Siaran Pers
Bersama
Hari Buruh
Migran Internasional
“Hentikan Kebijakan dan Praktik
Diskriminasi Terhadap Buruh Migran Indonesia”
17 Desember 2017. Hari Buruh
Migran Sedunia, Konvensi Migran 90 yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak
2012, belum terharmonisasi di dalam berbagai kebijakan secara utuh. Berbagai
kebijakan yang dibuat pemerintah justru mendiskriminasi Buruh Migran terutama
perempuan pekerja rumah tangga.
Hingga saat ini sebanyak kurang
lebih 7 juta orang yang bekerja diluar negeri dan 70% diantaranya adalah
perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik. Persoalan Buruh Migran
tidak terlepas dari pemiskinan struktural yang terjadi akibat kebijakan
pembangunan negara. Investasi yang mengakibatkan alih fungsi dan perampasan
lahan yang menjadi sumber-sumber kehidupan masyarakat, merupakan faktor
pendorong utama migrasi tenaga kerja. Dalam situais pemiskinan, perempuan
dihadapkan pada beban dan tanggung jawab untuk merawat dan menghidupi keluarga.
Ketika mereka, ataupun suami dan ayah mereka tidak lagi dapat mengakses sumber
kehidupan dan lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri, maka perempuan
harus berpikir dan bekerja lebih berat untuk mencari alternatif sumber
kehidupan, termasuk bekerja sebagai Buruh Migran di luar negeri.
Sayangnya, upaya pemerintah untuk
menyediakan perlindungan bagi perempuan buruh migran, khususnya pekerja rumah
tangga belum mampu mengatasi akar pesoalan. Bahkan, beberapa kebijakan yang
dibuat atas nama perlindungan cenderung diskriminatif.
Pemberlakuan Roadmap Zero
Domestic Workrs yang diperkuat dengan Kepmen 260 Tahun 2015 menjadi bukti yang
tidak terbantahkan. Pasalnya, alih-alih menyediakan perlindungan bagi perempuan
yang mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak, kebijakan ini justru
mendiskriminasi Pekerja Rumah Tangga Migran karena bersifat pelarangan atau
pembatasan bagi pilihan perempuan untuk bekerja. Hal ini jelas melanggar
Konvensi Migran 90, dan Rekomendasi CEDAW No. 26. Oleh karena itu, hak asasi
buruh migran tidak akan terpenuhi apabilan masih terdapat kebijakan yang
mendiskriminasi buruh migran. “Bukti jika Negara serius melindungi hak-hak
perempuan buruh migran adalah dengan mencabut kebijakan dan menghentikan
berbagai praktik diskriminatif terhadap perempuan buruh migran dan keluarganya”
Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menegaskan.
Tidak saja diskriminatif,
pemberlakuan kebijakan ini nyatanya berdampak pada melonjaknya kasus-kasus
trafficking perempuan buruh migran di Arab Saudi dan Negara timur tengah
lainnya. Data Solidaritas Perempuan (SP) dan Serikat Buruh Migran Indonesia
(SBMI) menunjukkan lebih dari 263 kasus trafficking yang dilaporkan dengan modus
penempatan unprosedural pasca pemberlakuan Kepmen 260/2015 tentang Penghentian
dan Pelarangan Pengiriman TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur
Tengah. Sekali lagi, situasi menjadi bukti kuat dari ketidakefektifan kebijakan
tersebut yang justru semakin merentankan perempuan buruh migran menjadi korban
perdagangan orang.
Perlu diakui, bahwa upaya
pemerintah dalam mewujudkan perbaikan tata kelola migrasi terlihat dalam UU No.
18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang baru disahkan
pada Oktober 2017. Pembagian tugas dan wewenang yang proporsional antara
pemerintah pusat dan daerah, pengurangan peran swasta dalam system penempatan,
pembentukan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), peralihan pengelolaan jaminan
sosial dari swasta ke Negara, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan menjadi
isu penting yang diatur UU. Menanggapi UU ini, Hariyanto, Ketua Serikat Buruh
Migran Indonesia mengingatkan bahwa “Pemerintah juga harus menjamin pendidikan
gratis dan aksesnya yang mudah agar dapat dinikmati manfaatnya bagi buruh
migran termasuk anak buruh migran. Ini penting agar buruh migran dan
keluarganya memiliki bekal pengetahuan dan ketrampilan yang baik dalam
mempertahankan maupun memperjuangkan hak-haknya”.
Lebih lanjut, Savitri dari
Jaringan Buruh Migran menyatakan “Permasalahan yangg dialami oleh buruh migran
terbesar adalah masalah ketenagakerjaan dalam hal upah rendah dan upah tidak
dibayar, kondisi kerja yang ekspolitatif dalam hal jam kerja tinggi, beban
pekerjaan berat, tidak ada hari libur, dan mendapatkan kekerasan baik psikis
maupun fisik. UU PPMI meski telah lebih baik dari UU No. 39/2004 namun masih
banyak kelemahan yang perlu di perbaiki dalam 28 peraturan turunan terutama
pada bagian pengawasan. Pengawasan harus memastikan bahwa hak-hak buruh migran
tidak dilanggar dan pelayanan migrasi dapat mudah diakses, mudah dijangkau,
cepat, bebas pungli dan bebas dari komersialisasi. Jangan sampai peraturan
turunan memunculkan ruang eksploitasi yang baru”.
Senada, Puspa Dewy menegaskan
bahwa UU No. 18 Tahun 2017 masih menyisakan persoalan, terutama bagi Pekerja
Rumah Tangga Migran yang mayoritas adalah perempuan. “Masih ada celah
kerentanan PRT Migran di dalam UU No. 18/2017. Pekerja rumah tangga yang masih
sangat rentan mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang karena
penempatannya masih diserahkan kepada pihak swasta,” pungkasnya. Oleh karena
itu, pembentukan peraturan turunan yang dimandatkan UU No. 18/2017 harus terus
dikawal dan dikritisi untuk memastikan jaminan perlindungan seluruh hak-hak
Buruh Migran dalam Konvensi Migran 1990 sepenuhnya dapat direalisasikan tanpa
terkecuali, termasuk dengan mencabut kebijakan dan menghentikan praktik
diskriminatif terhadap buruh migran.
Jakarta, 18 Desember 2017
Jaringan Buruh Migran
Narahubung
Hariyanto: 082298280638
Risca: 081219436262
Savitri: 082124714978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar