Ulasan
FOCUS GROUP DISCUSSION :
Pada
hari Minggu, 12 Januari 2025, pukul 21.00 - 23 waktu Malaysia, Via Zoom
Meeting, Jaringan Buruh Migran dan ILO
melalui program PROTECT telah melakukan Focus Group Discussion (FGD)
untuk memastikan terwujudnya pekerjaan yang layak dan mengurangi kerentanan
bagi perempuan dan anak khususnya melalui pencegahan dan penanggulangan
kekerasan kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang dan
penyelundupan orang Pekerja Migran Indonesia dalam lingkungan kerja manufaktur
di Malaysia.
Pekerja
Migran Indonesia memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi,
sosial dan manusia di negara asal dan negara tujuan, termasuk hal perlindungan
sosial. Malaysia, salah satu dari tiga negara selain Taiwan dan Hongkong yang
angka penempatannya terbanyak menurut data Kementerian Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia/ BP2MI dalam kurun waktu tiga tahun 2021-2023. Meskipun
terdapat Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia dan adanya MoU Indonesia melalui One Channel Sistem guna memberikan
perlindungan bagi pekerja migran Indonesia, namun faktanya dalam penerapan
regulasi tersebut tidak dilakukan secara maksimal.
Jaringan
Buruh Migran (JBM) melakukan FGD dengan perusahaan manufaktur elektronik untuk
mendapatkan permasalahan dan rekomendasi perbaikan tata kelola migrasi termasuk
bila ada MoU kedepannya antara pemerintah Indonesia dan Malaysia di sektor
formal. Kegiatan FGD ini dihadiri 11 orang dari pekerja migran Indonesia yang
berada di Malaysia yang bekerja di perusahaan manufaktur elektronik. selain 11
orang pekerja juga hadir dari tim
sekretariat JBM, dan Tim Peneliti
dari JBM.
Dalam sambutan pembuka kegiatan, Savitri Wisnu, Seknas JBM menyampaikan masih terdapat banyak PR yang dalam implementasi UU Undang-Undang pelindungan Pekerja terutama pada memastikan terwujudnya rekrutmen yang adil (fair recruitment) dan responsif gender guna peningkatan perlindungan bagi pekerja migran, khususnya di sektor manufaktur malaysia. ILO pada tahun 2016 telah membuat Pedoman Operasional untuk Perekrutan yang Adil dan definisi untuk biaya penempatan (General principles and operational guidelines for fair recruitment and definition of recruitment fees and related costs), diantaranya :
Perekrutan harus dilakukan dengan cara menghormati, melindungi dan memenuhi standar hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional, terutama hak atas kebebasan berorganisasi dan hak untuk mogok, dan kewajiban mencegah dan menghapus kerja paksa, praktik mempekerjakan anak, dan praktik-praktik diskriminasi dalam penempatan kerja
Peraturan penempatan dan perekrutan kerja juga haruslah jelas, transparan, dan ditegakkan secara efektif. Prinsip-prinsip ini pada hematnya menggarisbawahi pentingnya peran dari inspektorat/pengawasan dan penerapan sistem pendaftaran dengan standar tata kelola yang jelas, sistem pemberian dan pencabutan perizinan atau sertifikasi untuk para pelaku perekrutan dan penempatan kerja
Pekerja haruslah tidak diminta membayar biaya perekrutan atau biaya-biaya lain yang terkait
Semua persyaratan penempatan kerja haruslah dibuat agar sangat mudah dipahami, tepat perumusannya dan dapat diperiksa kebenarannya, terutama secara tertulis. Kontrak kerja tertulis dari pekerja migran itu haruslah dibuat agar mencegah terjadinya pengubahan isi kontrak secara tidak sah dan karenanya haruslah dapat diperiksa dan karena juga dapat dipastikan pelaksanaannya
Para pekerja haruslah bebas untuk bergerak di dalam negara di mana mereka berada, atau untuk meninggalkan negara tersebut. Dokumen-dokumen jatidiri dan kontrak mereka tidak boleh dirampas, dirusak atau pun ditahan.
Semua pekerja, baik yang berada dalam situasi sah maupun tidak sah, haruslah mempunyai akses untuk mendapatkan mekanisme penyelesaian masalah tanpa dipungut biaya atau jika harus bayar maka dengan biaya yang benar-benar terjangkau dan mendapatkan penyelesaian ganti-rugi secara efektif atas semua pelanggaran yang telah dialaminya.
Selanjutnya
para Tim Peneliti JBM mengajukan pertanyaan serta membuka ruang diskusi
terhadap para pekerja migrasi di bidang manufaktur antara lain, Biaya
Perekrutan, Keterbukaan informasi terkait hak-hak pekerja, Jaminan Sosial,
Perjanjian Kerja, Atase Ketenagakerjaan, fasilitas yang diterima dan akses
pengaduan. Dalam diskusi ini banyak dibahas mengenai biaya Perekrutan. Dari
pemaparan salah satu pekerja migran Indonesia menyampaikan terdapat biaya
perekrutan dari agency di Indonesia dengan sistem peminjaman dari bank yang
harus dibayarkan pekerjanya selama 3-12 bulan. Setiap bulan perempuan PMI yang
bekerja di sektor manufaktur harus mengirim RM 400 (60% dari gaji yang diterima
pada saat itu sebesar RM 1000) selama 12 bulan ke rekening salah satu bank di
Indonesia. Tidak semua agency menerapkan metode sama ada yang hanya memotong 3 bulan biaya
perekrutan tapi ada yang sampai 12 bulan. Yang menjadi pertanyaan dari peserta
FGD untuk apa biaya itu digunakan dan tidak ada info kalau biaya perekrutan
akan dikembalikan kepada pemberi kerja meskipun baru dikembalikan 3-4 tahun
lagi.
Meskipun
nantinya biaya perekrutan tersebut dibayarkan kembali kepada pekerja migran
setelah bekerja selama 3 sampai 4 tahun, namun informasi ini tidak disampaikan
di awal kepada pekerjanya. sehingga, ada pekerja migran Indonesia yang sudah
bekerja selama 1 tahun karena tidak betah dengan tempat bekerja memutuskan
untuk keluar dan tidak mendapatkan penggantian biaya perekrutan oleh
perusahaan. Penuturan dari salah satu
Tim Peneliti JBM terjadi selisih yang cukup besar dalam hal biaya perekrutan
antara yang dibayarkan oleh pekerja migran Indonesia dengan yang diterima
kembali oleh pekerja migran.
Pekerja
migran Indonesia yang lain juga menyampaikan kurangnya informasi tentang
pekerja dengan kata lain kurangnya transparansi mengenai perekrutan, kurangnya
sosialisasi dari pihak Atase Ketenagakerjaan, transportasi yang tidak layak.
Oleh karena itu pekerja migran Indonesia di negeri jiran berharap adanya
pembekalan mengenai informasi atau edukasi pekerja migran yang lebih
transparan, transportasi yang lebih layak, jaminan sosial yang berkelanjutan
dengan kata lain perlindungan sebelum, selama dan setelah bekerja.
Di
akhir FGD, Sinthia Harkrisnowo, ILO
Jakarta menyampaikan pentingnya untuk mengetahui regulasi agar mengetahui apa saja hak-hak didapat oleh
pekerja Migran Indonesia demi
mendapatkan perlindungan yang lebih baik.
Antusias
oleh peserta FGD sangat terlihat meskipun waktu telah menunjukkan pukul 23.00
waktu Malaysia. Mengingat waktu yang sudah cukup malam, dan keesokan harinya
perempuan pekerja migran Indonesia harus bekerja, maka FGD ditutup pada pukul
23.15 setelah melakukan foto bersama. (Veral dan Savitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar