
Pada pembahasan yang pertama, pemerintah akan
menggalakkan program One channel system yang bermanfaat untuk
merangkum semua pengaksesan pelayanan informasi dan data dari tingkat desa hingga
pusat. Artinya, seluruh database job order harus di approval oleh Kemnaker dan akan
menambah jumlah LTSA di 54 kantong TKI. Dalam LTSA, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah akan berkoordinasi dan terintegrasi dengan baik.
LTSA bertujuan untuk efektivitas penyelenggaraan pelayanan Pekerja Migran dan
efisiensi & transparansi dokumen calon pekerja migran. Di dalam LTSA
terdapat:
1. BLK (balai latihan kerja). Dengan
adanya BLK, maka mengeaskan bahwa peran PPTKIS hanya sebagai marketing
penempatan dan tidak melakukan pelatihan kerja.
2.
Disnaker, pengurusan ID TKI dan
rekomendasi paspor
3. Dukcapil sebagai screening untuk
pendataan memverifikasi KTP dan KK, mengamankan KTP dan diganti
surat keterangan pindah ke LN.
4.
BPJS/perlindungan jaminan sosial dengan
harga Rp.370rb/33 bulan
5. Dinas Kesehatan bertugas untuk screening medical check up dengan harga
Rp 670rb (full medical check up). Di
sini Kementerian Kesehatan harus aktif hadir
6.
Imigrasi, pengurusan paspor
7. Polda, pengurusan SKCK
8. BNP2TKI, masih dipertanyakan akan
bertugas seperti apa. Namun terdapat masukan yang diakomodir bahwa BNP2TKI akan
menjadi penyelesaian sengketa peradilan.
Dalam pembahasan kedua, perlu rekomendasi untuk memperkuat
penyusunan Peraturan Turunannya yang terdiri dari 12 PP, 12 Permen, 1 Perpres dan
3 Perka Badan. Hal ini bertujuan agar UU PPMI yang bernyawa perlindungan bagi
buruh migran dapat terwujud secara maksimal. Beberapa usulan CSO dalam
perbaikan kebijakan meliputi:
1. Sanksi
administrasi bagi korban jangan sampai dikenakan. Akan menjadi reminder
2. LTSA
agar tidak menjadi bottle neck karena
Kades memiliki potensi “sebagai calo” maka usulannya agar pengawasan tidak
hanya pada PPPTKIS tetapi juga di penyelenggaraan penempatan termasuk di LTSA.
3. Kewarganegaraan
PMI yang menikah di sana menjadi kewenangan Kemlu. Akan kita akomodir untuk
masukannya
4. Database,
pengawasan di setiap proses, penanganan kasus, LTSA akan di daerah, koordinasi
terkait penandatangan MoU harus melibatkan instansi pemerintah yang terkait
tidak hanya Kemnaker tetapi Kemenlu dan dalam proses pembuatan MoU harus
tripartite
5. Dalam
pembuatan kebijakan hrs melibatkan buruh migran yang di LN.
Dalam pembahasan ketiga, kebijakan dengan
Negara penempatan. Untuk kondisi saat ini, MoU di wilayah Timur Tengah tidak
berlaku lagi dengan dikeluarkannya Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 tentang
Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan
Timur Tengah, namun 2 tahun kedepan akan dikaji kembali untuk penempatan di
Arab Saudi (akan diperbaiki MoUnya atau diteruskan).
R. Soes Hindharno (Direktur
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri) mengungkapkan bahwa Kepmen
260 tidak akan diganggu atau di revisi tapi kita akan evaluasi ke beberapa
negara dan piloting misalnya di UEEA (Dubai). Di Arab (Riyadh dan Jeddah). Akan
dibuka untuk piloting untuk jumlah tertentu, jangka waktu kerja ditentukan hal
ini karena Arab Saudi masih menggunakan sistem Khafallah. MoU di wilayah Asia
Pasifik juga mengalami hal yang sama, sudah habis masa berlakunya/expired. Dalam menanggapi UU PPMI ini,
pemerintah sedang dalam proses melakukan pembenahan atau review terhadap
Struktur Biaya Penempatan (Cost Structure) untuk wilayah Malaysia,
Taiwan, Singapura. Namun, Erwina Kemnaker mengungkapkan bahwa yang menjadi
kendala saat ini adalah MoU penempatan tenaga kerja tidak lagi dilakukan oleh
menaker (tidak kementerian dengan badan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar