingin membuat paspor.

Dalam konteks maraknya perdagangan manusia, NTT mencoba untuk bergerak memerangi TPPO dengan menerapkan strategi lawan perdagangan manusia. Hal ini diwujudkan dengan peresmian kantor LTSA P2TKI di Kupang. Dalam banyak kasus perdagangan manusia, pemalsuan dokumen menjadi titik awal. Pemerintah menyederhanakan proses untuk memberantasnya.  Ketua Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia, Gabriel Goa Sola di Kupang kepada VOA menyatakan dukungan dibukanya kantor ini. Dengan layanan satu atap, LSM dan media juga lebih mudah mengawasi kinerja pelayanan bagi TKI sekaligus upaya mencegah trafficking.

Kasus hukuman mati

Kurang tanggapnya pemerintah dalam penyelesaian sengketa pidana ataupun perdata yang dialami PMI di luar negeri ini harus diperbaiki. Pasalnya, di bulan November, kasus hukuman mati yang dialami Pekerja Migran di Malaysia mencapai angka yang serius yakni terdapat 21 PMI yang divonis hukuman mati. Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu Negeri Sabah, Malaysia menangani 21 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di negara tersangkut kasus tindak pidana dengan ancaman hukuman gantung hingga mati. Dari 21 WNI/TKI yang terancam hukuman mati sebagian besar kasus pembunuhan di antaranya tujuh orang berhasil dibebaskan dari hukuman mati, tiga orang inkrach (dihukum mati) dan sedang dalam proses permohonan pengampunan kepada Dipertuan Negeri Sabah. Namun, empat orang masih dalam tahap dibicarakan pada tingkat Mahkamah Tinggi Rayuan. Sedangkan tujuh orang sedang dalam proses penyidikan dan pengumpulan alat bukti oleh aparat kepolisian Malaysia.

Kebijakan Luar Negeri

Moratorium di Saudi tidak dicabut, namun sistem baru PMI di Saudi telha disepakati. Hanif (Menaker) melihat, pasar kerja internasional sebagai pintu masuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sekaligus mengembangkan pengaruh Indonesia di tingkat dunia. Karena itu, ekspatriat Indonesia yang bekerja di luar negeri harus dibekali dengan kompetensi yang cukup handal. Kedua Negara (Indonesia-Saudi) menyepakati untuk mengupayakan penyelesaian berbagai masalah yang menimpa ekspatriat Indonesia yang selama ini telah bekerja di Saudi dan tidak boleh lagi ada kekerasan dalam semua bentuknya kepada ekspatriat Indonesia.



Seruan Jaringan Buruh Migran untuk Pekerja Migran Indonesia di Hari Buruh Migran Internasional







#pekerjamigranindonesia
#buruhmigranindonesia
#pekerjamigranbersuara
#layananbebaspungli
#stopkomersialisasi
#duniaramahmigran
#jaringanburuhmigran
#jbm

[03 - 01 - 2018] Pemerintah Masih Godok 25 Peraturan

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menuntaskan penggodokan 25 aturan turunan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dalam waktu dua tahun. Pemerintah diharapkan menetapkan prioritas peraturan yang diselesaikan lebih dulu.

Aturan turunan itu terdiri dari 11 peraturan pemerintah, 2 peraturan presiden, dan 12 peraturan menteri ketenagakerjaan. Pihaknya telah menyiapkan gugus tugas untuk berperan menyusun serta membahas materi peraturan.

Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno, Selasa (2/1), di Jakarta, mencontohkan peraturan presiden mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja badan. Badan itu akan berfungsi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dan penempatan dengan skema pemerintah ke pemerintah. Sebelum peraturan presiden ini terbit, keberadaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia masih diakui.

Adapun peraturan lainnya terkait dengan tugas dan wewenang atase ketenagakerjaan. Petugas atase berperan selayaknya diplomat yang memasarkan lapangan kerja di luar negeri dan melindungi pekerja migran Indonesia.

Soes menyebutkan, dalam rencana kerja Kementerian Ketenagakerjaan 2018, target penempatan pekerja migran Indonesia sekitar 150.000 orang. Kemnaker juga menargetkan 130 desa migran produktif bisa dibangun di 65 kabupaten/kota. Pada 2016 sudah berkembang 122 desa migran produktif.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpendapat, pemerintah bisa mulai menyusun skala prioritas peraturan yang harus diselesaikan lebih dulu. ”Saat ini merupakan masa transisi dari UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri ke UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Penyelesaian penyusunan peraturan turunan jangan sampai mengabaikan perlindungan hak pekerja migran,” katanya.

Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani menyarankan pemerintah pusat untuk menyosialisasikan substansi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sampai ke tingkat daerah. Sejak diundangkan pada 22 November 2017, masih banyak pemerintah daerah, terutama di kantong penyuplai calon pekerja migran, belum memahami keseluruhan isi UU. (MED)

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan