Potret Kebijakan dan Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran Indonesia Sepanjang 2020
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mencatat dalam laporan Catahu pada tahun 2020 terjadi peningkatan kasus dibandingkan tahun 2019 dengan ragam kasus yang dialami PMI berupa kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran atas kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang hingga penghilangan nyawa secara paksa karena kriminalisasi yang dialami.
Data
Solidaritas Perempuan (SP) lebih lanjut memperlihatkan terjadinya kekerasan berlapis yang dialami perempuan
PMI. Dari 63 pengaduan kasus yang dilaporkan, terdapat 188
jenis/bentuk kasus yang dialami. Penanganan kasus yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa korban trafficking
pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk
kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik dan penahanan dokumen.
Pandemi
Covid-19 yang terjadi juga menyebakan perempuan
buruh migran semakin rentan dan terbatas mobilitasnya, baik dalam mengakses
kebutuhan sehari-hari maupun pendampingan dan bantuan hukum ketika mengalami
kasus. Selain itu, kasus penahanan melebihi batas waktu di Pusat Tahanan
Sementara Tawau (PTS), Sabah yang biasa disebut Rumah Merah dan dikenal
dikalangan buruh sebagai tempat penyiksaan sebanyak 10%.
Angka yang tinggi ini berkaitan erat dengan penundaan
deportasi akibat ketidaksiapan pemerintah untuk memfasilitasi kepulangan PMI dalam situasi pandemi Covid-19.
Penanganan
Covid-19, baik di Sabah, Malaysia, maupun di Indonesia, telah mengabaikan keselamatan
dan HAM dari PMI beserta keluarganya. Buruh migran yang tidak memiliki dokumen mengalami
penahanan berkepanjangan di PTS atau Depo Imigrasi, di Sabah, Malaysia karena
prosedur deportasi yang rumit. Pemulangan segera juga terhambat oleh keputusan pemerintah
Indonesia, khususnya oleh permintaan Gubernur Kalimantan Utara kepada otoritas
di Sabah, untuk menunda deportasi dengan alasan ketiadaan dana untuk menerima
deportan, maupun dalih prosedur penanganan Covid-19 di wilayah perbatasan
Nunukan. Para deportan akhirnya mengalami penyiksaan di dalam PTS, yang sudah
menjadi masalah sejak lama. [1]
Alih-alih
pemerintah bahu membahu untuk memperbaiki layanan
tata kelola migrasi khususnya pada saat
pandemi Covid-19 dengan segera mengesahkan seluruh
aturan turunan UU PPMI dan memastikan adanya afirmatif layanan bagi PMI
terutama PMI yang bekerja disektor rentan di seluruh tahapan migrasi,
pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja yang mana dampak UU Cipta Kerja
bagi PMI akan semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan bagi para PMI. Pengesahan UU Cipta Kerja pun
menjadi langkah mundur setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 dan
mengesahkan UU PPMI yang sarat akan perlindungan.
Savitri Wisnuwardhani,
SekNas JBM melihat jumlah kasus yang
justru meningkat terutama di masa pandemi covid 19. Sedangkan dari segi
kebijakan, adanya pola yang sama dan tidak tuntas
dalam pembuatan kebijakan perlindungan PMI. Yang mana hingga sekarang, seluruh
aturan turunan UU PPMI belum disahkan. Hal ini sangat berdampak
pada implementasi perlindungan bagi PMI. Belajar dari pengalaman yang lalu,
pada masa UU No. 39
Tahun 2004, hingga UU tersebut digantikan oleh UU yang baru,
masih ada beberapa aturan turunan yang belum diterbitkan. Kalaupun diterbitkan,
ada aturan turunan turunan dalam bentuk PP yang diterbitkan lebih dari lima
tahun pasca UU 39/2004 diterbitkan.
Bobi
Anwar, Sekjen SBMI mencatat bahwa terdapat kegawatan. Dari 643 kasus yang ditangani oleh SBMI pada tahun 2020, penempatannya lebih
banyak dilakukan secara non prosedural
dengan presentase mencapai 75,74%, sedangkan yang prosedural hanya 24,26%.
Kebanyakan kasus dialami oleh perempuan dengan persentase mencapai 53,65%,
sedangkan laki-laki sebanyak 46,35%.
Penempatan
unprosedural tersebut, kebanyakan dilakukan oleh orang perseorangan sebanyak
59,14% dan sisanya sebanyak 40,86% dilakukan oleh P3MI dan Perusahaan
Penempatan Pelaut Awak Kapal.
Ayu Eza Tiara, Pengacara Publik LBH Jakarta
menggarisbawahi bahwa Pada masa pandemi Covid-19 seperti ini,
yang mana seharusnya dapat menjadi kesempatan bagi Pemerintah dalam
menyempurnakan dan mengevaluasi tata
kelola penempatan PMI justru tidak dimanfaatkan secara maksimal, hal tersebut
dapat dilihat secara jelas dengan adanya aturan-aturan yang hanya bersifat
responsif namun tidak siginifikan dalam mengatasi masalah PMI yang terdampak
pandemi Covid-19 di luar negeri dan kini dalam kondisi payung hukum yang masih
lemah justru pemerintah sibuk melakukan pembukaan kembali penempatan PMI hanya
karena alasan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Sementara
itu, menurut Dinda N. Yura, Ketua SP, situasi
seperti pandemi menjadikan kebutuhan akan perlindungan bagi PMI justru semakin tinggi, baik dalam bentuk kebijakan maupun langkah-langkah
penanganan yang tepat oleh pemerintah. Sudah lebih dari tiga tahun semenjak UU
PPMI disahkan, perempuan PMI
terus mengalami kekerasan, pelanggaran hak, dan pemiskinan. Sistem migrasi masih
berjalan tanpa perlindungan yang memadai dengan berbagai jebakan trafficking
maupun kerentanan-kerentanan lainnya. Hal ini terjadi tidak hanya karena
ketidakseriusan pemerintah dalam membuat aturan turunan, tetapi menunjukkan
tidak berubahnya perspektif negara dalam mengkomodifikasi buruh migran.
Hingga
saat ini, negara masih memberlakukan diskriminasi perempuan pekerja rumah tangga
migran melalui Kepmenaker No. 260
Tahun 2015 yang melarang penempatan mereka di negara-negara
Timur Tengah. Situasi buruh migran juga diperparah dengan penanganan pandemi
yang tidak berorientasi HAM
dan arah kebijakan negara yang lebih mementingkan Omnibus Law untuk kepentingan
investasi, daripada kebijakan yang dibutuhkan PMI dan keluarganya, seperti aturan turunan UU PPMI, dan RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga.
Lebih
lanjut, Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI menuturkan
bahwa pada 10 Desember 2018 Kemnaker RI mengeluarkan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan RI Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial PMI yang mana, PMI
baru dapat mengakses dua jaminan yakni Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Sedangkan kondisi PMI di negara tujuan banyak yang tidak mendapatkan asuransi
kesehatan dan PMI akan dikenakan 2 kali lipat biaya pengobatan jika rawat inap
dan harus dibayar di depan, sehingga banyak PMI yang tidak mampu berobat di
rumah sakit.
Selain
itu, terdapat masalah dengan persyaratan klaim juga sangat sulit bagi PMI,
mereka hanya diberi waktu 7 hari kerja dan harus disertakan nota dari Perwakilan Negara RI, sedangkan
jarak Perwakilan dengan keberadaan PMI belum tentu bisa di jangkau dalam waktu satu
hari, belum lagi perwakilan sangat sulit memberikan nota yang dimaksud.
Dalam rangka memperingati Hari
Buruh Migran Internasional yang jatuh pada tanggal 18 Desember
2020, JBM yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh
dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran mendesak
Pemerintah agar :
- Segera
menerbitkan seluruh aturan turunan UU PPMI dan berkonsultasi dengan para pihak yang berkepentingan di antaranya PMI, organisasi PMI dan organisasi yang peduli terhadap isu PMI, serta mengimplementasikan jaringan pengaman perlindungan PMI pada masa pandemi Covid-19.
- Merevitalisasi
seluruh layanan migrasi kerja di seluruh tahapan
kerja PMI baik pra keberangkatan,
selama dan pasca pemulangan dengan menggunakan pendekatan HAM dan responsif
gender.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja segera
dicabut dan fokus pada penanganan krisis yang terjadi di berbagai sektor.
- Segera menyusun rencana dan agenda kerja penyusunan peraturan pelaksana yang jelas, terarah, dan terukur termasuk membuat sistem pengawasan perlindungan yang efektif dari tingkat desa hingga pusat.
- Segera ratifikasi Konvensi ILO No. 188
tentang perlindungan ABK dan Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja
Rumah Tangga.
- Segera bahas dan sahkan Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga.
- Hapus kebijakan diskriminatif terhadap
Pekerja Migran Indonesia.
- Segera terjemahkan, sosialisasikan, dan
implementasikan The Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration.
- Implementasikan rencana kerja regional ASEAN
Consensus, ASEAN Convention on Trafficking in Person, dan Convention
of Migrant Workers 1990.
- Implementasikan konvensi migran dan UU
PPMI dengan merombak paradigma komodifikasi menjadi orientasi Hak Asasi Manusia
dan Hak Asasi Perempuan
- Implementasikan Rekomendasi Umum CEDAW
No. 26 dengan mengevaluasi dan mencabut Kepmenaker 260/2015 yang
mendiskriminasi Perempuan Buruh Migran
Jakarta, 17 Desember 2020
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU
Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau
Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok,
LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta,
TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right
Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani (082124714978)
Bobi Anwar (085283006797)
Ayu Eza Tiara (082111340222)
Dinda N. Yura (081818722510)
Yatini Sulistyowati (085312303209)
[1] Lihat Laporan Tim Pencari Fakta, Kondisi Migran Indonesia
yang Dideportasi Selama Masa Covid-19 dari Sabah, Malaysia ke Indonesia
(Desember 2019-September 2020) Koalisi Buruh Migran Berdaulat 7 Oktober 2020 http://www.solidaritasperempuan.org/sub/wp-content/uploads/2020/10/Laporan-TPF-Buruh-Migran.pdf
