Laman

Translate

PERNYATAAN SIKAP JARINGAN ADVOKASI KAWAL RUU PPMI TERHADAP PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

 

PERNYATAAN SIKAP JARINGAN ADVOKASI KAWAL RUU PPMI TERHADAP PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PELINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA


Kantor Komnas Perempuan RI 

Jumat 14 Maret 2025







 

1.    Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI memandang bahwa proses pembahasan Revisi Undang-Undang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dilakukan secara tidak demokratis, tidak transparan dan tidak inklusif, serta tidak melibatkan masyarakat, terutama pekerja migran dan komunitas pekerja migran, serikat pekerja, organisasi masyarakat sipil secara bermakna. Padahal, keterlibatan masyarakat secara bermakna dalam proses legislasi UU seharusnya ada di setiap tahapan pembentukan UU, sejak tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Proses revisi ini mengingatkan kita pada proses penyusunan UU Cipta Kerja, yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Inkonstitusional Bersyarat pada tahun 2020 atas dasar cacat formil pada Putusan Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020. Hakim MK, dalam pertimbangan Putusan a quo, menyatakan bahwa proses UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 karena tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang undangan. Lebih tepatnya, proses tersebut mengabaikan hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Pertimbangan hakim MK dalam perkara a quo:

Bahwa sementara itu berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat [vide Risalah Sidang tanggal 23 September 2021], pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang a quo. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU cipta kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis” [vide hlm. 412 Putusan a quo]

2.    Sejak RUU PPMI ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 (Prolegnas Prioritas), DPR RI tidak pernah melibatkan Jaringan Advokasi dalam memberikan masukan terhadap draf RUU PPMI. Pada tanggal 30 Januari 2025 SBMI, JBM, dan KSBSI, yang merupakan bagian dari Jaringan Advokasi, memang


diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, tetapi sebelum pertemuan RDPU tersebut, Jaringan Advokasi tidak pernah mendapatkan draf RUU PPMI dan Naskah Akademik. DPR RI juga tidak membuka informasi publik terhadap dua dokumen tersebut. Berdasarkan rapat yang disiarkan melalui laman Youtube Baleg DPR RI, Panitia Kerja RUU PPMI telah menyelesaikan RUU Perubahan yang akan dibawa pada Rapat Pandangan Mini Fraksi 18 Maret 2025. Jaringan Advokasi telah meminta draf terakhir RUU PPMI dari DPR RI, tetapi draf ini tidak pernah diberikan secara resmi kepada Jaringan Advokasi maupun tidak dipublikasikan melalui laman resmi DPR RI.

3.    Menyatakan bahwa Perubahan Ketiga atas UU PPMI seharusnya difokuskan kepada perubahan nomenklatur kementerian dalam mengakomodir adanya perubahan kelembagaan pelindungan PMI, dalam hal ini penambahan ‘Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia’ dan aspek kelembagaan pelindungan PMI lainnya, termasuk diantaranya mekanisme koordinasi antarinstansi pemerintah dan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewenangan Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan Desa.

Berdasarkan asesmen Jaringan Advokasi, norma pelindungan yang tercantum dalam UU PPMI telah mencerminkan standar internasional. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia gagal melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban dalam pelindungan PMI sebagaimana diamanatkan UU PPMI, terutama dikarenakan lemahnya koordinasi antar pemerintah di berbagai tingkatan dan monitoring dan evaluasi terhadap tugas Pemerintah dalam pelindungan PMI. Faktor lain adalah lambatnya penerbitan aturan-aturan turunan UU 18/2017, termasuk diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran. Selain itu, belum ada Peraturan Presiden tentang Atase Ketenagakerjaan yang jelas-jelas diamanatkan oleh UU PPMI. Di tingkat provinsi, hanya 4 (empat) provinsi yang baru mengeluarkan peraturan daerah dan/atau gubernur tentang pelindungan PMI pasca pengundangan UU PPMI. Selain itu, masih sedikit jumlah pemerintah kabupaten/kota dan desa yang menetapkan aturan tentang pelindungan PMI.

4.    Jaringan Advokasi menilai bahwa beberapa norma pelindungan yang telah dijamin dalam UU 18/2017 hingga kini belum terimplementasikan secara efektif, khususnya terkait akses terhadap keadilan, restitusi dan kompensasi bagi korban, dan jaminan sosial. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, hal ini juga disebabkan oleh ketidakjelasan mekanisme pengawasan serta monitoring dan evaluasi terhadap implementasi UU PPMI. Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara norma yang diatur dengan realitas di lapangan. Terlebih lagi, minimnya keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pemantauan implementasi menjadi faktor yang turut menyebabkan tidak efektifnya regulasi ini. Hingga saat ini pengaturan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan penempatan PMI hanya sebatas tokenisme. Ironisnya, beberapa inisiatif masyarakat sipil dan serikat pekerja untuk mendampingi PMI yang menjadi korban eksploitasi justru berujung pada intimidasi dan kriminalisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.


5.    Dalam rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR RI RUU PPMI, disampaikan berbagai pendapat yang sama sekali tidak mencerminkan filosofis dan semangat pelindungan HAM yang telah diperjuangkan hampir 2 (dua) dekade dan pada akhirnya dijamin dalam UU PPMI dan pengesahan International Convention on the Protection of Rights of All Migrant Workers and Members of their Families pada tahun 2012, antara lain:

a.    Pengampunan bagi P3MI yang menempatkan tidak sesuai dengan mekanisme UU PPMI dan terdapat pembicaraan penghapusan sanksi pidana karena ada mekanisme pengampunan;

b.    Pelindungan PMI hanya untuk PMI yang terdaftar dan masih menggunakan terminologi PMI illegal bagi PMI yang berangkat secara tidak prosedural; dan

c.    Masuknya skema pemagangan PMI dalam salah satu draf RUU.

d.    P3MI melakukan perekrutan PMI.

e.    Mengabaikan pelindungan PMI Perseorangan dengan mengatur ketentuan segala risiko ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab sendiri.

 

6.    Bahwa dalam salah satu draf RUU yang diterima oleh Jaringan Advokasi, Menteri PPMI berwenang untuk memberikan pelindungan, tetapi di waktu yang sama juga diberikan tugas untuk melakukan penempatan melalui Badan Layanan Umum yang dibentuk oleh Menteri PPMI. Pertanyaannya, bagaimana langkah Pemerintah RI dan DPR untuk memastikan adanya pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam pelaksanaan skema G-to-G, jika instansi yang bertugas untuk mengawasi penempatan PMI, juga melakukan penempatan. Pembahasan (BLU) dalam rapat Panja Baleg DPR RI juga tidak membahas transparansi dan akuntabilitas BLU pada proses penempatan dan pelindungan, terutama potensi konflik kepentingan penanggungjawab dan pengawas BLU.

7.    Paradigma negara yang mengingkari “pekerja rumah tangga/PRT” sebagai pekerjaan sama terhormatnya dengan status “pekerja migran formal” terlihat dari aturan turunan UU PPMI yang tidak berpihak kepada PRT migran. Pemberian nama

- penghalusan istilah “PRT” dengan berbagai jabatan dan sebutan telah mengaburkan profesi ini. Kenyataan bahwa PMI PRT adalah kelompok perempuan, jumlah terbanyak dalam penempatan dan menjadi kelompok rentan dalam migrasi kerja, menunjukkan bahwa negara belum memiliki sensitivitas gender dalam mengelola migrasi kerja. Asas “kesetaraan gender” dalam UU 18/2017 perlu dipertahankan dan lebih lanjut dipastikan akan diterjemahkan dalam aturan-aturan turunan dan perencanaan anggaran supaya memenuhi kebutuhan dan menjawab persoalan yang berbeda dari tiap kelompok gender pekerja migran.

8.    Bahwa pada bulan November 2024, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa awak kapal niaga migran (AKN Migran) dan awal kapal perikanan migran (AKP Migran) merupakan PMI dan seluruh proses penempatan mereka tunduk pada dalam rezim pelindungan PMI melalui Putusan Perkara No. 127/PUU-XXI/2023. Dalam salah satu draf RUU PPMI yang diterima Jaringan Advokasi, AKN Migran dan AKP Migran atau pekerja migran sektor sea-based disebutkan dalam Pasal 4 dan 64, sama persis dengan pengaturan dalam UU PPMI. Selama ini, pelindungan pekerja migran sektor sea-based terkendala oleh terlambatnya Pemerintah Indonesia menerbitkan PP 22/2022 selama 3 (tiga) tahun, serta persoalan perizinan


penempatan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Kedepannya, Pemerintah RI harus memastikan implementasi yang efektif dari ketentuan UU 18/2017 dan aturan-aturan turunannya terkait pelindungan pekerja migran sektor sea-based. Hal ini termasuk diantaranya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan penempatan yang tidak mengikuti ketentuan UU 18/2017. Ketentuan terkait pengampunan kepada perusahaan yang melanggar ketentuan UU 18/2017 dalam salah satu draf RUU yang diterima oleh Jaringan Advokasi berbanding terbalik dari semangat atau intensi perubahan RUU untuk pemenuhan akses terhadap keadilan bagi PMI, termasuk sektor sea-based, yang hak-haknya dilanggar akibat proses bisnis perusahaan yang eksploitatif dan tidak sesuai ketentuan UU 18/2017.

9.    Bahwa secara umum, draf revisi RUU PPMI masih Jawa-sentris dan berorientasi pada pelindungan PMI Prosedural, sementara wajah migrasi di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sangat bervariasi, seperti NTT, NTB, Madura, dan Bawean, yang mayoritas bermigrasi secara non-prosedural. Pemerintah RI dan DPR RI perlu mendengar, menghormati, dan berdiskusi secara langsung dengan komunitas-komunitas yang telah memiliki kultur migrasi dalam proses-proses pembahasan revisi RUU PPMI. Terdapat berbagai praktik baik dalam budaya migrasi, seperti di pulau Bawean, dimana komunitas Bawean aktif melakukan pelindungan terhadap setiap pekerja migran mulai dari pemberangkatan di Bawean hingga negara tujuan di Malaysia dan Singapura. Hal ini menandakan bahwa pembahasan RUU PPMI harus dilakukan secara transparan, melibatkan berbagai komunitas pekerja migran secara bermakna, dan dilandasi dengan filosofi dan semangat pelindungan HAM bagi setiap pekerja migran, terlepas dari status migrasi mereka.

 

 

 

 

Jakarta, 14 Maret 2025

 

Jaringan Advokasi Kawal RUU PPMI

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan