Hallo sobat, masih ingat keseruan saat Festival Buruh Migran bulan lalu pada tanggal 18 Des'18 yang juga bertepatan dengan Hari Buruh Migran Internasional. Yaa aku mau ingetin lagi nih gimana keseruan-keseruan kita waktu lalu. Banyak sekali harapa-harapan untuk perlindungan bagi Buruh Migran kita ya salah satunya yakni dihapuskannya kebijakan yang diskriminatif bagi Pekerja Migran Indonesia, dll.Bagi kalian yang hadir saat acara tersebut pasti tau dong kaos yang kita kenakan. Nah, kita jual kaos tersebut untuk fundraising. Yukk bagi yang minat bisa hubungi kita lewat pesan atau via email ke jaringan@buruhmigran.or.id ... 😊

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
Agar Buruh Migran Terhindar dari Calo, Ini Pesan Menaker
Pemerintah daerah ikut bertanggung jawab.
Pembenahan tata kelola penempatan dan perlindungan buruh migran terus bergulir. Sampai saat ini pemerintah masih menggodok sejumlah peraturan turunan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, menekankan pentingnya peran pemerintah desa untuk memfasilitasi warganya yang ingin menjadi pekerja migran. Peran itu harus diperkuat agar calon buruh migran tidak terjebak calo.
Hanif berharap setiap calon buruh migran yang bekerja ke luar negeri menempuh prosedur yang benar dan legal. Buruh migran yang berangkat melalui jasa calo biasanya luput dari pantauan dan pendataaan aparat desa. "Keterlibatan aparat desa perlu diperkuat. Selama ini data WNI yang menjadi pekerja migran tidak terkelola dengan baik karena banyaknya calo beredar di desa-desa," katanya dalam keterangan pers, Sabtu (17/11).
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah pusat untuk memperkuat peran desa dalam mengelola penempatan dan perlindungan buruh migran melalui Program Desa Migran Produktif (Desmigratif). Sejak diluncurkan tahun 2016 sampai sekarang program ini telah membina 252 desa, tahun depan ditargetkan jumlahnya bertambah 150 desa. Program ini menyasar desa yang warganya mayoritas bekerja sebagai buruh migran.
Hanif menjelaskan ada 4 pilar program Desmigratif, antara lain layanan migrasi, meliputi pendataan dan pendaftaran sebagai antisipasi pendataan awal imigrasi. "Jadi orang yang keluar masuk ke desa itu bisa terdata dan terkelola dengan baik. Hal ini perlu dilakukan terutama bagi yang penduduknya bekerja di luar negeri," ujarnya.
Hanif menyebut data WNI yang menjadi pekerja migran tidak terkelola dengan baik. Misalnya, dalam mengirim jenazah pekerja migran ke Jawa Tengah, ternyata alamat sebenarnya di Jawa Timur. "Kita kirim ke NTB ternyata orang NTT. Kenapa? Karena prosesnya di luar, pemerintah desa bahkan tidak mengetahui ada warganya keluar negeri karena calo-calo mengambil dan memprosesnya di luar daerah. Ini perlu diatasi bersama," tegasnya.
Pengurus Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, mengingatkan tugas dan tanggung jawab pemda dalam menangani buruh migran diatur dalam pasal 40-42 UU PPMI. Sedikitnya ada 9 tanggung jawab yang harus dijalankan pemerintah provinsi antara lain menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi.
Pemerintah provinsi juga bertanggung jawab mengurus kepulangan pekerja migran dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, menerbitkan izin kantor cabang perusahaan penempatan pekerja migran; dan memberikan pelindungan untuk pekerja migran sebelum dan setelah bekerja. Pemerintah provinsi dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia.
Untuk pemerintah kabupaten/kota, UU PPMI mengamanatkan 11 tugas antara lain melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja di kabupaten/kota; melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi pekerja migran dan keluarganya; dan membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia di tingkat kabupaten/kota.
Buku Saku Memahami Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Hallo sobat Migran, bagi kalian yang belum memiliki salah satu alat kampanye JBM yakni Buku Saku Memahami Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Kalian bisa buka link berikut lohh untuk membacanya https://issuu.com/jaringan-buruh-migran/docs/buku_saku_jbm , yuk guys dicek cek. Besar harapannya, buku saku ini dapat membantu dan memandu semua pihak yang peduli akan perlindungan PMI agar PMI mengetahui hak-haknya termasuk layanan perlindungan yang dimandatkan dalam UU PPMI. Selain itu juga, dengan memahami kelebihan dan kelemahan dari UU PPMI, seluruh elemen masyarakat bersama-sama turut mengawal peraturan turunan UU PPMI. #savepmi #pmi #perlindunganpmi #UUPPMI #jbm #bukusaku#UU18/17 #westandformigran
Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Pekerja Migran Butuh Intervensi Pemerintah
Indonesia-Arab Saudi perlu menjalin MoU yang memuat ketentuan teknis dalam perlindungan pekerja migran Indonesia, misalnya sidak langsung ke rumah majikan.
Eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan pemerintah Arab Saudi kepada pekerja migran Indonesia asal Cikeusik, Majalengka, Jawa Barat, Tuti Tursilawati, menuai kecaman banyak kalangan mulai dari pejabat publik sampai masyarakat sipil. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) mencatat Tuti sebagai pekerja migran Indonesia yang menjadi korban eksekusi hukuman mati ke-5 di Arab Saudi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Melansir data Kementerian Luar Negeri per Maret 2018 JBM menyebut ada 188 WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Jumlah paling besar ada di Malaysia 148 WNI, Arab Saudi 20 WNI, dan China 11 WNI. JBM memantau kasus Tuti bermula sejak Mei 2010, dia dituduh melakukan pembunuhan berencana dan tahun 2011 divonis hukuman mati. Selama 8 tahun organisasi masyarakat sipil seperti SBMI dan Migrant Institute, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi telah melakukan pendampingan sekaligus pembelaan hukum.
Sayangnya pembelaan hukum yang dilakukan itu tidak berbuah hasil seperti harapan, Tuti dieksekusi mati Senin (29/10). Ironisnya, eksekusi itu tidak didahului oleh pemberitahuan resmi dari pemerintah Arab Saudi kepada perwakilan RI. Informasi yang diperoleh dari Kementerian Luar Negeri menjelaskan kasus Tuti masih dalam proses Peninjauan Kembali tahap kedua.
Menurut JBM tindakan pemerintah Arab Saudi itu sering terjadi ketika mengeksekusi pekerja migran Indonesia. Padahal tindakan itu melanggar Konvensi Wina 1963 yang mengatur kewajiban adanya notifikasi resmi secara tertulis. Dalam hal ini JBM melihat pemerintah Arab Saudi telah meratifikasi konvensi tersebut.
Sekretaris Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Boby Alwi, mengatakan 12 Oktober 2018 pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Arab Saudi tentang Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel). Penempatan itu dilakukan untuk buruh migran dengan berbagai profesi seperti babysitter family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper, dengan pilot project 30.000 pekerja yang diberangkatkan.
Boby berpendapat MoU ini dibuat tanpa melalui diskusi dengan buruh migran dan organisasi masyarakat sipil. Menurutnya MoU itu harus mengatur sampai teknis perlindungan terhadap buruh migran. Misalnya, ketika terjadi sengketa ketenagakerjaan antara buruh migran dan penggunanya, aparat berwenang bisa langsung melakukan intervensi. Tanpa intervensi itu Boby yakin perkara serupa yang dialami Tuti akan terjadi lagi.
“Jika pemerintah tidak bisa melakukan intervensi ke dalam sengketa hubungan kerja, maka buruh migran dipastikan tidak mendapat perlindungan,” kata Boby dalam keterangan pers, Sabtu (3/11).
JBM melihat pekerja migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi rawan mengalami pelanggaran HAM. Berbagai kasus yang sering dialami pekerja migran Indonesia di Arab Saudi seperti penganiayaan, upah tidak dibayar, pelecehan dan kekerasan seksual, serta kriminalisasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya sistem khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan.
UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia mengatur 3 syarat yang harus ada di negara tujuan buruh migran. Pertama, mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Kedua, telah memiliki perjanjian tertulis antara pemerintah negara tujuan penempatan dan Pemerintah Republik Indonesia. Ketiga, memiliki sistem Jaminan Sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing.
Advokat publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, mengatakan sistem khafallah di Arab Saudi perlu direformasi sehingga pekerja migran tidak lagi diposisikan sebagai budak perempuan (Haddamah/Ammat). Selaras itu pemerintah Arab Saudi harus mematuhi hukum internasional, salah satunya Konvensi Wina 1963.
Kepala Divisi Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya Solidaritas Perempuan, Risca Dwi Ambarsari, mengatakan dari pendampingan dan advokasi yang dilakukan organisasinya dapat disimpulkan perempuan yang bekerja di Arab Saudi sebagai pekerja migran sektor domestik merupakan korban perdagangan orang. Mayoritas pekerja migran perempuan itu mengalami beban kerja berlebih, jam kerja panjang, upah tidak dibayar, kekerasan fisik, psikis dan seksual serta kriminalisasi.
Menurut Risca salah satu penyebabnya yakni masih berlakunya budaya dan sistem hukum yang diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan. “Ini menjauhkan Perempuan PRT Migran dari akses terhadap keadilan atas perlindungan hak sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Migran 1990,” ujarnya.
Risca menegaskan pemerintah berperan penting dalam melindungi pekerja migran di luar negeri sebagaimana amanat UU No. 18 Tahun 2017. Beleid yang disahkan Presiden Joko Widodo 22 November 2017 itu memperkuat peran atase ketenagakerjaan dalam rangka mempercepat pelayanan dan pengawasan kasus ketenagakerjaan yang dialami buruh migran.
Seknas JBM, Savitri Wisnuwardani, mendesak pemerintah untuk mempercepat terbitnya peraturan teknis UU No.18 Tahun 2017. Beberapa peraturan turunan yang penting dalam rangka melindungi buruh migran yakni pelatihan vokasi, kompensasi, rehabilitasi, dan pemulihan psikologis.
Selaras itu JBM mendorong pemerintah untuk melakukan 6 tindakan. Pertama, mengkaji ulang rencana uji coba penempatan 30 ribu pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi melalui sistem satu kanal (one channel). Kedua, melakukan upaya pembelaan hukum yang lebih maksimal bagi pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara. Ketiga, mencabut kebijakan hukuman mati di Indonesia karena melanggar HAM, terutama hak hidup.
Keempat, melaporkan ke PBB tentang pelanggaran Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum (khafallah) yang bisa melindungi pekerja migran. Kelima, menyediakan pemulihan psikologis bagi keluarga pekerja migran Indonesia korban eksekusi mati. Keenam, mempercepat teritnya peraturan turunan UU No.18 Tahun 2017 untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya sebelum 22 November 2019.
Pola Berulang Eksekusi Mati Pekerja Migran Indonesia
PRESS RELEASE
Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari 28 organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri mengucapkan turut berbelasungkawa atas meninggalnya Tuti Tursilawati. Tuti Tursilawati, PRT Migran asal Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, Jawa Barat merupakan korban eksekusi hukuman mati ke-5, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Arab Saudi. Per Maret 2018, Kementerian Luar Negeri menginformasikan ada 188 WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia, terbesar di Malaysia yakni 148 WNI, Arab Saudi 20 WNI, dan RRT 11 WNI. Khusus untuk Arab Saudi, sebanyak 103 WNI terancam hukuman mati, 85 dibebaskan dari hukuman mati, dan 13 masih diupayakan pembelaan hukumnya.
Kasus Tuti Tursilawati bermula sejak Mei 2010, dengan tuduhan pembunuhan berencana dan pada tahun 2011 divonis hukuman mati. Selama 8 tahun telah dilakukan pendampingan dan pembelaan hukum oleh organisasi masyarakat sipil yaitu SBMI dan Migrant Institute serta pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Arab Saudi.
Senin 29 Oktober 2018 pukul 09.00 pagi, Tuti Tursilawati telah dieksekusi oleh pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan resmi terlebih dahulu kepada perwakilan RI. Padahal, informasi dari Kementerian Luar Negeri bahwa kasus Tuti masih dalam proses Peninjauan Kembali tahap kedua.
Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi merupakan pola yang seringkali terjadi terhadap PRT migran Indonesia dan pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1963 yang didalamnya memandatkan kewajiban terkait notifikasi resmi tertulis, yang mana pemerintah Arab Saudi juga sudah meratifikasi Konvensi Wina tersebut.
Kasus Tuti dalam proses hukum di Arab Saudi di kategorikan sebagai pelanggaran Hadd ghillah (perbuatan pidana yang tidak bisa dimaafkan kecuali oleh Tuhan), kasus ini juga tidak bisa dinegosiasikan menjadi kasus Qisas yang dapat dimaafkan atau dibayar dengan denda.
Tuti hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi MAnusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi. Situasi kerja tidak layak, sistem khafallah yang tertutup, adanya kebijakan yang belum melindungi buruh migran menjadi penyebab utama kasus ini.
Berbagai kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM seperti penganiayaan, gaji yang tidak dibayarkan, pelecehan dan kekerasan seksual, kriminalisasi hingga berujung pada kematian (dibunuh, eksekusi hukuman mati terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan dari buruknya situasi dan kondisi kerja di Arab Saudi. Hal ini diperparah dengan adanya system khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan.
Indonesia pada 12 Oktober 2018, baru saja menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Arab Saudi mengenai Sistem Penempatan Satu Kanal (One Channel) dengan berbagai profesi yakni babysitter family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper, dengan pilot project 30.000 pekerja yang diberangkatkan.
Jaringan Buruh Migran melihat MoU ini dibuat tanpa di diskusikan atau di informasikan terlebih dahulu pada buruh migran dan organisasi masyarakat sipil. Boby Alwi, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mempertanyakan apakah MoU antara Indonesia dan Arab Saudi sudah mengatur sampai pada tingkatan teknis intervensi majikan ketika ada sengketa hubungan kerja dengan buruh migran. Jika pemerintah tidak bisa melakukan intervensi ke dalam sengketa hubungan kerja, maka buruh migran dipastikan tidak mendapat perlindungan. Misalnya, ketika ada kasus kekerasan seperti yang dialami Tuti, perwakilan pemerintah RI tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sidak ke rumah majikan.
Belajar dari kasus Tuti, Oky Wiratama, LBH Jakarta , mengatakan bahwa perlunya reformasi system khafallah di Arab Saudi terhadap buruh migran, yang mana PRT migran adalah pekerja Bukan Haddamah atau Ammat (budak perempuan) dan mentaati hukum internasional yakni Konvensi Wina Tahun 1963 tentang kekonsuleran yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Arab Saudi.
Lebih lanjut, Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan menyebutkan berdasarkan pengalaman pendampingan dan penanganan kasus perempuan buruh migran dapat disimpulkan perempuan yang bekerja di Arab Saudi sebagai Pekerja Rumah Tangga adalah korban perdagangan orang. Mayoritas mengalami beban kerja berlebih, jam kerja panjang, gaji tidak dibayar, kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga kriminalisasi dan kematian. Budaya dan sistem hukum yang diskriminatif dan bias gender terhadap perempuan dan Pekerja Rumah Tangga baik di Indonesia maupun di beberapa negara penempatan termasuk Arab Saudi adalah alasan mengapa persoalan kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan tidak kunjung usai. Ini menjauhkan Perempuan PRT Migran dari akses terhadap keadilan atas perlindungan hak sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Migran 1990.
Peran negara dalam perlindungan pekerja migran di luar negeri, diperkuat dengan adanya UU No 18 Tahun 2017 sudah memperkuat peran attache ketenagakerjaan, sehingga perlu dipercepat pelayanan dan pengawasan terhadap seluruh penanganan kasus-kasus ketenagakerjaan, terutama pada kasus hukuman mati, ungkap Yatini Sulistyowati, KSBSI.
Memperkuat pernyataan dari KSBSI, Savitri Wisnuwardani, Seknas JBM, meminta pemerintah untuk mempercepat aturan turunan terutama tentang pelatihan vokasi untuk PMI dan juga kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan psikologis kepada keluarga Tuti dan PMI korban kekerasan yang harus ada di LTSA.
Bersama dengan ini,
Jaringan Buruh Migran (JBM) menyatakan sikap :
1. Mengkaji ulang rencana uji coba penempatan 30.000 Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi melalui sistem satu kanal (one channel)
2. Mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah pembelaan hukum yang lebih maksimal bagi PMI yang terancam hukuman mati di berbagai negara
3. Mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut kebijakan hukuman mati di Indonesia karena melanggar HAM, terutama hak hidup
4. Mendorong pemerintah Indonesia untuk melaporkan ke PBB tentang pelanggaran Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum (khafallah) yang bisa melindungi PMI
5. Mendesak pemerintah untuk menyediakan pemulihan psikologis bagi keluarga PMI korban eksekusi mati.
6. Mendesak pemerintah Indonesia untuk mempercepat aturan turunan UU PPMI sebagai upaya perwujudan perlindungan bagi PMI dan keluarganya sebelum 22 November 2019 (Mandat UU PPMI)
Jakarta, 3 November 2018
Jaringan Buruh Migran
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights
Narahubung :
Boby Alwi (085283006797), Savitri W (082124714978), Oky (081265410330), Risca (081219436262), Yatini (085312303209)
'Kerikil-kerikil' Buruh Migran di Tangan Jokowi
![]() |
Perlindungan terhadap buruh migran era Jokowi-JK dinilai masih perlu ditingkatkan, terutama dalam hal regulasi. (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari) |
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai kisah miris yang datang dari pekerja migran asal Indonesia masih menjadi sorotan selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Pahlawan devisa negara itu masih kerap mendapatkan perlakuan tidak semestinya di negara tempat mereka bekerja. Mulai dari jam kerja yang tidak manusiawi hingga nyawa yang terancam akibat tindak kekerasan yang diterima dari majikannya.
Saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu, Jokowi berjanji akan menjamin hak-hak dan keselamatan pekerja migran di luar negeri dan memasukkannya ke dalam program Nawacita.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai penunaian janji politik soal pekerja migran sudah terlihat. Salah satunya lewat pengesahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Undang-undang itu lantas menggantikan UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Undang-undang pekerja migran yang baru itu memiliki sanksi yang lebih berat ketimbang UU lama bagi para pelanggaranya.
Selain itu, para pekerja migran Indonesia juga menerima jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan. Melalui UU baru ini, pemerintah juga menyediakan pelayanan dan perlindungan pekerja migran dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah melalui layanan terpadu satu atap (LTSA).
"Saya kira memang ada beberapa hal yang patut diapresiasi dalam capaian Nawacita Jokowi misalnya adanya UU baru UU perlindungan pekerja migran Indonesia," tutur Wahyu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (16/10).
Ia juga mengapresiasi langkah kebijakan politik luar negeri yang berpihak kepada buruh dan pekerja migran Indonesia yang diimplementasikan oleh Kementerian Luar Negeri. Pada bulan lalu misalnya, Kementerian luar negeri menetapkan portal perlindungan bagi warga dan pekerja migran asal Indonesia di Korea Selatan.
Dalam keterangan resmi, pemerintahan Jokowi menyatakan terdapat penurunan kasus jumlah TKI bermasalah dalam 3 tahun terakhir. Pada 2015, terdapat 30.661 TKI kemudian turun menjadi 19.029 (2016) dan 15.157 (2017).
Tak hanya itu, Jokowi juga membentuk 21 Satgas TKI dalam kurun waktu 2015-2016. "Melalui satgas TKI, dalam kurun waktu 2015-2016 telah dicegah 2.894 TKI nonprosedural," demikian keterangan tersebut.
Eksekusi Mati Buruh Migran
Kendati demikian, masih terdapat beberapa tantangan dan hal-hal yang perlu dikritisi dalam implementasi Nawacita Jokowi-JK soal perlindungan hak dan keselamatan buruh migran di luar negeri. Hal yang paling mencolok adalah eksekusi mati pekerja migran Indonesia di negara tempatnya bekerja.
Migrant Care mencatat setidaknya ada tiga pekerja migran asal Indonesia yang dieksekusi mati. Kasus paling baru menimpa Muhammad Zaini Misrin, pekerja migran asal Madiun, Jawa Timur. Nyawanya harus melayang di tangan algojo pemerintahan Arab Saudi karena tuduhan pembunuhan majikan yang diklaim tidak dilakukannya.
Selain Misrin tiga tahun sebelumnya ada dua nama TKI yang nyawanya harus melayang di tangan algojo Pemerintah Arab Saudi. Keduanya adalah Siti Zaenab dan Karni yang merupakan TKI asal Jawa Timur.
"Tiga kasus TKI kita yang sudah dieksekusi. Itu PR besar sebenarnya bagi pemerintahan Jokowi," tutur Wahyu.
Belum lagi, berdasarkan catatan Migrant Care setidaknya ada sekitar 180 pekerja migran yang terancam hukuman mati. Pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia (120 orang) dan Arab Saudi (20 orang) adalah yang paling banyak terancam hukuman mati.
"Itu merupakan salah satu tantangan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri," tutur Wahyu.
Selain itu, ujar Wahyu, pemerintah kerap kali salah dalam menentukan kebijakan. Salah satunya adalah terkait moratorium TKI ke Arab Saudi. Meski kebijakan ini diteken pada 2011 lalu saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi juga tak kunjung mencabut moratorium ini.
Kebijakan moratorium ini berdampak pada banyaknya jumlah pekerja migran ilegal yang berangkat ke Arab Saudi. Pasalnya Arab Saudi masih menjadi magnet bagi para pekerja migran Indonesia untuk mencari nafkah.
"Banyak penempatan yang undocumented, yang ilegal kemudian mereka terjebak human trafficking jadi ambil kebijakan yang kadang-kadang keliru," tutur dia.
Tantangan lainnya lanjut dia, adalah belum terdapat peraturan-peraturan turunan untuk implementasi dari UU Nomor 18 Tahun 2017. Ketiadaan peraturan-peraturan turunan itu menjadi salah satu penghambat untuk implementasi dari UU tersebut.
Wahyu mengatakan pemerintah sangat lamban dalam membuat aturan-aturan turunan dari UU PPMI itu. Pasalnya UU PPMI sudah berusia satu tahun sejak pertama kali disahkan.
"Untuk memastikan UU itu berjalan sesuai amanatnya masih sangat lambat," tutur dia.
Wahyu mengatakan kerikil dan tantangan dalam menunaikan nawacita mengenai perlindungan buruh migran di luar negeri dapat terwujud dengan membuat peraturan-peraturan turunan untuk mengimplementasikan UU PPMI.
"Kalau peraturan turunan bisa segera dibuat satu tahun ke depan, kerikil-kerikil itu bisa teratasi, Nawacita Jokowi soal perlindungan pekerja migran asing dapat terwujud," kata Wahyu.
Sekretaris Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Savitri mengatakan akibat dari belum keluarnya aturan turunan, UU PPMI yang baru masih menggunakan peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang lama dalam teknis implementasinya.
"Yang menjadi permasalahan UU ini belum bisa diimplementasikan karena masih menunggu peraturan turunan yaitu PP dan Permen. Artinya di lapangan masih menggunakan pola yang lama," tutur Savitiri kepada CNNIndonesia.com.
"Jangan sampai pagar-pagar yang ada melalui UU PPMI ini kalau tidak diimplementasikan dengan benar ya sama saja bohong" tutur dia.
Salah satu peraturan turunan dan peraturan yang bersifat implementatif adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan kekerasan Seksual (PKS). Meski kekerasan seksual telah diatur di UU PPMI, aturan tersebut belum terlalu kuat.
Pembahasan mengenai kekerasan seksual di UU PPMI, kata Savitri, masih terlalu umum. Tanpa dibahas rinci mengenai definisi dari pelecehan seksual itu sendiri. Akibatnya para pekerja migran khususnya perempuan menjadi tidak terlalu terlindungi dengan ketiadaan peraturan turunan ini.
Soal buruh migran, memang belum lagi selesai. Masalah ini, bisa jadi membayangi perjalanan Jokowi dalam Pilpres 2019 mendatang.
Buruh Migran Masalah Rumit
Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pereira tak memungkiri jika persoalan terkait buruh migran sulit diatasi. Menurut dia, perlindungan terhadap mereka menjadi persoalan kompleks yang mempunyai rantai permasalahan yang panjang.
"Dan kebanyakan pokok permasalahannya berakar di dalam negeri," kata Andreas saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/10).
Andreas menilai sedianya persoalan terkait buruh migran tidak dilihat sebagai bentuk ketidakmampuan Jokowi dalam memimpin. Pasalnya masalah buruh berkaitan dengan kemiskinan, proses rekrutmen tenaga kerja, pendidikan dan kesiapan atau keahlian warga yang akan bekerja di luar negeri, serta terkait dokumen atau kelengkapan WNI di luar negeri.
Terkait dengan hal itu, menurutnya, ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini. Persoalan ini juga sudah berlangsung selama bertahun-tahun sebelum Jokowi memimpin pemerintahan.
"Jadi, persoalan ini tidak bisa hanya dilihat di ujung permasalahan ketika terjadi peristiwa hukuman, kecelakaan atau peristiwa yang merugikan buruh migran," kata dia.
Buat Tim Khsusus Urus Buruh Migran
Senada, politikus PDIP Eva Sundari tak memungkiri jika Jokowi belum maksimal dalam menanggapi persoalan terkait buruh migran karena belum membuat aturan turunan dari UU PPMI. Menurut Eva, penerbitan aturan turunan UU PPMI nantinya bisa lebih melindungi buruh migran.
"Turunan UU itu tidak bisa diharapkan efektif untuk menolong mereka yang saat ini sudah diputus hukuman mati. Turunan-turunan aturan itu penting untuk segera diadakan demi mencegah para potensial korban yang ada," kata Eva.
Lebih jauh, kata Eva, pemerintah harus menemukan formulasi dan juga berdiplomasi dengan negara setempat untuk membicarakan masalah buruh migran yang terancam dihukum mati. Jokowi, kata Eva, harus segera membentuk tim khusus untuk menjalankan misi membebaskan atau mengubahnya menjadi hukuman seumur hidup para terpidana tersebut.
"Strategi ini, pernah berhasil di masa lampau. Jadi bisa menjadi opsi untuk diteruskan," kata dia.
Menurut Eva, Jokowi juga tidak perlu mencabut moratorium TKI ke Arab Saudi karena moratorium itu sudah sesuai dengan Nawacita. Namun yang perlu dibenahi adalah masalah terkait peningkatan kapasitas kemampuan buruh migran yang akan bekerja di luar negeri.
Sehingga mereka yang bekerja di sana tidak sebagai buruh kasar atau pembantu rumah tangga melainkan sebagai tenaga ahli.
"Tidak perlu dicabut. Itu sesuai dengan Nawacita, kita harus kirim yang skill labour. Sayangnya moratorium tidak diikuti syaratnya agar semua tata kelola domestik direformasi," kata Eva.
Eva juga menyarankan agar pemerintah tingkat daerah juga berbenah mengevaluasi peraturan, balai pelatihan, dan integrasi informasi untuk buruh migran.
"Perbaikan tata kelola adalah bagian dari penguatan perlindungan," ujarnya.
Evaluasi Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan Antara Aturan Dan Pelaksanaan
Berikut adalah salah satu alat kampanye JBM yakni buku Evaluasi Pelayanan Migrasi Ketenagakerjaan antara Aturan dan Pelaksanaanya. Buku ini mengulas mengenai realitas migrasi dan tata kelola di tingkat lokal. Selain itu juga menguraikan secara menyeluruh mengenai UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sebagai kerangka legal utama yang akan menjadi panduan penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan Indonesia ke depan.
Diskusi Publik dan Soft Launching : Menelaah Tata Kelola Migrasi Ketenagakerjaan dan Probelematika Pekerja Migran Indonesia
Diskusi Publik dan Soft Launching : Menelaah Tata Kelola Migrasi Ketenagakerjaan dan Probelematika Pekerja Migran Indonesia
![]() |
15/09/2018 “Diskusi Publik dan Soft Launching : Menelaah Tata Kelola Migrasi Ketenagakerjaan dan Problematika Pekerja Migran Indonesia”. |
Diskusi publik ini menjadi ruang diskusi bersama antara NGO/CSO, Pemerintah, Pekerja Migran Indonesia, Akademisi dan masyarakat umum untuk menemukan solusi bersama menyelesaikan permasalahan yang banyak dialami oleh buruh migran Indonesia, serta memberi kontribusi kepada pengambil kebijakan untuk menyusun peraturan turunan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No 18/2017 yang lebih mewujudkan hak-hak Pekerja Migran Indonesia.
Hasil Yang Diharapkan :
- Adanya refleksi dari semua stakeholder terkait tata kelola migrasi ketenagakerjaan yang berperspektif perlindungan
- Adanya gambaran solusi-solusi baik dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk perbaikan tata kelola migrasi ketenagakerjaan di Indonesia.
- Terdesiminasikan Alat Kampanye Jaringan Buruh Migran untuk mewujudkan perbaikan tata kelola migran ketenagakerjaan di Indonesia
[31 - 06 - 2018] Jaminan Sosial Disosialisasikan

Pekerja Migran Indonesia memperingati Hari Buruh, Minggu (1/5), di Taman Victoria, Hongkong.
Kompas/Kris Razianto Mada (RAZ)
Kompas/Kris Razianto Mada (RAZ)
01-05-2016JAKARTA, KOMPAS–Sejak diberlakukan pada 1 Agustus 2017, baru 333.306 orang tenaga kerja menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan khusus pekerja migran. Sosialiasi kepesertaan dan manfaatnya perlu dilakukan lebih gencar.
Pemberlakuan jaminan sosial ketenagakerjaan khusus buruh migran Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.
Sebelum ada jaminan sosial khusus, buruh migran Indonesia memperoleh perlindungan risiko asuransi dari tiga konsorsium swasta, yakni Jasindo, Astindo, dan Mitra TKI.
Sebelum ada jaminan sosial khusus, buruh migran Indonesia memperoleh perlindungan risiko asuransi dari tiga konsorsium swasta, yakni Jasindo, Astindo, dan Mitra TKI.
Melalui Permenaker Nomor 7/2017, pekerja migran Indonesia wajib mengikuti jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Adapun kepesertaan jaminan hari tua (JHT) bersifat pilihan.
Direktur Penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Teguh Hendro, Senin (30/7/2018), di Jakarta, menceritakan, masih banyak calon pekerja migran yang belum memahami program jaminan sosial tersebut. Adapun dari sisi pendaftaran kepesertaan, Teguh berpendapat, sistem registrasi dalam jaringan perlu diperluas. Sebab, cara daring akan memudahkan pekerja dan perusahaan penempatan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo juga menekankan agar sosialisasi dilakukan lebih masif, terutama bagi pekerja migran Indonesia yang sudah bekerja di luar negeri. “Banyak pekerja migran yang sudah bekerja di negara penempatan masih menggunakan asuransi konsorsium swasta. Mereka tentunya harus mengikuti ketentuan baru,” katanya.
Sesuai data BNP2TKI, pada Januari-Juni 2016 ada 119.345 TKI yang ditempatkan. Pada periode yang sama di 2017, jumlah penempatan bertambah menjadi 122.738 orang, yang meningkat menjadi 128.544 orang pada Januari-Juni 2018.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani berpendapat, dalam Permenaker Nomor 7/2017 ada beberapa substansi peraturan yang kurang pas dengan situasi sesungguhnya. Ia mencontohkan, manfaat JKK bagi pekerja migran Indonesia hanya bisa diperoleh ketika pekerja mengalami cacat anatomi, seperti patah tulang.
Konstruksi
Sementara itu, tenaga kerja konstruksi bersertifikat perlu terus ditambah agar bisa bersaing di pasar konstruksi. Selain menggunakan anggaran pemerintah, kerja sama antara instansi pemerintah maupun dengan swasta akan mempercepat proses sertifikasi itu.
Sementara itu, tenaga kerja konstruksi bersertifikat perlu terus ditambah agar bisa bersaing di pasar konstruksi. Selain menggunakan anggaran pemerintah, kerja sama antara instansi pemerintah maupun dengan swasta akan mempercepat proses sertifikasi itu.

Aktivitas pekerja pada salah satu proyek gedung bertingkat di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, Selasa (20/3).
Kompas/Raditya Helabumi (RAD)
20-03-2018
Kompas/Raditya Helabumi (RAD)
20-03-2018
“Pekerjaan konstruksi tidak pernah selesai. Tapi kita masih kekurangan tenaga terampil semisal harus kerja 3 shift. Kalau buruh, banyak,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin dalam Pelatihan Konstruksi Bidang Bangunan Umum di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Cipinang, Senin (30/7/2018), di Jakarta.
Saat ini ada 8,1 juta orang tenaga kerja konstruksi. Dari jumlah itu, yang bersertifikat, baik tenaga ahli atau tenaga terampil, sekitar 720.000 orang. (MED/NAD)
23 Juli 2018 : Buruh Migran Bekerja karena Terpaksa, yang Dirugikan Anak - Savitri Wisnuwardhani
Pemerintah Indonesia harus melindungi mereka, dimulai dengan payung hukum dan pendataan anak buruh migran.
![]() |
Ilustrasi Savitri Wisnuwardhani. tirto.id/Nadya |
tirto.id - Indonesia belum memiliki payung hukum bagi anak buruh migran. Padahal, mereka adalah pihak yang rentan karena tidak mendapatkan asuhan prima dan hak tumbuh kembangnya terabaikan. Oleh karena itu, 28 organisasi sipil yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap agar UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) No.18 Tahun 2017 punya aturan turunan yang melindungi anak-anak buruh migran.
Di sisi lain, JBM menekankan perlunya menyelipkan silabus khusus terkait anak buruh migran. Calon buruh migran perlu mendapatkannya sebelum mereka memutuskan untuk bekerja ke luar negeri atau luar daerah dalam kurun waktu lama.
“Jadi, mereka tidak hanya tahu manfaatnya saja, tapi juga akibat ketika mereka pergi ke luar negeri, terutama yang punya anak masih kecil,” tutur Savitri Wisnuwardhani, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM).
Berikut perbincangan lengkap antara Reporter Tirto, Dieqy Hasbi Widhana, dengan Savitri Wisnuwardhani pada 18 Juli 2018.
Apa saja hak dasar buruh migran, khususnya anak yang ditinggal bekerja?
Secara patron dulu ya. Kalau dari UU PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) 18/2017 disebutkan buruh migran dan anggota keluarganya. Salah satunya terkait anak buruh migran masuk perlindungan sosial di pasal 31. Tapi, masalahnya detail perlindungannya belum jelas. UU PPMI ini belum bisa berjalan optimal kalau belum ada peraturan turunannya. Sekarang peraturan turunannya sedang dibahas.
Soal apa saja peraturan turunannya?
Mandat dari UU PPMI itu kan ada 28 peraturan turunan. Tapi berdasarkan informasi akhir dari Kemenaker, akan diperingkas menjadi 14, itu salah satunya akan masuk sebelum, selama, dan setelah bekerja. Mungkin di situ perlindungan anak buruh migran akan dituangkan.
JBM berharap perlindungan anak buruh migran ini [mencakup] dua [hal]: perlindungan ketika anak buruh migran dibawa ke luar negeri seperti contohnya di Sabah Serawah dan [perlindungan] ketika mereka ditinggalkan di Indonesia.
Selama ini, perlindungan bagi keduanya masih belum jelas. Peraturan [UU Nomor] 39 (pdf) yang tidak bertentangan dengan UU PPMI tetap berlaku. Permasalahannya, UU PPMI yang menyangkut perlindungan anak ketika anak dibawa ke luar negeri atau ketika ditinggalkan itu masih belum jelas.
Apa permasalahan dari anak yang dibawa dan ditinggalkan?
Kalau yang di luar negeri, terutama anak buruh migran yang lahir di Sabah, Serawah, Malaysia: pendidikan di sana minim, [karena] rata-rata orangtuanya bekerja di perkebunan sawit. Terisolir tempatnya. Kalau orangtuanya tidak bekerja di daerah perkebunan, anak-anak itu [punya kemungkinan] dapat mengakses pendidikan yang diberikan KBRI.
Sebenarnya sudah ada upaya-upaya seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar), baik yang diselenggarakan kelompok di situ maupun pemerintah, tapi masih terbatas. Pusat-pusat belajar itu tidak bisa menjangkau seluruh tempat di mana anak buruh migran itu ada.
Kemudian, [masalah] terkait kualitas pendidikan. Anak-anak [hanya] masuk ke sekolah, dapat sertifikat seperti naik kelas SD, SMP. Kualitasnya harus ditingkatkan. Tidak cukup [mereka] dapat stempel sertifikat lulus SD dengan kejar paket A. [Kualitas penting] agar mereka berprestasi, agar bisa sekolah yang lebih tinggi. Bisa juga [dilakukan] MoU dengan negara tujuan, terkait dengan anak buruh migran.
Apakah ada masalah kewarganegaraan juga?
Yang jadi masalah itu ketika bapaknya warga negara asing yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya. Memang sekarang [ada] program pemerintah, mereka bisa didaftarkan ke Dispendukcapil. Tetapi, ada beberapa kendala di beberapa daerah [yang] agak sulit untuk mengakses [program] itu.
Ada juga permasalahan lain. Ketika anak merupakan percampuran Indonesia dan warga negara lain, dan ayahnya tidak mau bertanggung jawab, kadang proses asimilasi dengan keluarga sulit. Kadang, keluarga di Indonesia menganggap [anak tersebut sebagai] "anak haram", kemudian tidak mau menampung. Sedangkan Dinsos punya kapasitas yang terbatas untuk menampung anak-anak ini dan juga ada durasinya.
Berarti tanggung jawab pemerintah tidak hanya masalah administrasi kewarganegaraan, tapi bagaimana agar anak ini juga diterima keluarganya?
Iya. Setidaknya bagi anak yang tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diterima oleh keluarga yang belum mau menerima anak ini. Dari Dinsos ditampung, itu sudah bagus. Tetapi alangkah baiknya tidak hanya berhenti di situ saja, tapi juga membantu proses agar anak ini diterima dan dipelihara oleh keluarganya. Ini agar perlindungan hak anak ini tercapai.
Bagaimana dengan anak buruh migran yang ditinggalkan, apa hak mereka yang harus dilindungi?
Biasanya pendidikan. Buruh migran bekerja ke luar negeri masih dalam konteks keterpaksaan, bukan pilihan. Alasan ekonomi, berantem dengan suami. Biasanya yang dirugikan anak.
Masalah yang timbul pada anak: kurangnya pengasuhan anak. Kalau ditinggalkan oleh ibunya lebih sulit daripada bapak. Kalau ditinggal ibunya, biasanya anak ini diasuh oleh nenek atau bapak. Kalau relasi antara ibu dengan bapak itu tidak baik, kadang suami buruh migran ini "main" dengan perempuan lain hingga tidak mempedulikan keluarga. Akhirnya, anak ini dititipkan ke keluarga besarnya baik nenek atau kakeknya.
Akhirnya anak itu tidak penuh kasih sayangnya. Meskipun dia bisa sekolah, ada yang hilang yaitu kasih sayang, perhatian. Kalau tidak ada pembimbingan yang benar, mentalitas anak ini tidak menjadi pribadi yang utuh.
Apakah permasalahan juga muncul akibat pengasuhan dari nenek yang sudah dalam usia tidak produktif?
Iya. Orang sudah tua, apalagi kurikulum sekolah kita semakin lama semakin sulit. Saya percaya semua anak itu dasarnya cerdas. Tapi [itu juga tergantung] bagaimana pola asuh kita pada anak. Masa golden years anak, usia 1 sampai 5 tahun, menentukan nantinya anak akan berkembang pesat atau tidak. Nah, di masa itu orangtua harus memastikan pendidikannya maksimal, tidak hanya dengan dia PAUD atau TK, tapi pendidikan informal yang diberikan keluarganya.
Kalau alternatif pola pengasuhan anak buruh migran itu apa saja kira-kira?
Alternatif pola asuh itu kan dalam usia 1-5 tahun, termasuk konstruksi kepribadian. Banyak buruh migran yang meninggalkan anaknya ketika usia segitu. Bahkan sebelum satu tahun, ketika anak itu butuh ASI tapi orangtuanya ke luar negeri.
[Yang dibutuhkan] tidak hanya pendidikan formal, tapi pendidikan untuk tunjukkan bahwa dia itu punya jiwa kepemimpinan, berani, banyak bertanya, kritis. Tidak bisa dididik hanya oleh guru. Orangtua yang mengajari bagaimana dia harusnya berelasi dengan orang yang lebih tua, menghargai temannya yang berbeda agama atau fungsi tubuh teman yang disabilitas, berani berbicara, terampil. Waktu guru kan terbatas dan muridnya banyak.
Kalau terkait pola perlindungan anak buruh migran terhadap kekerasan, bagaimana? Anak yang ditinggalkan itu kan dititipkan ke keluarga terdekat dan minim pengawasan. Padahal, justru wilayah paling rawan adalah kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat.
Oleh karenanya, orangtua perlu dikasih pendidikan buruh migran sebelum bekerja ke luar negeri. [Mereka] harus tahu dan paham apa akibatnya mereka pergi ke luar negeri. Jadi, mereka tidak hanya tahu manfaatnya saja, tapi juga akibat ketika mereka pergi ke luar negeri, terutama yang punya anak masih kecil.
Sebelum buruh migran pergi, pemerintah sudah mengajari Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Cuma, memang PAP itu kurang lengkap. Kalau sekarang buruh migran sebelum berangkat juga melalui Balai Latihan Kerja swasta. Harusnya punya pemerintah semua BLK. Nanti dalam BLK pemerintah ini kalau sudah ada UU PPMI, tidak hanya diatur mengenai skill untuk [buruh migran] dapat bekerja, tapi mereka juga harus dikasih tahu akibat yang ditimbulkan.
Kita juga tidak bisa melarang orang pergi ke luar negeri, tapi kita bisa berikan edukasi. Dalam edukasi ini orangtua disadarkan ketika anaknya masih kecil, tumbuh kembang anak tidak maksimal. Mereka bisa menimbang-nimbang mungkin tidak ke luar negeri dulu, tanpa dicegah.
Kalau pendidikan bagi keluarga yang dititipkan maupun lingkungannya bagaimana?
Setahu saya Kemenaker punya desk imigrasi, itu ada parental community ada pendidikan buat keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya ke luar negeri. Itu ide bagus, tinggal ditingkatkan agar program ini tepat sasaran dan bisa menjangkau sebanyak mungkin. Programnya harus diawasi biar tidak bergeser ke mana-mana, [sebab] saya dengar itu bergeser ke bentuk pengajian saja.
[Pendamping Desa Migran Produktif seharusnya mendidik] komunitas di suatu desa menciptakan suatu pola asuh untuk anak-anak buruh migran. Pemerintah harus riset dulu apa yang dibutuhkan agar sasaran programnya tetap. [Itu ditujukan] supaya masyarakat membentuk komunitas untuk melindungi anak. Misalnya, kalau ada anak yang mendapat kekerasan, komunitasnya bisa bergerak, Pak RT bisa bergerak, ibu-ibu PKK bergerak, entah dikasih teguran keluarganya atau dilaporkan ke polisi.
Tapi kami belum tahu evaluasi program terkait Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) itu. Kami belum dapat laporan program dari Kemenaker terkait Parenting Community. Apa kendala, tantangan, apa yang sudah dilakukan, progresnya.
Ada beragam masalah anak yang ditinggalkan, mulai dari pendiam, frustrasi, anak yang diejek anak onta [bagi yang berayah orang Asia Barat]. Bagaimana menguatkan mental anak ini untuk menghadapi bullying atau diskriminasi dari teman sebaya dan lingkungan sosialnya?
Ini sebenarnya peran pemerintah, ya. Kalau di Amerika Serikat, meskipun itu anak sah yang mendapat kekerasan atau treatment yang tidak baik, ia kemudian menjadi anak negara. Negara yang punya hak untuk cek anak ini apakah sudah dapat treatment yang baik dari keluarganya, keluarganya ditegur dan dimonitor. Kalau di Indonesia, belum ada program ini.
Yang bisa dilakukan [adalah memastikan] tugas pengurusan buruh migran tidak hanya Kemenaker saja, tapi juga Kemendikbud. Kurikulum di sekolah bukan hanya kurikulum untuk anak, tapi juga untuk gurunya [yang harus] masuk ke dampak dan perlindungan bagi buruh migran yang bekerja ke luar negeri. Hal itu bisa difokuskan di kantong-kantong yang banyak buruh migran.
Jadi, ketika [guru] tahu anak buruh migran ditinggal dan mendapat diskriminasi, ada treatment dari guru ke anak itu. Guru harus dilatih untuk menghadapi anak buruh migran yang cenderung berbeda karena mereka ditinggalkan orang tuanya.
Bagaimana program perlindungan anak buruh migran dari pemerintah sejauh ini, apa sudah ada progres ataukah tidak berdampak?
Sepertinya masih dalam progres. Program Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) baru dua atau tiga tahun. Kami tidak tahu hasilnya apa, laporan ke publik belum ada. Dalam PP 4/2015, pengawasan tenaga kerja tidak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri. Laporan pengawasan seharusnya masuk dalam situ. Pemerintah harus segera membuka laporan perlindungan anak buruh migran.
Sudah ada beberapa kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana sudah dibentuk misalnya PKBM. Ada program parenting community. Secara kualitas, masih belum bisa diukur karena report-nya tidak ada. Yang kami tahu, ada program parenting community yang tidak menjadi parenting community.
Kalau dilihat dari skor 1 sampai 10, [program pemerintah dalam melindungi anak buruh migran] ini sudah ada perbaikan, tapi berjalannya masih lambat.
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani
Langganan:
Postingan (Atom)