RESUME DISKUSI PUBLIK JWB 12 NOVEMBER 2020
Kamis, 12 November 2020, Justice Without Borders
Indonesia (JWB Indonesia) baru saja menggelar diskusi publik daring dengan
tema “Realitas dan Akses Keadilan bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia di
Indonesia, Singapura, dan Hong Kong” yang menghadirkan empat pembicara. Mereka
adalah Douglas MacLean selaku Direktur Eksekutif JWB, Yudhi Ardian selaku Kasubdit
PWNI dan BHI Kawasan I Asia Tenggara, Tiasri Wiandani selaku Komisioner
Komnas Perempuan, dan Maizidah Salas selaku Koordinator Pendidikan DPN SBMI.
Secara umum, diskusi publik ini membahas bagaimana
perempuan PMI, khususnya di Indonesia, Singapura, dan Hong Kong yang dalam
setiap tahapan migrasi, mulai dari tahap pra penempatan, penempatan, hingga
pasca penempatan menjadi kelompok rentan yang sering menghadapi berbagai risiko
mulai dari diskriminasi ganda, jeratan hutang, kekerasan, hingga eksploitasi.
Saat ini, masih terdapat tantangan bagi perempuan PMI dalam mengakses keadilan
dan mendapatkan hak mereka.
Tiasri Wiandani mengawali diskusi dengan memaparkan
hukum dan perjanjian internasional mengenai hak perempuan dan hak bekerja yang
belum dan telah diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya, beliau menyampaikan
jenis-jenis kasus perempuan PMI yang dilaporkan kepada Komnas HAM, di antaranya
adalah kasus perdagangan orang, pelarangan pulang oleh majikan, upah tidak
dibayarkan, tidak dapat dihubungi keluarga, dijadikan kurir narkoba, hingga
penganiayaan dan pelecehan seksual oleh majikan.
Yudhi Ardian kemudian menyajikan data bahwa kondisi
PMI di Singapura sangat berwajah perempuan, sebagaimana 74% dari 210.000 WNI di
Singapura adalah PLRT yang mana mayoritas dari mereka adalah perempuan. Melalui
Permenlu No. 5 Tahun 2018, lingkup pelindungan WNI di luar negeri oleh Kemenlu
RI melalui Perwakilan RI di luar negeri adalah melalui pencegahan, deteksi
dini, dan respons cepat. Namun, memang Perwakilan RI di luar negeri mengalami
kesulitan dalam menghadapi tantangan kasus PMI yang melibatkan PMI non
prosedural, tantangan kasus hukuman mati, hingga tantangan kasus secara umum
pada masa pandemi.
Maizidah Salas menambahkan apa yang telah disampaikan
oleh Tiasri Wiandani. Menurutnya, hal krusial yang perlu diperhatikan juga
adalah fakta bahwa akses informasi perempuan PMI sangat riskan dan terbatas
karena pemberian informasi masih didominasi oleh calo hingga media sosial yang
menyesatkan. Belum lagi, di tingkat daerah belum ada layanan informasi migrasi
yang aman dan informasi mengenai bantuan hukum.
Douglas MacLean lebih lanjut memaparkan bagaimana
kerja litigasi lintas negara yang dilakukan oleh JWB dalam membantu PMI
mengklaim hak mereka. Beliau menekankan bahwa upaya litigasi yang dilakukan
oleh pemerintah kebanyakan berputar di klaim pidana daripada klaim kompensasi
perdata. Di beberapa negara, PMI yang haknya direbut pada hakikatnya memiliki
kesempatan untuk mengklaim hak mereka untuk mendapatkan misalnya kompensasi
moneter.
Persoalan akses keadilan ini sangat kompleks bila
berbicara mengenai pekerja migran. Banyak pekerja migran tidak memiliki bargaining
power ditambah dengan keterbatasan bantuan hukum. Banyak dari mereka
akhirnya memilih jalan damai agar bisa kembali ke tanah air. Douglas juga
membawa studi kasus Nisa dan Joenalyn, pekerja migran dari Indonesia dan
Filipina yang masing-masing mengalami penganiayaan fisik dan PHK secara tidak
adil. Proses litigasi lintas batas negara yang didukung oleh pengacara pro-bono memberikan kemenangan tunggal bagi keduanya. Kasus Joenalyn, menjadi
sorotan karena untuk pertama kalinya, Pengadilan Buruh Hong Kong mengizinkan
kasus dilanjutkan melalui konferensi video dari Filipina.
Meskipun diskusi publik lebih banyak membahas realitas
dan akses keadilan perempuan PMI di Indonesia, Singapura, dan Hong Kong karena
masih adanya keterbatasan ruang lingkup kerja JWB, namun diskusi publik ini
tetap menekankan pola permasalahan PMI yang sebenarnya tidak berbeda jauh bagi
seluruh PMI di berbagai negara. Karenanya, diskusi juga menyinggung realitas PMI di berbagai
negara seperti Malaysia hingga kawasan Timur Tengah.
Selama sesi diskusi berlangsung, forum banyak membahas
tentang bagaimana JBW memberikan bantuan litigasi lintas batas negara terhadap
para pekerja migran yang hak-haknya terenggut, termasuk bagaimana JBW bekerja
sama dengan para pengacara pro bono. Tidak hanya itu, masalah PMI selama
pandemi Covid-19 juga menjadi topik yang menarik dan banyak dibahas oleh para
partisipan, tidak terkecuali Savitri Wisnuwardhani dari Jaringan Buruh Migran
(JBM) yang turut mengajukan pertanyaan ke forum seputar masalah PMI selama
pandemi. Sebenarnya apa saja masalah yang sering dialami oleh para PMI selama
pandemi? Ternyata, masalah yang mereka hadapi sangat banyak, utamanya sebelum
dan semasa penempatan.
Selama pandemi, berbagai masalah yang dihadapi oleh
PMI sebelum penempatan antara lain adalah banyak PMI menunggu terlalu lama di
penampungan, terancam gagal berangkat karena majikan tidak jadi mempekerjakan
PMI, hingga minimnya informasi yang diterima terkait negara mana saja yang
diperbolehkan bagi PMI untuk bermigrasi kerja.
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh banyak PMI semasa
penempatan antara lain adalah kebijakan karantina 14 hari setelah mereka sampai
di negara tujuan. Apabila selama karantina PMI terinfeksi Covid-19, pembiayaan
akan ditanggung oleh majikan (kecuali Hong Kong). Hal ini berpotensi menjadi
alasan bagi majikan untuk memotong gaji PMI nantinya. Selain itu, masalah lain
adalah terkait PHK semasa bekerja, beban kerja semakin berat karena majikan yang
bekerja dari rumah (WFH), tertular Covid-19 dari majikan, ancaman overstay karena
kesulitan untuk pulang semasa pandemi apabila kontrak sudah berakhir, hingga
diskriminasi yang dialami oleh PMI dalam mengakses lowongan kerja di Malaysia.
Selama pandemi, tes usap (swab) Covid-19 menjadi persyaratan yang harus
dipenuhi oleh PMI untuk dapat mengakses lowongan kerja, sedangkan warga lokal
tidak diharuskan untuk memenuhi persyaratan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar