Laman

Translate

Memahami Konsep ICOR dalam Isu Ketenagakerjaan dengan menggunakan Perspektif HAM dan Gender dalam Penelitian untuk Meningkatkan Tata Kelola Praktik Penempatan dan Layanan bagi PMI


           

Sekretariat Jaringan Buruh Migran (JBM) menggelar FGD daring bagi tim penelitian yang tergabung dalam penelitian mengenai pelindungan PMI melalui layanan LTSA yang berperspektif HAM dan gender yang akan dilakukan di tiga kabupaten (Lombok Timur - NTB, Karawang – Jawa Barat, Banyuwangi – Jawa Timur) yang merupakan kantong PMI sekaligus kabupaten yang pemerintahnya memiliki Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). FGD ini merupakan rangkaian beberapa FGD yang sebelumnya sudah dilakukan JBM seperti FGD dengan melibatkan para pekerja migran Indonesia yang ada di dalam dan di luar negeri untuk berbagi situasi, kerentanan dan harapan dalam perbaikan tata kelola migrasi PMI.

Dalam FGD membahas mengenai konsep ICOR dalam isu ketenagakerjaan dengan menggunakan  perspektif HAM dan responsif gender, juga mengundang dua narasumber yang masing-masing bercerita mengenai konsep ICOR dalam ketenagakerjaan dan perspektif gender dalam penelitian, yaitu Johnny Darma, mantan Kabid Binapenta Disnakertrans Prov. Jawa Barat dan Ani Soetjipto, dosen Ilmu HI Universitas Indonesia dan Board Yayasan Tifa.

            Selama ini, migrasi kerja masih sering dianggap sebagai beban oleh pemerintah daerah, padahal sesuai UU No. 18 Tahun 2017, pemerintah daerah mengemban wewenang yang cukup besar dalam penempatan dan pelindungan PMI. Migrasi kerja belum diintegrasikan dengan konsep pembangunan, sehingga migrasi kerja belum dimaknai sebagai hal yang dapat mendongkrak perekonomian daerah. Prasetyohadi dari The Institute for Ecosoc Rights, dalam pengantarnya mengatakan bahwa organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk JBM hingga kini lebih banyak berbicara hal yang normatif. Latar belakang inilah yang kemudian mendorong JBM untuk membahas hal yang lebi teknis, mengenai konsep ICOR yang pernah dijajaki dalam isu ketenagakerjaan untuk mengetahui apakah terdapat terobosan baru yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar advokasi peningkatan tata kelola praktik penempatan dan layanan bagi PMI.

            Sebagai narasumber pertama, Johnny Darma secara garis besar menyampaikan bahwa dalam konteks makro, isu ketenagakerjaan menjadi bagian dari sektor jasa (sektor 9) dalam perhitungan ICOR. ICOR itu sendiri adalah Incremental Capital Output Ratio yang menghitung keluaran (output) dari suatu investasi yang ditanamkan. Misalnya dalam isu migrasi ketenagakerjaan, dalam setiap investasi yang ditanamkan oleh pemerintah untuk pembangunan Balai Latihan Kerja (BLK), ICOR menghitung seberapa besar dampak hingga berapa PMI yang dihasilkan dari investasi tersebut.

            Hanya saja, Johnny Darma menekankan bahwa perhitungan ICOR ini tidak berdampak secara langsung terhadap PMI itu sendiri, melainkan ICOR hanya bisa menjadi dasar untuk menilai seberapa besar perhatian pemerintah bagi PMI. Sehingga, organisasi masyarkat sipil bisa menanyakan ke pemerintah tentang berapa besar investasi yang ditanamkan dalam sektor migrasi ketenagakerjaan dan berapa besar keluaran yang dihasilkan. Optimal atau tidaknya investasi tersebut juga bisa dinilai karena perhitungan ICOR.

            Selain itu, Johnny Darma juga menyinggung terkait persoalan yang lebih mikro, yaitu mengenai UU No. 18 Tahun 2017 (UU PPMI). Ia menyebutkan bahwa memang UU PPMI adalah perubahan yang besar dari UU sebelumnya, yaitu UU No. 39 Tahun 2004. Hanya saja memang hingga kini LTSA masih banyak terkendala, utamanya di bidang anggaran hingga persoalan ajang pungli yang masih dapat ditemukan dalam usaha pemerintah daerah memberikan pelindungan terhadap PMI.

            Selanjutnya, Ani Soetjipto sebagai narasumber kedua memaparkan mengenai konsep gender dan pentingnya perspektif gender dalam penelitian. Gender itu sendiri tidak bisa dipahami sebagai aspek biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, melainkan gender berbicara banyak mengenai relasi hingga atribut multi-identitas yang erat dalam diri setiap manusia, termasuk identitas kelas, pendidikan, agama, etnik, dll.

            Perspektif gender penting dijadikan sebagai pintu masuk dalam penelitian. Dalam konteks penelitian mengenai layanan terpadu satu atap (LTSA), peneliti harus kritis terkait realitas dikotomi sosial laki-laki dan perempuan seperti dikotomi publik dan privat, skilled/semi-skilled dan underskilled, hingga kerja berat dan kerja ringan. Karena yang selama ini diributkan adalah fakta bahwa migrasi kerja sangat berwajah perempuan, maka terkait permasalahan ekslusi perempuan, perspektif gender berusaha menginklusikan kelompok yang terekslusi tersebut.

Mengenai relasi, kita juga berbicara mengenai stereotipe yang melekat terhadap laki-laki dan perempuan, meskipun belum tentu benar. Sehingga, peneliti juga harus kritis dalam memandang bahwa dampak dari suatu kebijakan dapat berbeda bagi setiap gender. Di sinilah kemudian pentingnya perspektif gender dalam penelitian yang diharapkan dapat menghasilkan hasil temuan dan rumusan rekomendasi yang mampu menjadi bahan advokasi yang responsif gender.

Setelah pemaparan materi oleh kedua narasumber, kegiatan langsung dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi banyak membicarakan mengenai apakah sebenarnya ICOR ini bisa didorong sebagai terobosan baru untuk perbaikan tata kelola migrasi di tingkat daerah? Hanya saja, sebagaimana yang Johnny Darma telah tekankan, sektor jasa dalam ICOR belum banyak diperhitungkan, dan kalaupun ada, ICOR tidak berdampak langsung terhadap PMI, melainkan ICOR hanya bisa menjadi dasar pertimbangan untuk mempertanyakan perhatian pemerintah terhadap sektor migrasi ketenagakerjaan.

Sebelum menutup sesi diskusi, Prasetyohadi memberikan catatan bahwa berdasarkan pemaparan Johnny Darma bahwa LTSA sebenarnya bukan crisis center yang selama ini kita ekspektasikan, karena ternyata LTSA masih hanya berfungsi di aspek penempatan, itupun belum optimal, padahal besar harapan masyarakat dan PMI bahwa LTSA bisa menjadi tempat bagi kemudahan segala hal, termasuk aspek pelindungan PMI.

Sebagai penutup FGD, Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM, menyampaikan beberapa kesimpulan dan catatan diskusi diantaranya mengenai penggunaan ICOR untuk terobosan perbaikan tata kelola di tingkat daerah ke depannya sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan untuk mendesak daerah memberikan perhatian kepada PMI dengan melihat kontribusi daerah dari segi anggaran dalam memberikan perlindungan kepada PMI. Selain itu Savitri juga menyampaikan beberapa pengamatan awal mengenai layanan LTSA yang telah diterapkan di tingkat daerah dengan menyoroti pada tiga isu krusial yakni mengenai kebijakan, kelembagaan, dan layanan. Dalam hal kebijakan, hal yang di tekankan lebih kepada pentingnya payung hukum yang lebih spesifik mengenai  LTSA agar layanan yang ada dapat lebih ditingkatkan.  Untuk kelembagaan sendiri, peran pemerintah daerah dalam memastikan LTSA dapat berjalan secara maksimal baik itu mulai dari infrastruktur hingga informasi mengenai pentingnya LTSA untuk perlindungan PMI masih terbatas. Terakhir, dilihat dari layanan, akses PMI dalam menjangkau layanan di LTSA masih belum mandiri. Peran calo/sponsor yang mengarahkan PMI di  LTSA masih cukup banyak.

Penulis : Sayyid Muhammad Jundullah (Jundi)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan