Laman

Translate

Analisis dari grafik kasus dengan kebijakan

TKI meninggal dan sakit 

Pada bulian Juli, kasus TKI meninggal dan sakit terdapat 12 orang meninggal dan 3 yang sakit dan kembali ke Indonesia. Sebanyak 6 orang buruh migran yang telah meninggal di Malaysia. Terdapat tiga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Blitar yang meninggal dunia. Ketiga TKI tersebut meninggal di negara tempat mereka bekerja. Disnaker juga menyebutkan, penyebab meninggalnya TKI tersebut akibat kecelakaan kerja dan sakit. Su’udi pria asal Desa Jatitengah, Kecamatan Selopuro contohnya, Beliau meninggal dunia di Malaysia karena kecelakaan kerja. Selain itu Sujono (43) warga Dusun Sumberarum, Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, meninggal di Brunei Darussalam karena sakit. Dan Sri Susiani (45) warga Jalan Mastrip Kelurahan/ Kecamatan Srengat meninggal di Taiwan.

Selain itu, terdapat dua orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) lagi bernama Tina dan Aat terpaksa dipulangkan dari Arab Saudi. Keduanya diterbangkan kembali ke tanah air karena menderita sakit. "Tina asal Majalengka dilaporkan Rumah Sakit Raja Fahad dirawat sejak Maret 2017 dan sempat diisolasi karena mengidap penyakit menular hepatitis B, sedangkan anaknya dititipkan ke salah satu WNI dan tetap melanjutkan pendidikannya di kelas III, Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) selama ibunya dirawat," kata pelaksana fungsi konsuler KJRI Jeddah, Fadhly Ahmad, dalam keterangan tertulis KJRI Jeddah, Selasa (1/8/2017).

Dalam melihat kasus TKI yang sakit dan meninggal ini, pada sisi lain Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, memunculkan peralihan jaminan sosial dari asuransi konsorsium oleh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Agustus 2017 dengan skema khusus perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi TKI. Nantinya para TKI ini wajib terdaftar dalam dua program, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, dan ada program tambahan Jaminan Hari Tua, yang dapat menjadi tabungan para TKI saat memasuki usia tua.

Pemerintah berupaya bahwa “negara harus hadir dalam perlindungan TKI dengan pelayanan yang maksimal, pelayanan lebih dekat, jangkauan lebih luas” kata Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Pencegahan KPK, Asep Rahmat Suwandha pada acara sosialisasi transformasi perlindungan TKI melalui BPJS Ketenagakerjaan (31/07/2017). Hal ini diungkapkan terkait dengan meningkatnya jumlah TKI yang sakit dan meninggal. Negara mengupayakan untuk hadir melalui jaminan social BPJS Ketenagakerjaan yang nirlaba, akses yng mudah dan klaim yang mulus.

Namun, BNP2TKI meminta memperluas jaminan resiko bpjs ketenagakerjaan. Sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia, mulai (1/8/2017), asuransi TKI yang selama ini dijalankan oleh konsorsium asuransi dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan.Namun menurut Nusron, BPJS Ketenagakerjaan saat ini hanya menanggung 6 dari 13 coverage perlindungan TKI yang awalnya ditanggung konsorsium asuransi TKI. Artinya,  perlu adanya perluasan jaminan resiko dari BPJS Ketenagakerjaan dan atau BPJS menggandeng pihak lain yang sanggup mengcover 7 risiko sisanya yang tidak ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ketujuh risiko tersebut antara lain risiko PHK, TKI dipindah tempat kerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja, upah tidak dibayar, gagal berangkat, gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI, pemulangan TKI bermasalah, serta risiko menghadapi masalah hukum.

TKI illegal [1]

Pada bulan Agustus, sebanyak 27 TKI yang diamankan dalam operasi di Batam. TKI itu terdiri atas 20 laki-laki dan tujuh perempuan dan ditemukan juga 1 orang bayi laki-laki berumur 2 bulan. Mereka menggunakan boat pancung. Mereka berangkat dari Batam dengan rute Punggur Batam tujuan Pantai Desaru Johor Malaysia. sDi lain waktu, pada tanggal 13 agustus 2017 sebanyak 37 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal diamankan TNI AL yang berpatroli. Ke-37 orang itu berasal dari tujuh daerah, yakni Bugis, Lombok, Medan, Pasuruan, Lampung, Flores, dan Solo, serta seorang berkewarganegaraan Pakistan.  setelah proses penyelidikan selesai, pihaknya akan menyerahkan para TKI ilegal tersebut kepada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Batam.

Terkait dengan semakin meningkat dan langgengnya buruh migran yang tidak berdokumen atau yang sering dianggap illegal ini, terutama pada TKI yang menjalani rehiring, Sunarno sebagai Koordinasi keimigrasian menyakatan agar seluruh TKI yang mendaftar rehiring dan e-Kad dapat terlayani dengan baik sesuai tenggat yang ditetapkan Malaysia. Hal ini juga untuk menghindari praktik pemalsuan paspor yang kemungkinan dilakukan oleh jaringan terorisme dan narkoba. Seperti terdapat tiga pekerja migran ilegal asal Myanmar mengaku asal Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Malaysia juga diminta untuk mempermudah prosedur kepulangan bagi TKI ilegal yang hendak pulang secara sukarela. Misalnya tidak menerapkan denda yang mahal, tidak menahan, serta tidak memberikan larangan (ban) bagi mereka untuk bekerja kembali di Malaysia secara legal. “Jangan sampai mereka yang telah beritikad baik pulang secara sukarela, dipersulit,” ujar Sunarno.

Selain itu, Kepala Kantor Imigrasi Wonosobo, Kantor Imigrasi Wonosobo Berupaya Tekan Angka TKI Ilegal. upaya meminimalisir penyalahgunaan paspor oleh masyarakat, terutama para calon tenaga kerja Indonesia (TKI), yang hendak bekerja di luar negeri. Upaya tersebut, dulakukan dengan cara pengecekan data diri dan ID, melalui sistem online.  lewat sistem yang telah tersambung antar jaringan tersebut, kantor imigrasi bisa mengetahui secara akurat, rekomendasi ID milik para calon TKI, yang didapat dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), maupun Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Pemerintah juga telah mengupayakan dalam pelayanan seperti “Petugas di bagian wawancara tetap selektif dalam melakukan tugasnya. Terbukti, sampai akhir Juli 2017, mereka sudah menolak 123 pemohon paspor,” ungkap Kepala Sub Seksi Lalu Lintas Keimigrasian, Washono. Ditekankan bahwa jika pengecekan ID calon TKI melalui sistem online tidak hanya berlaku untuk calon TKI mandiri, atau via Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), melainkan berlaku juga bagi calon TKI dari program Goverment to Goverment (G to G).

Namun, di sisi lain terdapat kritik serta masukan dari Ninik Rahayu, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia mengatakan bahwa Salah satu bentuk pelayanan yang belum banyak didapat para TKI ialah soal pemenuhan hak informasi. “Bagaimana orang bisa bekerja dengan baik jika informasi tentang tata caranya saja tidak didapatkan,” katanya saat mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Selain soal pemenuhan hak informasi, Ninik menuturkan pelayanan kesehatan, asuransi, dan e-KTP sampai verifikasi dokumen TKI seharusnya dilakukan di pelayanan satu atap. Menurut dia, pelayanan satu atap di Jawa Timur tersebut tidak dibarengi dengan sistem yang baik. Sehingga rekomendasi bagi TKI yang hendak pergi ke luar negeri masih dikeluarkan banyak pihak.  Kurangnya informasi hingga ke tingkat desa ini membuat peluang untuk calo/tekong mengambil kesempatan merekrut buruh migrant dan kurangnya informasi terkait jalur legal atau ilegal juga belum masif. Inilah yang membuat meningkatnya pekerja migran undocu
mented atau tidak lewat jalur migrasi resmi.

TKI ilegal [2]

Rupanya kasus TKI illegal ini belum dapat ditekan. Dalam bulan Oktober, kasus TKI ilegal terdapat 18 TKI ilegal yang pergi ke Malaysia melalui perairan Muara Tanjung. Dalam upaya menekan angka TKI ilegal, pemerintah memperluas perlindungan dengan adanya program Desmigratif. Terdapat 240 Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) dari seluruh Indonesia mengikuti bimbingan teknis cara bermigrasi yang aman bagi calon pekerja migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Selain itu, pemerintah juga sedang mendorong Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) yang dibangun dengan tujuan untuk memangkas birokrasi yang panjang dalam mengurus dokumen calon TKI. Di dalam LTSA, didalamnya ada kerjasama antara berbagai instansi yakni pihak kesehatan, imigrasi, BP3TKI dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebagai upaya tambahan, pemerintah sudah harus segera membuka Balai Latihan Kerja (BLK). Hal tersebut sesuai dengan undang-undang yang baru, Layanan Terpadu Satu Atap harus diikuti pendirian Balai Latihan Kerja, baik untuk tujuan dalam negeri maupun luar negeri. Supaya kompetensi dari setiap TKI itu dapat diketahui, sesuai dengan job order-nya. Selama ini, umumnya karena untuk pelatihan itu biayanya begitu tinggi, maka para TKI ini hanya direkrut dan kemudian langsung diberangkatkan tanpa melalui pelatihan sesuai kompetensi, baik itu bahasa asing maupun ketrampilan khusus. Dalam setiap layanan satu atap. Calon TKI yang sudah jelas memiliki kontrak kerja, dapat mengajukan kredit kepada bank untuk biaya keberangkatan. Ini akan menghapus hutang TKI kepada calo yang selama ini terjadi dan menjadikan mereka tetap miskin meski sudah bisa bekerja ke luar negeri. Asuransi juga dilibatkan untuk memberikan jaminan, baik bagi TKI sendiri maupun keluarganya di kampung.

TPPO

Pada tanggal 4 September 2017, muncul Kasus Pekerja migran Indonesia di Cina mengalami persoalan yang sangat serius yakni korban perdagangan orang, di antaranya mereka bahkan ada yang dijadikan wanita penghibur, demikian menurut Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia Soegeng Rahardjo.  Traficking dijadikan PSK yang sulit dilindungi itu justru modus tawaran bekerja di spa. Kadang-kadang mereka dipaksa, disuruh jadi pekerja seks komersial. Kemudian, ada lagi pekerja wanita yang dibawa dan dikawinkan di sini,” ungkap Soegeng. Menurut Soegeng, hal itu sekaligus menandai meningkatnya modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Cina. Menurut data media monitoring terdapat 80 orang yang mengalami perdagangan orang di Cina pada bulan September. https://tirto.id/tki-di-cina-jadi-modus-prostitusi-dan-perdagangan-manusia-cvjl

Umumnya TPPO diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan para korban. “Satu satunya cara adalah kualitas pendidikan harus ditingkatkan. Setelah ini mereka harus diberikan semacam pernyataan agar tidak mudah percaya dengan iming-iming gaji tinggi dan hidup enak,” ungkap Soegeng (Duta Besar RI untuk Cina dan Mongolia). Namun, Soegeng juga menganggap sanksi yang diterapkan untuk pelaku TPPO sangat sulit diterapkan karena harus ada pembuktian korban dipaksa atau atas kemauannya sendiri. “Karena itu, lebih baik meningkatkan pencegahannya. Korban tidak tahu apa-apa, ang harus dihukum dengan tegas itu, ya agen-agen penyalur," tambahannya. Oleh sebab itu, Soegeng mendukung upaya Diretorat Jenderal Imigrasi menunda pengeluaran paspor. Dia juga setuju dengan peraturan deposit minimum Rp 15 juta-Rp 20 juta bagi yang ingin membuat paspor. 

Dalam konteks maraknya perdagangan manusia, NTT mencoba untuk bergerak memerangi TPPO dengan menerapkan strategi lawan perdagangan manusia. Hal ini diwujudkan dengan peresmian kantor LTSA P2TKI di Kupang. Dalam banyak kasus perdagangan manusia, pemalsuan dokumen menjadi titik awal. Pemerintah menyederhanakan proses untuk memberantasnya.  Ketua Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia, Gabriel Goa Sola di Kupang kepada VOA menyatakan dukungan dibukanya kantor ini. Dengan layanan satu atap, LSM dan media juga lebih mudah mengawasi kinerja pelayanan bagi TKI sekaligus upaya mencegah trafficking. 

Kasus hukuman mati

Kurang tanggapnya pemerintah dalam penyelesaian sengketa pidana ataupun perdata yang dialami PMI di luar negeri ini harus diperbaiki. Pasalnya, di bulan November, kasus hukuman mati yang dialami Pekerja Migran di Malaysia mencapai angka yang serius yakni terdapat 21 PMI yang divonis hukuman mati. Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu Negeri Sabah, Malaysia menangani 21 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di negara tersangkut kasus tindak pidana dengan ancaman hukuman gantung hingga mati. Dari 21 WNI/TKI yang terancam hukuman mati sebagian besar kasus pembunuhan di antaranya tujuh orang berhasil dibebaskan dari hukuman mati, tiga orang inkrach (dihukum mati) dan sedang dalam proses permohonan pengampunan kepada Dipertuan Negeri Sabah. Namun, empat orang masih dalam tahap dibicarakan pada tingkat Mahkamah Tinggi Rayuan. Sedangkan tujuh orang sedang dalam proses penyidikan dan pengumpulan alat bukti oleh aparat kepolisian Malaysia. 

Kebijakan Luar Negeri

Moratorium di Saudi tidak dicabut, namun sistem baru PMI di Saudi telha disepakati. Hanif (Menaker) melihat, pasar kerja internasional sebagai pintu masuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sekaligus mengembangkan pengaruh Indonesia di tingkat dunia. Karena itu, ekspatriat Indonesia yang bekerja di luar negeri harus dibekali dengan kompetensi yang cukup handal. Kedua Negara (Indonesia-Saudi) menyepakati untuk mengupayakan penyelesaian berbagai masalah yang menimpa ekspatriat Indonesia yang selama ini telah bekerja di Saudi dan tidak boleh lagi ada kekerasan dalam semua bentuknya kepada ekspatriat Indonesia.

Pernyataan Sikap Organisasi Masyarakat Sipil Terhadap ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers


[Jakarta, 21 November 2017] Organisasi masyarakat sipil untuk advokasi hak-hak pekerja migran yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai bahwa ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ASEAN Konsensus) yang baru ditandatangani oleh sepuluh kepala negara ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinmggi ASEAN ke-31 di Manila, Filipina, (14/11) sebagai langkah maju sebagai perwujudan komitmen dari Deklarasi Cebu tahun 2007 yaitu pembentukan instrumen perlindungan hak-hak pekerja migran di ASEAN.

Meski demikian menurut Daniel Awigra, Program Manager Advokasi HAM dan ASEAN, Human Rights Working Group (HRWG) menilai kemajuan dari ASEAN Consensus ini tidaklah signifikan. Pertama, secara hukum status dokumennya yang tidak mengikat sehingga sulit untuk menagih komitemen negara-negara ASEAN di dalam implementasinya.

Kedua, secara politik, ASEAN Consensus adalah gambaran cara kerja ASEAN yang masih state-interest driven dan belum bekerja sesuai visi ASEAN yaitu “People Centered and People Oriented” di mana pemangku utama dari setiap kebijakan di ASEAN adalah masyarakat ASEAN, bukan sekadar pemerintah. Proses penyusunannya tertutup selama delapan tahun, dan hampir sama sekali tidak melibatkan pekerja migran sebagai pemangku kepentingan utama. Sehingga hasilnya masih sebatas pengakuan negara terhadap berbagai hak dasar buruh migran oleh pemerintah ASEAN, namun dalam pelaksanaannya masih harus tetap tunduk di bawah supermasi hukum nasional.

Ketiga soal keberpihakkan ASEAN Consensus, belum menunjukkan keberpihakkan utamanya terhadap kepentingan terbaik untuk buruh migran, misalnya bagaimana komitmen memajukkan kerja dan upah layak, serta bagaimana keberpihakkannya pada isu yang paling rentan seperti pada isu buruh migran perempuan di sektor domestik.

Selanjutnya, ASEAN Consensus juga tidak memasukkan Instrumen Internasional untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi ILO, dan SDGs sebagai konsideran untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Padahal Konvensi Penyandang Disabilitas sudah diratifikasi oleh sepuluh negara ASEAN.

Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai hak-hak fundamental untuk pekerja migran yang tertera dalam ASEAN Consensus sangat jelas memperlihatkan kepentingan-kepentingan negara yang terdikotomi sebagai negara tujuan (receiving states) dan negara asal (sending states) dan minim pengawasan sehingga pemajuan hak-hak pekerja migran di ASEAN kedepan belum dapat memberikan perlindungan seutuhnya bagi pekerja migran.

Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan menyesalkan instrumen ini karena meskipun ada artikel-artikel yang merujuk pada hak-hak buruh migran dengan perspektif jender namun tidak ada pengakuan turunan terhadap hak-hak spesifik perempuan seperti hak reproduktif dan kesehatan reproduksi. Padahal banyak kasus pekerja domestik perempuan yang di PHK sepihak karena hamil atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena beban kerja dan kekerasan yang dialaminya selamanya bekerja. Bukan hanya itu, hak mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan publik untuk anak pekerja migran baik yang ikut serta dalam migrasi maupun yang ditinggalkan di negara asal juga tidak disebutkan dalam konsensus ini. Selain itu, konsensus ini masih berpijak pada paradigma komoditisasi buruh migran karena setidaknya masih terdapat istilah negara pengirim (sending country) dan negara penerima (receiving country).
Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) megharapkan ASEAN harus dapat mewujudkan visi “people centered, people oriented” dalam implementasi ASEAN Consensus yaitu dengan mengedepankan kepentingan utama (best interest) dari pekerja migran yaitu, menciptakan kerjala layak pekerja migran khsuusnya pekerja domestik, informal, dan berkeahlian rendah berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO), pembentukan mekanisme untuk mengurangi pekerja migran tidak berdokumen, adanya jaminan sosial, pemenuhan hak-hak pekerja migran, dan pekerjaan yang produktif untuk pekerja migran.

Enny Rofiatul, Pengacara Publik LBH Jakarta meragukan mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN Consensus terkait kasus pekerja migran. Seperti sudah diketahui, Indonesia seringkali meradang terhadap kasus pekerja migran yang terjadi di Malaysia namun tidak ada penyelesaian yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut. Di tingkat ASEAN sendiri terdapat Protokol penyelesaian sengkata antar negara yang mengacu kepada Piagam ASEAN.

Prosedur ini menjelaskan secara spesifik bagaimana sebuah komplain dapat diajukan dalam konsultasi dan terdapat batasan waktu yang diminta untuk respon dari pihak terkait komplain tersebut. Namun sayangnya mekanisme ini juga tidak berjalan sesuai aturan, karena jika pihak terkait tidak memberikan persetujuan untuk memberikan respon maka penyelesaian sengketa akan dibawa pada proses mediasi, rekonsiliasi, dan arbritasi. Perlu di ketahui di ASEAN saat ini tidak ada mekanisme tribunal maka mustahil bagi kasus pekerja migran untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan regional.

Yang harus diapresiasi dari ASEAN Consensus ini adalah masih menyediakan ruang dalam penyusunan Rencana Aksi (Action Plan) di tingkat regional. Pertanyaannya akankah pemerintah negara-negara ASEAN mengulangi kesalahannya dengan tidak melibatkan pekerja migran dalam pembahasan Rencana Aksi tersebut? Hal terpenting lainnya adalah Rencana Aksi ini harus dapat mendorong perbaikan sistem hukum nasional negara-negara ASEAN untuk semakin menghargai, memajukan, dan melindungi hak-hak pekerja migran, dan bukan sebaliknya.

Oleh karena itu organisasi masyarakat sipil memandang Rencana Aksi ini harus memiliki kekuatan dan terdesiminasi dengan baik melalui kerjasama lintas sektoral di badan-badan dan pemerintah negara-negara ASEAN. Rencana Aksi ini juga harus bersifat terbuka (accountable), dapat dipertanggungjwabkan, dan inklusif dengan melibatkan multi stakeholders di ASEAN mulai dari sektor perempuan, anak, disabilitas, pendidikan, kesehatan, penagakan hukum, dll.

Narahubung:
Awigra, HRWG +62 817-6921-757
Savitri, Seknas JBM +62 821-2471-4978
Risca, Solidaritas Permepuan +62 812-1943-6262
Hariyanto, SBMI +62 852-5930-7953
Enny, LBH Jakarta +62 857-1145-7214




Kemnaker Meminta Rekomendasi CSO dalam Penyusunan Peraturan Turunan

Pada tanggal 15 November 2017 di Savero Hotel, Bogor diselenggarakan Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian Ketenagakerjaan dan CSO. Dalam acara tersebut, beberapa CSO yang hadir meliputi, JBM, SBMI, KSPI, LBH Jakarta, HRWG, Kabar Bumi, Nexus Insititute, dll. Output FGD tersebut bertujuan untuk diseminasi terkait substansi yang diatur dalam UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang telah disahkan di paripurna. Terdapat 3 hal yang didiskusikan yakni; Pertama, sosialisasi pemerintah yang sedang merancang one channel system untuk pelayanan buruh migran dan ekspansi Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Kedua, pemerintah meminta rekomendasi dari CSO terkait dengan penyusunan Peraturan Turunan. Ketiga, mengenai kebijakan dengan Negara penempatan (MoU).

Pada pembahasan yang pertama, pemerintah akan menggalakkan program One channel system yang bermanfaat untuk merangkum semua pengaksesan pelayanan informasi dan data dari tingkat desa hingga pusat. Artinya, seluruh database job order harus di approval oleh Kemnaker dan akan menambah jumlah LTSA di 54 kantong TKI. Dalam LTSA, pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. LTSA bertujuan untuk efektivitas penyelenggaraan pelayanan Pekerja Migran dan efisiensi & transparansi dokumen calon pekerja migran. Di dalam LTSA terdapat:
1.  BLK (balai latihan kerja). Dengan adanya BLK, maka mengeaskan bahwa peran PPTKIS hanya sebagai marketing penempatan dan tidak melakukan pelatihan kerja.
2.    Disnaker, pengurusan ID TKI dan rekomendasi paspor
3.   Dukcapil sebagai screening untuk pendataan  memverifikasi KTP dan KK, mengamankan KTP dan diganti surat keterangan pindah ke LN.
4.    BPJS/perlindungan jaminan sosial dengan harga Rp.370rb/33 bulan
5.  Dinas Kesehatan bertugas untuk screening medical check up dengan harga Rp 670rb (full medical check up). Di sini Kementerian Kesehatan harus aktif hadir
6.    Imigrasi, pengurusan paspor
7.   Polda, pengurusan SKCK
8.   BNP2TKI, masih dipertanyakan akan bertugas seperti apa. Namun terdapat masukan yang diakomodir bahwa BNP2TKI akan menjadi penyelesaian sengketa peradilan.

Dalam pembahasan kedua, perlu rekomendasi untuk memperkuat penyusunan Peraturan Turunannya yang terdiri dari 12 PP, 12 Permen, 1 Perpres dan 3 Perka Badan. Hal ini bertujuan agar UU PPMI yang bernyawa perlindungan bagi buruh migran dapat terwujud secara maksimal. Beberapa usulan CSO dalam perbaikan kebijakan meliputi:
1.     Sanksi administrasi bagi korban jangan sampai dikenakan. Akan menjadi reminder
2.    LTSA agar tidak menjadi bottle neck karena Kades memiliki potensi “sebagai calo” maka usulannya agar pengawasan tidak hanya pada PPPTKIS tetapi juga di penyelenggaraan penempatan termasuk di LTSA.
3.    Kewarganegaraan PMI yang menikah di sana menjadi kewenangan Kemlu. Akan kita akomodir untuk masukannya
4.   Database, pengawasan di setiap proses, penanganan kasus, LTSA akan di daerah, koordinasi terkait penandatangan MoU harus melibatkan instansi pemerintah yang terkait tidak hanya Kemnaker tetapi Kemenlu dan dalam proses pembuatan MoU harus tripartite
5.     Dalam pembuatan kebijakan hrs melibatkan buruh migran yang di LN.

Dalam pembahasan ketiga, kebijakan dengan Negara penempatan. Untuk kondisi saat ini, MoU di wilayah Timur Tengah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah, namun 2 tahun kedepan akan dikaji kembali untuk penempatan di Arab Saudi (akan diperbaiki MoUnya atau diteruskan).
R. Soes Hindharno (Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri) mengungkapkan bahwa Kepmen 260 tidak akan diganggu atau di revisi tapi kita akan evaluasi ke beberapa negara dan piloting misalnya di UEEA (Dubai). Di Arab (Riyadh dan Jeddah). Akan dibuka untuk piloting untuk jumlah tertentu, jangka waktu kerja ditentukan hal ini karena Arab Saudi masih menggunakan sistem Khafallah. MoU di wilayah Asia Pasifik juga mengalami hal yang sama, sudah habis masa berlakunya/expired. Dalam menanggapi UU PPMI ini, pemerintah sedang dalam proses melakukan pembenahan atau review terhadap Struktur Biaya Penempatan (Cost Structure) untuk wilayah Malaysia, Taiwan, Singapura. Namun, Erwina Kemnaker mengungkapkan bahwa yang menjadi kendala saat ini adalah MoU penempatan tenaga kerja tidak lagi dilakukan oleh menaker (tidak kementerian dengan badan).


Task Force Migrant Workers Dalam Global Summit 2017: Akui Buruh Migran Sebagai Pekerja Untuk Meningkatkan Perlindungan dan Kontribusi Migran Dalam Pembangunan

Jakarta, 22 Agustus 2017, Global Summit Kongres Diaspora ke-4 digelar di Jakarta. Gugus Tugas Pekerja Migran (Task Force on Migrant Workers) sebagai salah satu komponen Jaringan Diaspora Indonesia (Indonesian Diaspora Network) berhasil menyelenggarakan 5 kegiatan sesi paralel dalam sehari. Sesi  forum paralel ini  dengan mengangkat isu  pengakuan  buruh migran sebagai pekerja dan penguatan perlindungan dalam RUU PPMI serta  peran migran untuk pembangunan Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja di berbagai sektor, mulai sektor domestik, konstruksi, kelautan, perkebunan, perminyakan, perbankan, TIK, dan sektor lainnya. Tantangan dan persoalan yang dihadapi cukup kompleks dan berbeda dari satu sektor ke sektor lainnya.

Koordinator Task Force Migrant Workers Didi Yakub menjelaskan bahwa dalam kongres kali ini selain berusaha untuk mengangkat tema di atas juga berbagi tentang tantangan migran ke depan sebagai perubah kebijakan dan pengakuan migran dalam diaspora sebagai kelompok besar yang juga memberikan kontribusi besar terhadap Indonesia. 

Task Force Migrant Workers juga mendatangkan Erwiana Sulistyaningsih sebagai narasumber yang berbagi cerita dan  pengalamannya sebagai seorang korban yang bangkit dan setelah mendapatkan keadilannya dia juga turut aktif melakukan pendampingan dan kerja advokasi.. Disamping Erwiana, pembicara lainnya adalah Hariyanto dari Serikat Buruh Migran Indonesia dan Yuni Asriyanti dari Komnas Perempuan yang mengangkat isu gagalnya perlindungan negara untuk migran dan tentang dampak hukuman mati bagi  buruh migran dan anggota keluarganya.

Sesi ke dua mengangkat tema tentang pengakuan kerja layak (decent work) terhadap pekerja migran. Tema ini dihubungkan dengan isi revisi UU No 34/2004 yang sudah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah. Narasumber yang hadir adalah Wahyu Susilo (Migrant Care) yang mengangkat isu pekerja tidak berdokumen yang belum mendapatkan pengakuan dalam revisi UU No 39/2004 dan  Savitri Wisnuwardhani (Seknas JBM) mengangkat tentang persoalan dalam pembahasan revisi serta Sringatin (Gugus Tugas Pekerja Migran – Hongkong) yang menyampaikan kritik buruh migran dalam revisi yang dalam proses pembahasanya tidak melibatkan buruh migran diluar negeri sehingga isi UU ini tidak mengakomodir harapan migran untuk dilindungi oleh negara namun peran swasta yang masih mendominasi dari proses migrasi.

Sesi berikutnya mengusung tema “Indonesia Memanggil” yang intinya membahas program re-integrasi yang berkelanjutan terhadap pekerja migran yang berniat pulang ke Indonesia untuk selamanya. Dalam sesi Ir Agusdin Subiantoro M. MA (Deputi Penempatan BNP2TKI), Mulyadi (Migrant Care), Dian Winarsih (HOME Singapura) dan Tantri Sakhina (Taiwan). Memberikan gambaran tentang keterlibatan  aktor negara dan non-negara dalam bersinergi dan berkolaborasi untuk mengembangkan dan mensukseskan program perlindungan dengan penguatan migran dan anggota keluarganya dalam program reintegrasi.
Sesi ke empat mengangkat tema penguatan kompetensi baik dalam bersaing di luar negeri maupun meningkatkan kontribusi pekerja migran terhadap pembangunan di Indonesia. Sesi ini menampilkan Doddy Dwinanda (Principal Planner, JTC Corporation, Singapura), Juliana Tompodung (KK3 – SKKMIGAS), David Muflihano (One HR – Indonesia), Dessy Arnas (Red Indo), dan Khairul Anshar (Vice President Code4Nation, Singapura).

Sesi paralel terakhir mengangkat tema “Diaspora untuk Diaspora. Sesi  mengangkat berbagai pengalaman diaspora Indonesia di Singapura  dalam mengembangkan pendidikan entrepreneurship, penguatan buruh migran di Singapore dari diaspora Indonesia untuk sesama diaspora lainnya khususnya mereka yang bekerja di sektor rumah tangga. Narasumber sesi ini Theresia Kurniawan (Program Manager, Development, Singapura), Sri Rejeki Widjaja (Volunteer Manager, Development, Singapura, dan Ir. Antonius Tanan (Presiden Ciputra Entrepreneurship Centre, Jakarta, yang menceritakan tentang tantangan dalam membangun komunitas diaspora di Singapore, keberhasilan dan tantangan dalam menjalan  program penguatan dan entrepreneurship di Singapore.

Didi Yakub menjelaskan bahwa kedepan Task Force Migrant Workers ( TFMW) akan memperkuat keanggotan dan kepengurusan dengan menambah keanggotan serta  mempromosikan peran aktif dan kontribusi buruh migran dalam diaspora. Harapan kedepan TFMW akan terus bersinergi dengan berbagai kalangan  untuk berbagi informasi dan melakukan advokasi  kebijakan demi terwujudnya perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya serta penguatan dan pemberdayaan ekonomi buruh migran, mantan buruh migran beserta anggota keluarganya.

Sambut Sidang Komite CMW PBB Sebagai Momentum Perbaikan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

[Jakarta, 31 Agustus 2017] – Sebagai negara pihak Konvensi Pekerja Migran PBB sejak tahun 2012, untuk pertama kalinya, Indonesia akan disidang oleh Komite CMW PBB (Committee on Migrant Workersuntuk Pekerja Migran pada 4-6 September 2017 di Jenewa, Swiss. Pemerintah Indonesia telah menunaikan kewajibannya dengan mengirimkan laporan pertamanya (initial report) pada April tahun ini. 
HRWG, sebagai presidium advokasi internasional Jaringan Buruh Migran (JBM), telah memfasilitasi dan berhasil menyusun laporan alternatif yang telah dikirimkan ke Komite. Berikut link dari laporan alternative yang dikirimkan kepada Komite CMW PBB :
Isi laporan alternatif tersebut di antaranya adalah mendorong Komite untuk merekomendasikan harmonisasi Konvensi Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya kepada pemerintah Indonesia di dalam revisi UU 39/2004. Sejauh ini, revisi yang sedang berlangsung di parlemen sudah memasukkan Konvensi sebagai salah satu konsiderannya. Dari draft terakhir, terkesan masih adanya monopoli atau dominasi peran PPTKIS dalam perekrutan pekerja migran. PPTKIS bebas melakukan rekrutmen dan tidak memiliki standar perekrutan di antaranya mencakup soal kurikulum, kemampuan dasar bagi calon pekerja migran, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan persoalan beban biaya lebih atau overcharging yang ditanggung pekerja migran sementara, jika terjadi kasus terhadap pekerja migran, banyak sekali PPTKIS yang lepas tanggung jawab.
Laporan alternatif juga mengevaluasi tidak efektifnya bilateral agreement atau MoU dalam melindungi pekerja migran dari pelanggaran HAM (pidana dan ketenagakerjaan), di antaranya MoU dengan Malaysia yang sudah habis masa berlakunya namun hingga saat ini pemerintah belum memperbaharuinya. Sementara masih ada perekrutan pekerja migran Indonesia ke Malaysia dan terakhir terjadi kasus 695 pekerja migran tidak berdokumen yang ditangkap awal Juli 2017 lalu. Selain itu, MoU dengan Arab Saudi juga minim mengadopsi konten perlindungan dari Konvensi. Bukan merevisi, Indonesia justru mengeluarkan Kepmen No.260/2015 yang melarang pengiriman pekerja migran ke negara-negara Timur Tengah.
Laporan alternatif juga mendorong peran Komnas HAM sebagai lembaga negara untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam perlindungan HAM. Hingga saat ini Komnasham tidak fokus menangani isu pekerja migran. Pelaporan dan penanganan kasus pekerja migran hanya bersifat kompilasi.
Laporan juga mengkritisi peran crisis center BNP2TKI untuk mekanisme komplain dan pelaporan kasus pekerja migran tidak menjawab rasa keadilan karena hanya menggunakan proses mediasi dan tidak litigasi padahal ada unsur kepolisian di dalamnya namun tidak digunakan untuk investigasi.
Untuk soal jaminan sosial pekerja migran, laporan alternatif telah memasukan perkembangan di dalam revisi UU 39/2004 yang memasukkan pekerja migran dalam SJSN yakni BPJS Ketenagakerjaan. Namun BPJS tidak memberi jaminan resiko atas adanya pemecatan sepihak, dipindah-pindahkan majikan, pemulangan bermasalah, kegagalan berangkat, dan kasus pemerkosaan  dan tindak kekerasan seksual terhadap pekerja migran. Padahal hal tersebut rentan terjadi terhadap pekerja migran. 
Laporan juga mendesak Indonesia utuk segera meratifikasi KILO 189 tentang Kerja Layak. Sementara, pada saat yang bersamaan Indonesia juga belum memiliki UU yang mengatur pekerja domestik atau PRT. Padahal, kasus pekerja migran di luar negeri yang mayoritas terjadi terhadap PRT, khususnya perempuan. Hal ini, sejalan dengan ini rekomendasi UPR untuk segera meratifkasi KILO 189.
Hal lain adalah soal hak-hak anak pekerja migran yang sulit mendapatkan sertifikat kelahiran dan pendidikan di dalam dan luar negeri. Padahal hal tersebut adalah hak dasar bagi anak-anak pekerja migran yang terdapat dalam Konvensi. Hal ini banyak terjadi pada anak-anak pekerja migran di Malaysia dan Arab Saudi.
Adopsi agenda sesi ke-27 dilanjutkan dengan pertemuan informal dengan organisasi masyarakat sipil dan Lembaga Komnas HAM pada Senin, 4 September 2017. Sidangnya sendiri (Consideration of Reports submitted by states party) akan berlangsung Selasa, 5 September 2017 pukul 13.00-18:00 dan dilanjutkan pada Rabu, 6 September dari pukul 10.00-13:00 waktu Jenewa.  Dari Perwakilan JBM yang hadir dalam sidang tersebut adalah Yuyun Wahyuningrum dari HRWG.
HRWG berharap, sidang Komite akan mendorong standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi tersebut mendorong negara agar semakin menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub di dalam Konvensi tersebut.

Narahubung
Daniel Awigra (HRWG)           : +62 817 6921 757
Bobby Alwy (SBMI)                  : +62 852 8300 6797
Savitri Wisnu (SekNas JBM ) : +62 821 2471 4978
Enny Rofiatul (LBH Jakarta ) : +62 857 1145 7214

Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Sikap JBM terhadap Pengesahan RUU Perlindungan  Pekerja Migran Indonesia

Hari ini, 25 Oktober 2017, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) disahkan di Paripurna pukul 10.00. Jaringan Buruh Migran (JBM) yang terdiri dari 26 organisasi di dalam dan di luar negeri, telah mengawal RUU PPMI dari tahun 2010. Sudah tujuh tahun RUU  ini dibahas dan akhirnya disahkan. 

Kami mengapresiasi Panja RUU PPMI dalam menyelesaian RUU PPMI. Kami juga berterimakasih kepada seluruh pihak dan media yang terus memantau, mengawal RUU PPMI hingga disahkan.

Jaringan Buruh Migran (JBM) memandang ada perubahan signifikan dari RUU PPMI diantaranya yaitu: 
1. Definisi buruh migran dan anggota keluarga (darat dan laut) telah sesuai dengan konvensi PBB 1990.
2. Konvensi PBB 1990 masuk dalam konsideran, sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak, salah satunya kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi dan hukum.
3. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggungjawab pemerintah (sebelumnya PJTKI),  ini akan meningkatkan keterampilan calon pekerja migran tidak hanya formalitas, dan mengurangi biaya penempatan hingga 8 juta. 
4. Layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan sejak dari desa.
5. Ada kejelasan pembagian kewenangan operator dan regulator (Kementerian dan Badan), serta pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, provinsi, daerah dan desa.
6. Rezim asuransi TKI diganti dengan BPJS.
7. Layanan LTSA di daerah-daerah, sehingga tidak harus dilakukan di Pusat. 
8. Menghapus KTKLN, kartu yang sering menjadi alat untuk pemerasan pekerja migran.
9. Penguatan peran Atase ketenagakerjaan di luar negeri.
10. Dalam endorse job order ada verifikasi agency dan calon pemberi kerja oleh Atase Ketenagakerjaan.
11. Pengurangan peran PJTKI.
12. Sanksi tidak hanya untuk korporasi tetapi juga untuk pejabat.
13. Pasal mengenai konflik of interest (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan).
14. Aturan turunan dibatasi dua tahun harus selesai. Sebelumnya ada amanat undang undang yang tidak dilaksanakan. 

Namun masih terdapat kelemahan antara lain :

1. Mekanimse penempatan masih harus melalui PJTKI, PRT belum bisa menjadi pekerja mandiri, masih harus melalui PJTKI.
2. Perjanjian kerja belum memastikan berlaku di kedua negara dan mekanisme penyelesaian sengketa belum memasukkan qoasi peradilan.
3. Jaminan sosial belum mencakup resiko yang sering dialami buruh migran yakni PHK sepihak dan gaji tidak dibayar.
4. Pelibatan peran serta masyarakat masih lemah, karena dalam pelaksanaan pengawasan pelindungan berkata “dapat” melibatkan masyarakat.
5. Untuk sanksi pidana masih terdapat kelemahan :
a. Beberapa sanksi tidak mencantumkan hukuman minimal akibatnya tergantung hakim dalam memberikan keputusan
b. Korban menjadi korban karena memiliki peluang untuk dihukum
c. Pengurus korporasi tidak dipidana, 
d. Bantuan hukum diatur dalam pasal hak, tidak diatur dalam bab khusus bantuan hukum bagi pekerja migran Indonesia sehingga cara mengakses, lembaga mana yang harus dituju, berapa lama penyelesaian sengketa, apakah didampingi pengacara atau tidak belum belum.
6. Mekanisme penyelesaian sengketa, pemerintah tidak membuat kuasi peradilan dan berpotensi cuci tangan dari tanggungjawab perlindungan bagi buruh migran. (Pasal 77 ayat 3 : jika tidak tercapai kesepakatan dapat mengajukan gugatan melalui peradilan).
7. Untuk kelembagaan, tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah : 
a. belum diatur mengenai tugas pemerintah daerah untuk menangani kasus. Diharapkan di LTSA hal ini dapat terwujud
b. Pemerintah pusat belum diamanatkan membuat sistem data yang terintegrasi dari desa hingga di luar negeri.
8. Usulan DPR ttg Dewan Pengawasan tidak diakomodir.

Kami berharap kelemahan ini dapat diatur di peraturan turunan dengan melibatkan buruh migran, organisasi/serikat buruh migran dan organisasi yang peduli kepada buruh migran.

Jakarta, 25 Oktober 2017

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights

Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani (SekNas JBM)  : 082124714978  /  Boby Alwy (SBMI) : 085283006797

PENEGAKAN DAN BANTUAN HUKUM DALAM RUU PPMI Apakah dapat Meningkatkan Akses Keadilan bagi Buruh Migran?

PENEGAKAN DAN BANTUAN HUKUM DALAM RUU PPMI
Apakah dapat Meningkatkan Akses Keadilan bagi Buruh Migran?

Pemerintah dan DPR RI telah melakukan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan rencananya dalam waktu dekat akan segera mengesahkan RUU tersebut. Salah satu isu krusial yang patut dikritisi dalam draft terakhir yang diberikan oleh Pemerintah dan DPR adalah terkait Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum untuk buruh migran.
-          Penegakan Hukum melalui Pemberian Sanksi
Di dalam batang tubuh RUU PPMI, pengaturan mengenai sanksi diatur melalui Pasal 74 yakni  sanksi administratif, Pasal 79-87 yang mengatur sanksi pidana.

a.       Korban menjadi korban karena memiliki peluang untuk dihukum

Sanksi pidana yang terletak di Pasal 79 yang memungkinkan buruh migran yang “dipaksa” atau “diperdaya” agar menyetujui dokumen palsu yang dibuatkan oleh calo atau penyalur, turut menjadi pihak yang dikenakan hukuman. Sanksi ini secara tidak langsung bertentangan dengan UU TPPO, Pasal 18 yang menyatakan bahwa “korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Seharusnya Pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan kesesuaian norma pengaturan yang ada di dalam RUU PPMI dan juga UU TPPO sehingga tidak mengandung makna yang bias.

b.      Pengurus Korporasi Tidak Dipidana

RUU PPMI secara tidak langsung mengatur bahwa korporasi hanya dapat dipidana denda dengan kata penghubung “dapat” dalam Pasal 87 “......dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. Penggunaan kata dapat tidak tepat dalam perumusan sanksi pidana karena memunculkan ketidakpastian. Berdasarkan UU No 12 Tahun 2011, bagian penjelasannya angka 118: “Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut.” Seharusnya kata dapat harus dihilangkan.

Selain itu, dalam UU No 12 Tahun 2011 juga diatur tentang pemberian sanksi pidana untuk korporasi yaitu:
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
    a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau
   b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana.

Seharusnya pemberian sanksi bagi korporasi berkiblat pada panduan yang sudah dibuat dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


Bantuan Hukum dan Penyelesaian Sengketa untuk Buruh Migran

Pasal 21 dalam Bab Pelindungan Selama Bekerja dan Pasal 6 dalam Bab Hak Calon dan/atau Buruh Migran menyebutkan tentang Bantuan Hukum di negara setempat. Namun tidak terdapat pasal khusus tentang bantuan hukum dan amanat peraturan turunannya, sehingga pelaksanaan Pasal ini pun masih ambigu. Bagaimana buruh migran dapat menggunakan haknya? Siapa yang harus ditemui saat buruh migran mendapatkan kasus? Berapa lama mereka harus menunggu hingga dapat didampingi oleh pengacara? Hal-hal tersebut di atas harus dibuat dalam peraturan teknis di tingkat kementerian dan juga wajib dibuat SOP pengaduan di masing-masing kantor perwakilan sehingga buruh migran yang menghadapi kasus dapat terjamin kepastian hukumnya.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN: Pasal cuci tangan Pemerintah dari tanggung jawab perlindungan

Pasal 77 ayat 3

(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, salah satu atau kedua belah pihak dapat mengajukan tuntutan dan/atau gugatan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jaringan Buruh Migran konsisten mengusulkan sistem quasi peradilan sebagai salah satu representasi kekuasaan kehakiman yang dapat menyelesaikan perselisihan antara buruh migran dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara cepat, sederhana, dan mudah. Lembaga ini dapat berada di bawah BNP2TKI di tingkat kotamadya atau kabupaten sehingga dapat diakses lebih mudah oleh buruh migran dan prosesnya tidak terlalu lama seperti di pengadilan. Dengan meminta buruh migran menggugat melalui pengadilan, sama halnya pemerintah tanggung jawabnya untuk melindungi buruh migran.

Untuk itulah, LBH Jakarta sebagai anggota Jaringan Buruh Migran meminta pemerintah dan DPR untuk membuka ruang diskusi lagi agar pasal-pasal penegakan hukum dan sanksi dapat diharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan memastikan mekanisme bantuan hukum dan penyelesaian sengketa yang cepat dan berbiaya ringan untuk buruh migran.

Jakarta, 24 Oktober 2017


Eny Rofiatul: 085711457214

Pentingnya Kerja Bersama antar Instansi Pemerintah dan pelibatan Peran Serta Masyarakat sebagai Satu Team dalam Perbaikan Tata Kelola Migrasi Pekerja Migran Indonesia

Pentingnya Kerja Bersama antar Instansi Pemerintah dan pelibatan Peran Serta Masyarakat sebagai Satu Team dalam Perbaikan Tata Kelola Migrasi Pekerja Migran Indonesia

Jaringan Buruh Migran yang terdiri dari 26 organisasi yang ada di dalam dan di luar negeri telah mengawal revisi UU 39/2004 dari tahun 2010 masih melihat tata kelola migrasi masih berjalan terpisah-pisah. Akar permasalahan kelembagaan adalah lemahnya peran dan fungsi kelembagaan serta minimnya kerja sinergis dan koordinasi di antara lembaga pemerintah. Beberapa problem terkait kelembagaan dari pelaksanaan UU 39/2004, di antaranya adalah: (1) peran pemerintah pusat dan daerah masih belum jelas ; (2) pelayanan migrasi kerja bagi PMI masih panjang, berbelit-belit dan berbiaya mahal; (3) peran perlindungan PMI lebih banyak diserahkan pada PPTKIS yang notabene adalah lembaga bisnis; dan (4) lemahnya sinergitas dan koordinasi kerja antar lembaga pemerintah yang terkait dengan migrasi PMI ke luar negeri.

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2014 terkait 19 kementerian/lembaga mengenai evaluasi atas rencana aksi kerja bersama untuk perbaikan Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terdiri dari beberapa bidang pembenahan yakni, Pertama. Pembenahan kualitas kelembagaan dan operasional PPTKIS baru mencapai 64% dikarenakan belum terlaksananya audit komprehensif (managemen, keuangan, kinerja) seluruh PPTKIS yang terdaftar. Kedua, pembenahan infrastruktur pemerintah dalam mendorong layanan dan perlindungan kepada BMI baru mencapai 55%. Hal ini disebabkan belum berfungsinya sistem Whistle Blowing di Kemenaker, belum ada satgas layanan dan perlindungan TKI di Perwalu dll. Ketiga, pembenahan infrastruktur bandar udara untuk menunjang perlindungan terhadap TKI, baru mencapai 56 persen. Hal ini disebabkan belum terbitnya SOP Pelaksanaan klarifikasi TKI bermasalah; Belum terwujudnya implementasi penugasan POLRI dalam pengamanan bandara; Belum terbitnya Permenhub yang mengatur pengalihan tanggung jawab penerbitan dan pengawasan kartu PAS bandar udara oleh Angkasa Pura, dll.

Tanggal 12 Oktober 2017, panja RUU 39/2004 atau RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) telah selesai di pembahasan tingkat I dan akan diteruskan di pembahasan tingkat II yakni di Paripurna untuk disahkan (25 Oktober 2017). Setelah 7 tahun pembahasan akhirnya RUU PPMI diselesaikan juga. Jaringan Buruh Migran mengapresiasi upaya pemerintah dan DPR untuk menyepakati point-point krusial yang menjadi perdebatan hingga 7 tahun, terutama di point kelembagaan yakni tugas Badan kepada menteri. Telah disepakati dalam draf RUU pertanggal 12 Oktober, Kepala Badan diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab melalui menteri.

Dalam RUU PPMI meskipun telah disepakati mengenai pembagian tugas regulator dan operator, termasuk didalamnya tugas, kewenangan dan sanksi bagi pejabat yang melanggar, pasal konflik of interest (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan)dan adanya layanan terpadu satu atap  (LTSA) untuk memudahkan koordinasi, namun kami masih melihat ada celah dalam RUU yang berpotensi bekerja secara terpisah-pisah. Belajar dari pengalaman  Filipina, dalam UU mereka termandatkan kata-kata “One country one team” . Potensi bekerja terpisah dapat dilihat pada misalnya dalam mencabut SIP2MI ( Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia). Meskipun dualisme dalam hal penerbitan dan pencabutan SIP2MI telah diakomodir dalam RUU PPMI, yang mana menjadi kewajiban badan, namun dalam RUU, Badan tidak dimandatkan untuk membuat peraturan terkait SIP2MI. Di sisi lain, pemerintah pusat memiliki tugas untuk mencabut SIP2MI. Sedangkan definisi pemerintah pusat adalah Presiden, Wakil Presiden dan Menteri. Definisi Badan sebagai lembaga non kementerian.


Berdasarkan permasalahan diatas, Jaringan Buruh Migran (JBM) menyerukan agar pemerintah menambah norma dalam peraturan perundang-undangan :
 
1. Membangun sistem pengawasan yang komprehensif dan dilakukan secara periodik. Dalam draf  RUU PPMI meski sudah dimandatkan untuk melakukan pengawasan, namun belum ada norma yang menyebutkan secara spesifik kata “periodik dan komprehensif” dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia. artinya pengawasan yang ada dapat dilakukan sesekali dan berkala yang berdampak tidak maksimalnya implementasi dari UU.
2. Membangun basis data dan informasi yang terintegrasi mulai dari tingkat desa hingga luar negeri. Meski dalam RUU telah memandatkan pemerintah daerah membuat basis data namun belum ada pasal yang memandatkan tugas pemerintah pusat dalam membuat sistem database yang terintegrasi dari desa hingga luar negeri.
3. Membangun sistem penanganan kasus dan bantuan hukum yang terintegrasi. Dalam draf RUU meskipun telah disebutkan mengenai tugas pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi kerjasama antar instansi untuk menanggapi pengaduan dan penanganan kasus, namun tugas hanya di pemerintah pusat. Pemerintah daerah (Prov dan Kabupaten) tidak mempunyai tugas untuk menanggapi pengaduan dan penanganan kasus.
4. Layanan terpadu satu atap direkomendasikan untuk didekatkan pada yang dilayani. Meskipun dalam RUU telah dimandatkan LTSA di tingkat Prov dan Kab, namun seharusnya pelayanan LTSA didekatkan pada PMI yakni di tingkat kabupaten.
5.  Memastikan keterlibatan pekerja migran Indonesia, organisasi/serikat buruh migran dan organisasi yang peduli pada pekerja migran dalam penyusunan kebijakan yang ada baik ditingkat daerah hingga pusat. Pelibatan buruh migran dalam RUU masih tidak jelas. Meski di menimbang telah ada namun seakan-akan hanya tempelan dan di pasal RUU keterlibatan ini hanya pada pengawasan dengan kata “dapat”.

Jakarta, 24 Oktober 2017


Jaringan Buruh Migran

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights


Narahubung:

Savitri Wisnuwardhani (SekNas JBM)   : 082124714978

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan