Laman

Translate

Rilis Hari Buruh Migran Internasional 2021

Hari Peringatan Buruh Migran Internasional 2021: Presiden, harus Turun Tangan Melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI)!

Peringatan Hari Buruh Migran Internasional yang diperingati setiap 18 Desember menjadi alarm pengingat bahwa masih terdapat berbagai permasalahan yang perlu dibenahi guna mewujudkan perlindungan kepada PMI. Data yang dihimpun oleh BP2MI menunjukkan bahwa angka penempatan PMI selama lima tahun terakhir mencapai lebih dari 200.000 PMI bermigrasi kerja setiap tahunnya dan belum termasuk kepada PMI unprosedural.

Tingginya angka penempatan mengakibatkan urgensi akan perlindungan kepada PMI semakin meningkat karena masifnya kasus yang terjadi kepada PMI. Pada 15 Desember 2021 lalu, kapal yang memuat 50 CPMI unprosedural karam di perairan Johor, Malaysia. 11 di antara Calon PMI tersebut ditemukan telah meninggal dunia 14 selamat, dan 25 orang belum diketahui keberadaannya. Dari 14 orang yang selamat, polisi menduga salah satu di antaranya sebagai pelaku tindak perdagangan orang (tekong). Dari 14 orang yang selamat, polisi menduga salah satu di antaranya sebagai pelaku tindak perdagangan orang (tekong). Data pengaduan kasus SBMI, dalam 10 tahun terakhir (2010-2020), terdapat 3.099 pengaduan kasus dengan tahun 2020 sebagai tahun dengan jumlah pengaduan kasus tertinggi, yaitu sebanyak 643 pengaduan kasus. Dalam Catahu Komnas Perempuan 2021 juga menunjukkan terjadinya kenaikan kasus dalam perdagangan orang menjadi 255 kasus, dan kasus pada perempuan pekerja migran Indonesia sebanyak 157 kasus. Urgensi akan perlindungan ini kemudian diwujudkan dengan pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dengan semangat untuk mewujudkan perlindungan kepada PMI. Namun, UU PPMI dalam implementasinya turut mengalami berbagai kendala. Kendala utama yang menghambat ialah keterlambatan pembentukan peraturan pelaksana/ aturan turunan UU PPMI. Hingga saat ini, masih terdapat 3 aturan yang belum disahkan, di antaranya; 1) Pepres Atase Ketenagakerjaan, 2) RPP ABK, 3) Perka Badan mengenai persyaratan sebelum bekerja, dan 1 peraturan khusus, yakni Permen yang mengatur mekanisme LTSA. 

Savitri  Wisnu, SekNas JBM mengatakan bahwa permasalahan yang dialami PMI lebih banyak bermuara dari hulu. UU PPMI telah memberikan pedoman perlindungan bagi PMI, sayangnya belum semua aturan turunan disahkan dan implementasinya minim pengawasan. Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), yang sudah dibangun di 45 wilayah di tingkat daerah masih belum semua berjalan sesuai fungsinya sehingga CPMI masih menggunakan calo/sponsor yang berujung pada praktek unprosedural yang membahayakan nyawa mereka. Kasus CPMI yang meninggal di perairan laut ini bukanlah kasus baru. Kasus ini akan terus bertambah bila implementasi UU PPMI tidak dijalankan secara paripurna oleh pemerintah pusat hingga desa. Terlebih di masa pandemi covid 19, kerentanan PMI khususnya perempuan PMI berlapis. Perlu ada peta jalan perlindungan PMI sesuai dengan mandat UU PPMI dan dilaksanakan oleh para penyedia layanan perlindungan PMI.   

Bobi Alwi, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menegaskan mengenai urgensi RPP ABK yang hingga saat ini belum juga disahkan. Berdasarkan pasal 64 dan 90 Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), dalam tempo dua tahun sejak penerbitannya, pemerintah harus menerbitkan aturan turunan tentang pelaksanaan pelindungan Pelaut Awak Kapal. Namun mandat tersebut hingga saat ini, sudah lebih dari 4 tahun, masih belum terlaksana. Sementara, kasus perbudakan yang menimpa Anak Buah Kapal (ABK)  terus mencuat. Data terakhir yang dihimpun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, ada 45 ABK yang meninggal di laut lepas. Mereka yang bekerja di kapal ikan asing jarak jauh kerap kali mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Kekerasan fisik dan mental, upah tak dibayar, kondisi tempat tinggal dan makanan yang tak layak. Situasi itu membuat banyak ABK jatuh sakit hingga meninggal di atas kapal. Beberapa dari mereka bahkan terpaksa di larung ke laut dengan alasan membahayakan awak kapal lainnya. Para ABK terjerat perbudakan dengan banyak iming-iming dan janji manis dari para penyalur. Bukannya untung, mereka malah buntung. Dalam laporan investigasi dengan judul Kerja Paksa di Laut: Kasus Nelayan Migran Indonesia (Seabound 2.0) yang diluncurkan Greenpeace Southeast Asia (GPSEA) dan SBMI Mei 2021 lalu, memaparkan bagaimana indikator kerja paksa telah meningkat. Indikator kerja paksa teratas termasuk pemotongan upah, kondisi kerja dan kehidupan yang kasar, penipuan, dan penyalahgunaan kerentanan. Dalam report tersebut juga disebutkan sebanyak 20 manning agency yang terlibat dalam praktek ilegal perbudakan terhadap ABK indonesia dan sebagian besar beroperasi di wilayah Pantura, Jawa Tengah. Untuk itu, perlu ada tindakan tegas untuk menyelamatkan ABK dari perbudakan di tengah laut. Salah satunya dengan memastikan penerbitan Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan perlindungan bagi ABK Perikanan Indonesia di luar negeri.

Daniel Awigra, Human Rights Working Group (HRWG) turut menjelaskan bahwa persoalan utama jaminan perlindungan pekerja migran di luar negeri terkait erat dengan fungsi dan peran atase ketenagakerjaan. Persoalan wewenang, kompetensi dan jumlah atase, khususnya di beberapa negara tujuan migrasi menjadi isu krusial. Sementara, beroperasinya peran atase ketenagakerjaan di luar negeri tentu akan berkaitan erat dengan wewenang Kementerian Luar Negeri dan Duta Besar dalam mengatur kinerja seluruh perwakilan. Kegagalan mengatasi problem kewenanagan ini akan berimplikasi terhadap aspek perlindungan pekerja migran. Presiden harus turun tangan untuk mengatasi problem kewenangan antara mandat UU 18/ 2017 dengan Kepres 108 tentang Organisasi Perwakilan RI. Tanpa adanya kejelasan wewenang, fungsi dan peran Atase Ketenagakerjaan dari hasil mandate UU PPMI yang baru, akan sulit mengubah paradigma penempatan, yang wajib diganti dengan paradigma perlindungan.  Karena sudah melewati tenggat waktu UU PPMI, yang mampu menyelesaikan problem kelembagaan terkait kepentingan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan. Membuat posisi atase ketenagakerjaan menjadi professional, termasuk memiliki perspektif perlindungan HAM yang kuat. Merit-based system harus dijalankan dengan mengedepankan pelayanan publik yang memiliki kompetensi, kualitas, baik dalam penguasaan masalah, bahasa setempat, penguasaan sistem hukum, dan kepemimpinan dan kemampuan melakukan fungsi perlindungan. Lelang jabatan adalah solusinya.

Yatini Sulistyowati, KSBSI menyampaikan bahwa tenggelamnya kapal penggangkut Calon PMI di Tanjung Balau, Johar Bahru,Malaysia menambah deretan panjang permasalahan penempatan PMI yang unprosedural, lagi dan lagi peristiwa yang sama terus terulang karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku. Perketat pengawasan dari hulu ke hilir dengan melibatkan peran  masyarakat dalam pengawasan dan tindak tegas pelaku perdagangan orang.

Moch Cholily, Migrant Aid Indonesia mengatakan bahwa Pejabat yang abai melaksanakan kewajiban pelindungan, patut kita kecam karena pengabaiannya telah mengakibatkan PMI terus menjadi korban hingga sekarang. Dan dia bukan hanya berdosa pada Tuhan, tapi juga berdosa pada makhluk (warga negara) yang sungguh sangat dihormati oleh Tuhan, yaitu umat manusia tanpa terkecuali yang menjadi pekerja migran.

Dalam rangka memperingati Hari Baruh Migran Internasional pada 18 Desember 2021, maka Jaringan Buruh Migran yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran menyatakan bahwa Pemerintah harus:

  1. Segera mengesahkan 4 aturan turunan, di antaranya; 1) Pepres Atase Ketenagakerjaan, 2) RPP ABK, 3) Perka Badan mengenai persyaratan sebelum bekerja, 4) Permen LTSA  karena telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh UU; 
  2. Membentuk mekanisme pengawasan dari tingkat desa, kab/kota, provinsi, pusat dan di negara tujuan;
  3. Membentuk sistem informasi terpadu yang terintegrasi dari tingkat desa hingga tingkat Pemerintah Pusat;
  4. Memberikan akses partisipasi organisasi buruh migran dan organisasi yang peduli pada isu migran dalam dalam setiap pembuatan kebijakan dan implementasi layanan baik di tingkat desa, daerah dan tingkat nasional;
Jakarta, 18 Desember 2021

Jaringan Buruh Migran
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right

Narahubung :
Savitri Wisnuwardhani: 0821-24714978
Bobi Alwy: 0852-8300-6797
Yatini Sulistyowati: 0853-1230-3209
Moch Cholily: 0813-3633-6009
Daniel Awigra: 0817-6921-757

Ucapan : International Migrant Day 2021


 

Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 23,24 November 2021 - Jaringan Buruh Migran

Rabu, 24 November 2021 – Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa telah menyelesaikan pelatihan Training for Trainers (ToT) yang diselenggarakan selama 4 hari, yakni pada: 18-19 November 2021 dan 23-24 November 2021. Pada pelatihan hari ke -3,  Selasa, 23 November 2021, peserta diajak untuk berdiskusi dan bertukar pikiran bersama dalam melakukan advokasi  cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan agar lebih berperspektif HAM dan Gender. Pemaparan mengenai materi advokasi kebijakan dibawakan oleh Adzkar Ahsinin dari Elsam. Dalam pemaparannya, advokasi kebijakan memiliki tahapan-tahapan yang perlu untuk dilakukan guna mendorong kebijakan yang bersifat perlindungan. Salah satu metode yang dipaparkan dengan menggunakan metode analisis SWOT untuk memetakan dan memperkuat advokasi kebijakan. 

Pada hari terakhir pelatihan, pelatihan dibuka dengan kata sambutan oleh Anto Sudaryanto dari Yayasan Tifa. Di sesi terakhir ini, peserta diingatkan kembali mengenai apa saja yang harus dipersiapkan ketika menjadi fasilitator tentunya dengan metode Pendidikan Orang Desa (PDO). Penasaran dengan apa itu  PDO dan metode lainnya? Silahkan unduh dan mengujungi laman web blog kami di  www.jaringanburuhmigran.org






Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 18 November 2021 - Jaringan Buruh Migran

Kamis, 18 November 2021 – Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa telah menyelenggarakan pelatihan ToT hari kedua. Pelatihan tersebut masih dilangsungkan melalui Zoom Meetings dan berjalan dari pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB dengan cukup baik, aktif dan lancar. Pelatihan dibuka dengan memberikan ilustrasi video mengenai hak-hak PMI dan anggota keluarganya.

Pelatihan hari kedua ini diisi dengan membahas mengenai hak-hak PMI dan anggota keluarganya. Materi pertama dibawakan oleh Maizidah Salas dari DPN SBMI. Dalam sesi pertama, peserta diajak untuk mengindentifikasi apa saja yang termasuk ke dalam hak-hak PMI dan merefleksikan pengalaman-pengalaman dalam mengadvokasi kasus berdasarkan atas hak PMI apa saja yang seharusnya didapatkan tetapi malah kadang tidak didapatkan dan bahkan tidak diketahui oleh PMI. Setelah materi pertama mengenai hak-hak PMI dan anggota keluarganya selesai, di sesi kedua membahas materi mengenai hukum dan kebijakan yang mengatur mengenai PMI. Materi ini disampaikan oleh Jeanny Sirait dari LBH Jakarta. Di sesi kedua ini, peserta diajak untuk mengidentifikasi aturan-aturan yang berlaku, baik di nasional maupun internasional dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.


Peserta juga belajar bersama dalam menganalisis dan menginvetarisir permasalahan dari terbitnya suatu peraturan melalui sesi legal drafting, Emma Mukaromah dari Sekretariat KPP-RI memberikan kata kunci penting dalam proses membuat legal drafting. Penasaran dengan yang disebutkan oleh kakak Emma?

Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 17 November 2021 - Jaringan Buruh Migran

Rabu, 17 November 2021 – Hingga saat ini implementasi UU PPMI belum begitu terlihat pengimplementasiannya di akar rumput dan berakibat pada minimnya perlindungan kepada PMI. Kondisi perlindungan penempatan PMI juga masih terlihat sama saat UU PPTKILN dilaksanakan. Oleh karena hal tersebut, Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa telah menyelenggarakan pelatihan Training for Trainers (ToT) secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Pelatihan ini dilaksanakan selama empat hari yakni pada tanggal 17-18 November 2021 dan pada tanggal 23-24 November 2021. Tujuan dilakukan pelatihan ini untuk memberikan  tambahan pembekalan perspektif, baik itu HAM dan responsive gender kepada calon pelatih yang akan melatih para CPMI, PMI, Purna PMI, keluarga PMI dan bahkan komunitas yang fokus menyuarakan mengenai isu migrasi, agar dapat memberikan pemahaman serta mampu dalam mengadvokasi hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan.  Selain itu, tujuan pelatihan ini di antaranya untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas advokasi kebijakan dan legal drafting dalam upaya pemenuhan hak-hak PMI melalui kebijakan baik di tingkat nasional hingga di tingkat desa.

Pelatihan daring ini dihadiri oleh sekitar 25 orang peserta yang berasal dari komunitas-komunitas di daerah kantong PMI dan berjalan dengan baik, walaupun terdapat sedikit hambatan yang berkaitan dengan jaringan atau sinyal serta kapasitas gadget peserta yang berbeda-beda. Pelatihan dibuka oleh Savitri Wisnuwardhani selaku SekNas JBM. Savitri membuka dengan mengucapkan terima kasih kepada para peserta, pemateri, fasilitator, dan co-fasilitator yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk pelatihan ini. Pelatihan ToT ini semoga dapat memperkaya teman-teman peserta pelatihan yang ke depannya diharapkan dapat siap ketika menjadi trainers. 

Sesi pertama dari pelatihan ini membahas dan mengingatkan kembali pemahaman peserta diskusi mengenai  Hak Asasi Manusia (HAM) yang difasilitatori oleh Daniel Awigra (HRWG) dan materi kedua membahas mengenai pengantar pengenalan gender yang difasilitatori oleh Yuni Asriyanti. Dalam pemaparan singkatnya, Daniel dan Yuni masing-masing dapat mengajak peserta untuk menelusuri, memahami dan berdiskusi mengenai peran penting HAM dan Gender dalam migrasi. Salah satu hal yang menarik adalah ketika peserta berdiskusi bersama mengenai gender dan gender sebagai kontruksi sosial dengan dipandu menggunakan permainan interaktif.  Banyak respon yang tidak terduga dari  para peserta diskusi. Di akhir sesi pelatihan, Iradah Haris dari Migrant Aid Indonesia, turut memberikan kesan bahwa pelatihan dan diskusi yang diberikan sangat baik dan berbobot baik secara pemahaman akan HAM dan responsif gender. 

HUT ke-76 Kemerdekaan RI: Merdekakan PMI dari Kebingungan terkait Implementasi Kebijakan Pembebasan Biaya Penempatan!

 

RILIS PERS

HUT ke-76 Kemerdekaan RI: Merdekakan PMI dari Kebingungan terkait Implementasi Kebijakan Pembebasan Biaya Penempatan!

    Pembebanan biaya penempatan yang melebihi struktur biaya atau overcharging merupakan salah satu kasus yang sering dialami oleh pekerja migran Indonesia (PMI). Dalam praktiknya, P3MI maupun calo dapat membebankan biaya yang menyebabkan PMI terlilit utang. Lilitan utang tersebut pada akhirnya menjadi dalih untuk memotong upah bulanan yang akan diterima oleh PMI ketika bekerja. Data BP2MI mencatat bahwa dalam 4 tahun terakhir sejak disahkannya UU PPMI (2017 – 2020), terdapat 418 pengaduan kasus terkait overcharging.[1] Meskipun begitu, angka tersebut diyakini sebagai fenomena gunung es. Artinya, angka kasus overcharging sesungguhnya melampaui dari jumlah yang diadukan kepada BP2MI.  

    Untuk melindungi kelompok rentan, UU PPMI memandatkan pembebasan biaya penempatan bagi PMI. Mandat tersebut tertuang dalam Pasal 30 yang berbunyi “Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.” Ketentuan lebih lanjut kemudian diatur melalui Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI. Peraturan pelaksana tersebut membebaskan 10 jenis jabatan PMI dari biaya penempatan, yakni: (1) pengurus rumah tangga; (2) pengasuh bayi; (3) pengasuh lansia; (4) juru masak; (5) supir keluarga; (6) perawat taman; (7) pengasuh anak; (8) petugas kebersihan; (9) pekerja ladang/perkebunan; dan (10) awak kapal perikanan migran. Pembebanan biaya penempatan dialihkan kepada pemberi kerja dan pemerintah daerah.

    Pada 30 Juli 2021, BP2MI mengeluarkan Keputusan Kepala BP2MI No. 214 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI. Diktum kedelapan keputusan tersebut menyatakan bahwa pembiayaan penempatan bagi 10 jenis jabatan PMI difasilitasi melalui Pinjaman Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan/atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BUMN dan/atau Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sedangkan dalam diktum kedua belas, dalam hal pembiayaan penempatan yang menjadi kewajiban pemberi kerja telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PMI, maka pemberi kerja wajib mengganti biaya yang sudah dikeluarkan melalui mekanisme reimbursement.

    Kamis lalu, 12 Agustus 2021, BP2MI secara resmi meluncurkan program pembebasan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA di Wisma Bank Negara Indonesia (BNI).[2] Logika pembebasan biaya penempatan melalui utang ini yang kemudian dipertanyakan oleh komunitas PMI dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang telah cukup lama menanti implementasi kebijakan pembebasan biaya penempatan agar PMI dapat terlepas dari jeratan overcharging.    

    Boby Anwar Maarif, SekJen SBMI menyangsikan logika peluncuran pembebasan biaya penempatan PMI yang dilakukan oleh BP2MI melalui KUR dan KTA. Beliau menegaskan bahwa hal tersebut sangat kontroversial. Logika orang awam, jika utang, maka harus dibayar. Jika PMI harus membayar, maka tidak ada yang namanya pembebasan biaya penempatan. Apa bedanya penempatan dahulu dengan yang sekarang? Bukankah UU PPMI Pasal 30 sudah mengatur bahwa PMI tidak dapat dibebani biaya penempatan? Bukankah UU PPMI Pasal 72 telah mengatur adanya larangan pembebanan biaya yang sudah ditanggung pemberi kerja? Lalu bagaimana jika terdapat fakta bahwa PMI dibebani biaya yang sudah ditanggung oleh pemberi kerja? Penting agar segenap masyarakat untuk mengkritisi implementasi kebijakan pembebasan biaya penempatan yang baru saja diluncurkan.

    Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM menyayangkan adanya Kepka BP2MI No. 214 Tahun 2021 karena tidak sesuai dengan UU PPMI dan Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI (zero cost). Seharusnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengimplementasikan Pasal 30 UU PPMI. Misalnya dengan menerbitkan kebijakan untuk mendorong pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan bagi CPMI melalui APBD, karena komponen pendidikan dan pelatihan adalah komponen paling tinggi dalam biaya penempatan PMI. Hingga sekarang, hanya segelintir pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan agar dapat diakses oleh CPMI secara gratis. Alih-alih membuat kebijakan yang dapat mengimplementasikan zero cost, pemerintah pusat justru menggunakan KUR untuk pengimplementasian pembebasan biaya penempatan yang mana kebijakan tersebut pernah dilakukan pada masa UU No. 39 Tahun 2004 dan tidak menjadi solusi bagi maraknya praktik overcharging yang dialami PMI.

    Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI bahwa PMI telah cukup lama merasakan kepahitan kebijakan migrasi tenaga kerja. Arus migrasi PMI memiliki sejarah yang panjang bahkan dari sebelum Indonesia merdeka. Hingga UU PPMI telah disahkan, PMI masih belum benar-benar merdeka dari praktik eksploitasi dan implementasi kebijakan yang berantakan. Meskipun mengharuskan pemberi kerja untuk melaukan reimbursement, pelibatan utang kepada PMI melalui skema KUR dan KTA merupakan “jalan keluar” yang kontroversial bagi pengimplementasian pembebasan biaya penempatan. Momentum HUT ke-76 Kemerdekaan RI adalah saatnya bagi pemerintah untuk peduli nasib PMI.

    Daniel Awigra, Deputi Direktur HRWG menegaskan bahwa bukan hanya sebagai mandat dari UU PPMI, pembebasan biaya penempatan merupakan salah satu agenda utama advokasi PMI di tingkat komunitas internasional. Praktik overcharging selama ini terus terjadi, PMI terlilit utang bahkan dimulai sejak sebelum mereka bekerja. Agenda wajib tersebut masuk ke dalam setiap kerja sama PMI, baik bilateral maupun multilateral. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat tunduk terhadap mandat UU PPMI dan mengikuti agenda wajib komunitas internasional dalam hal terkait.

    Jeanny Sirait, Pengacara Publik LBH Jakarta menyatakan pembebanan biaya penempatan PMI yang dilakukan oleh BP2MI melalui KUR dan KTA merupakan bentuk dari pengabaian yang dilakukan negara terhadap pahlawan devisa. Dalam skema pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, pemerintah wajib menjamin keterjangkauan akses lapangan pekerjaan. Pembebanan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA justru menimbulkan masalah baru bagi PMI dan membatasi akses lapangan pekerjaan itu sendiri dengan membuat PMI harus terlilit utang di awal. Karenanya, implementasi yang buruk dari UU PPMI dan Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI (zero cost) nyata-nyata telah menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi PMI.  

Momentum HUT Kemerdekaan RI yang diperingati setiap tahunnya pada 17 Agustus menjadi momentum kebangsaan yang penting untuk merefleksikan kembali fondasi Indonesia sebagai bangsa dan negara terutama peran PMI dalam pembangunan Indonesia.  Dalam rangka memperingati HUT ke-76 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2021, Jaringan Buruh Migran (JBM) yang merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan organisasi yang peduli terhadap isu PMI mendorong:

  1. Pemerintah Pusat menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi PMI dengan membebankan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA;
  2. Pemerintah Pusat dan Daerah segera menganggarkan biaya pelatihan untuk calon PMI, sebagaimana dimandatkan oleh UU PPMI Pasal 39, 40, dan 41;
  3. BP2MI untuk mengkaji kembali Kepka BP2MI No. 241 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI;
  4. Pemerintah Pusat dan Daerah agar melibatkan PMI, organisasi PMI, dan organisasi masyarakat sipil yang peduli mengenai isu PMI dalam pembahasan aturan turunan UU PPMI mengenai pembebasan biaya penempatan PMI;
  5. Pemerintah Pusat dan Daerah melakukan pengawasan dan penindakan yang tegas kepada para pihak yang masih melakukan pembebanan biaya penempatan bagi PMI; dan
  6. Pemerintah Pusat membuka ruang diskusi secara rutin dengan Pemerintah Daerah yang merupakan kantong PMI baik agar mengalokasikan anggaran daerah untuk revitalisasi Balai Latihan Kerja yang ada di tingkat daerah agar CPMI mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pemda.

 Jakarta, 17 Agustus 2021

Jaringan Buruh Migran

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right

 

Narahubung:

  • Savitri Wisnuwardhani         : 0821-2471-4978
  • Boby Anwar Maarif              : 0852-8300-6797



[1] “Statistik Pelindungan dan Penempatan,” BP2MI. https://bp2mi.go.id/statistik-penempatan

[2] “Luncurkan Program Biaya Penempatan PMI melalui KUR dan KTA dari BNI, Kepala BP2MI: Selamat Tinggal Pesta Pora Para Rentenir,” BP2MI, 13 Agustus, 2021. https://bp2mi.go.id/berita-detail/luncurkan-pembebasan-biaya-penempatan-pmi-melalui-kur-dan-kta-dari-bni-kepala-bp2mi-selamat-tinggal-pesta-pora-para-rentenir

Peran dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan

 Ulasan Diskusi Isu Krusial

Peran dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan

Jaringan Buruh Migran (JBM) merupakan Koalisi 28 organisasi dari berbagai organisasi buruh dalam dan luar negeri serta organisasi pemerhati buruh migran. JBM lahir karena keprihatinan akan masih rendahnya perlindungan bagi buruh migran dari segi kebijakan. Dalam sejarahnya, JBM yang dulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Pada Jumat, 02 Juli 2021, pukul 14.00 WIB, JBM yang terdiri dari  SBMI, KSBSI, Migran Aid dan HRWG dan difasilitasi oleh Sekret JBM melaksanakan diskusi bersama membahas perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan PerPres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan. Diskusi ini dilakukan guna menginventarisasi kategori isu krusial dan permasalahannya, serta mencari rekomendasi. Seperti yang kita ketahui bersama, PerPres Atase Ketenagakerjaan merupakan salah satu amanah dari pasal 22 ayat (4) UU PPMI yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, Padahal sudah 3 tahun lebih UU PPMI disahkan.  Hal tersebut telah melampaui amanat yang terkandung dalam UU PPMI bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU PPMI.

Dalam diskusi ini, Awigra dari HRWG menjabarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh HRWG di 3 negara, yaitu Hongkong, Malaysia, dan Singapura pada tahun 2017 – 2018. Penelitian ini, meneliti tugas perlindungan pelayanan di negara penempatan. Atase Ketenagakerjaan, pada tahun 2017-2018 masih berpersperktif good government, belum kepada rights-based. Namun, penelitian ini masih relevan hingga saat ini karena belum ada PerPres baru. Atase Ketenagakerjaan di SOP-nya masih peraturan lama, sehingga lebih mengedepankan good government.

Terdapat 3 permasalahan bila membahas Atase Ketenagakerjaan. Pertama, tentang struktural kemudian soal tata kelola yang mengatur upah buruh murah (mempekerjakan pekerja murah). Kedua di dokumen. Ketiga problem nyata yaitu masih good government. Good Government yang dimaksud yaitu; terdapat layanan, kontak center, alamat pengaduan. Namun, begitu ada masalah  tidak diangkat  lagi.  Permasalahan-permasalahan terjadi tidak kenal hari kerja, jam kerja, bahkan hari libur. Pekerja migran  tidak bisa akses fasilitas pelayanan karena Atase Ketenagakerjaan tidak punya sensitifitas terhadap korban. Hal ini menjadi satu temuan yang nantinya dapat direkomendasikan bahwa perwakilan harus punya respons terhadap persoalan, bahkan bila perlu dapat mendorong untuk mempekerjakan pekerja migran yang punya pengalaman.

Moh. Kholili dari Migran Aid menambahkan bahwa perlu di-review soal isu strategis yang dibuat oleh masing-masing KBRI khususnya Atase Ketenagakerjaan itu perlindungan PMI atau bukan. Isu perlindungan PMI masih jauh sekali dari isu strategis di masing-masing kedutaan konsuler dan sebagainya, sehingga Atase Ketenagakerjaan hanya menjadi bagian kecil. Selain itu, perlu ada satu data, kalau bahasa sekarang itu di banyak kabupaten kota itu butuh ada satu link yang nyambung antara kabupaten kota asal PMI kemudian BP2MI sama Atase Ketenagakerjaan, sehingga ketika ada masalah yang di kabupaten kota atau asal itu bisa bunyi di BP2MI, bisa bunyi juga di Atase Ketenagakerjaan. Penting juga menempatkan orang di Atase Ketenagakerjaan yaitu yang memiliki kepekaan mau melayani dan sebagainya kepada PMI beserta keluarganya.

Selain itu, Moh. Kholili menjabarkan bahwa terdapat banyak kasus yang telah ditangani, namun Atase Ketenagakerjaan tidak memiliki kepekaan kepada korban maupun keluarga. Beberapa waktu yang lalu, terdapat kasus kematian keluarga yang sedari awal sudah dikirimi surat kepada dinas sampai ke KBRI, tetapi pada saat pemulangan, jenazahnya diserahkan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Pentingnya orang yang tepat karena ada kasus di beberapa negara, petugas yang ada di tempat pelayanan dulunya bekerja sebagai PMI sehingga dapat menjadi bagian dari pemangku kewajiban yang bertugas disitu.

Yatini Sulistyowati (KSBSI) juga menjelaskan bahwa mandat mengenai Atase Ketenagakerjaan di dalam UU PPMI sudah cukup komprehensif. Tugas Atase Ketenagakerjaan selain diplomasi, terdapat validasi mitra kerja di mana harus mendaftar atau membuat daftar mitra kerja dan mengumumkannya secara regular. Selain itu, terdapat banyak kasus yang ditangani oleh Konsuler dibandingkan oleh Atase Ketenagakerjaan. Selain itu, beginning posisi Atase Ketenagakerjaan dinilai sangat kurang, karena mereka belum dikategorikan diplomat, sehingga masih menggunakan paspor biasa bukan paspor diplomat. Hal ini mengakibatkan Atase Ketenagakerjaan tidak dapat dikategorikan diplomat untuk melakukan diplomasi terhadap negara tujuan. Faktanya juga ada Atase Ketenagakerjaan yang memang tidak menguasai kondisi di negara penempatan. Mungkin ke depan yang perlu digaris bawahi adalah penempatan Atase Ketenagakerjaan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki potensi melakukan diplomasi serta menguasai isu-isu di negara tujuan.

Jundi dari Sekretariat Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap ke depannya dapat kembali menyelenggarakan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak masukan agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan dapat membantu serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan demi tercapainya perlindungan kepada PMI.

FGD DARING PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN

Jumat, 2 Juli 2021, DISKUSI PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN – Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa baru saja menyelenggarakan diskusi terkait perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan.

Sebagaimana diketahui, Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan merupakan satu dari tiga peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, padahal sudah tiga tahun lebih UU PPMI disahkan, melampaui amanat yang terkandung dalam UU tersebut, bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU PPMI.

Diskusi yang berlangsung pada pukul 14.15 – 15.45 WIB melalui zoom meeting ini dihadiri oleh enam partisipan, yakni Daniel Awigra (HRWG), Yatini Sulityawati (KSBSI), Bobi Anwar Maarif (DPN SBMI), Moch. Kholili (Migrant Aid Jember), Sayyid M. Jundullah (Sekretariat JBM), dan Nur Alia Rosi (Sekretariat JBM). Diskusi berlangsung dengan baik tanpa hambatan yang signifikan, terlebih partisipan antusias dan aktif memberikan pendapat dan masukan hingga kegiatan berakhir.

Daniel Awigra mengawali dengan menyatakan bahwa selama ini kebijakan masih terlalu berfokus terhadap good governance, namun seringkali masih belum dapat mengaplikasikan rights-based approach. Padahal, dalam upaya pelindungan PMI, pendekatan HAM sangat diperlukan. Beliau lebih lanjut menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga garis besar permasalahan: (a) permasalahan kelembagaan; (b) permasalahan struktural (termasuk mentalitas pejabat); dan (c) permasalahan regularisasi migrasi kerja, karena memang pada hakikatnya tugas pokok dari Atase Ketenagakerjaan adalah melakukan diplomasi berbasis HAM dalam menanggulangi irregularitas.

Yatini, di sisi lain, menyampaikan beberapa temuan menarik yang langsung beliau temui di lapangan, berdasarkan pengalaman mengunjungi Perwakilan RI di luar negeri, salah satunya KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Yatini menekankan bahwa selain diplomasi, Atase Ketenagakerjaan memiliki tugas lain sesuai amanat UU PPMI, seperti validasi mitra usaha hingga pemberi kerja yang harus diumumkan secara reguler. Meskipun permasalahan PMI akan lebih aktif ditangani oleh Atase Ketenagakerjaan, hingga saat ini, peran kekonsuleran masih sangat dominan. Atase Ketenagakerjaan belum memiliki semacam bargaining position yang cukup mumpuni dan terkesan masih terdiskriminasi, dengan konteks bahwa Atase Ketenagakerjaan adalah perwakilan Kemnaker RI di luar negeri, namun mereka berposisi di dalam struktur Perwakilan RI di luar negeri yang dibawahi oleh Kemlu RI. Apalagi Atase tidak memiliki paspor diplomatic.

Moch. Kholili mengatakan bahwa pada dasarnya, perlu terdapat reviu strategis tentang apakah pelindungan PMI sebenarnya bagian dari prioritas Perwakilan RI. Mereka kebanyakan masih jauh dari isu strategis tersebut, sehingga hanya menjadi bagian kecil dari Perwakilan RI. Terlebih, Daniel Awigra menimpali bahwa memang setiap Perwakilan RI biasanya dipengaruhi oleh siapa duta besarnya, karena sebagian duta besar ada yang lebih besar berfokus di isu ekonomi, politik, atau bahkan sosial budaya. Kemudian, penting nantinya menempatkan orang yang kompeten, memiliki kepemimpinan dan latar belakang yang mumpuni untuk dapat menjadi Atase. Moch. Kholili menimpali bahwa selama ini, dalam pelatihan dan pendidikan Calon Atase Ketenagakerjaan, isu yang menjadi perhatian masih bersifat umum, belum menyentuh spesifisitas PMI, sehingga nantinya juga perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi Atase yang mendalami spesifisitas persoalan PMI.

Moch. Kholili kemudian menambahkan bahwa, lagi-lagi soal integrasi data merupakan hal yang sangat krusial. Sangat baik apabila data yang ada di tingkat daerah bisa terintegrasi hingga ke Atase Ketenagakerjaan untuk memperkuat pelindungan PMI, artinya Pemerintah harus membuka akses yang luas kepada keluarga di Indonesia yang butuh pelayanan dari pihak-pihak yang berwenang.

Bobi Anwar Maarif berharap bahwa pengerjaan Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan ini bisa diinvervensi dengan baik oleh Presiden. Dalam mengintervesi rancangan perpres tersebut, Presiden harus mampu menunjukkan semangat yang luar biasa, sebagaimana semangat beliau ketika menerbitkan UU Ciptaker dan peraturan-peraturan pelaksananya.

Meskipun jumlah partisipan diskusi hari ini masih terbatas, kegiatan ini bukan merupakan satu-satunya kegiatan yang akan dilakukan oleh JBM dalam merumuskan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan. JBM berharap bahwa ke depannya dapat menyelenggarkan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak orang, sehingga dapat menjaring lebih banyak masukan agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan mampu membantu serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan, demi #PelindunganPMI. (SMJ)

Media briefing virtual : JBM bersama dengan Media CNN Indonesia

Jaringan Buruh Migran - jbm (JBM) bersama dengan Bobi Alwy dari Dpn Sbmi, Putri dari Solidaritas Perempuan dan Jesse A Halim dari Human Rights Working Group - HRWG Indonesia telah melakukan media briefing bersama dengan Media CNN Indonesia. Kegiatan ini disambut baik oleh rekan-rekan dari media CNN ( Taufik Budi Wijaya, Eref Siregar, Wisnu Mursabdo, Nugi, Vetriciawizach, dll) dapat berjalan dengan lancar. Kegiatan berlangsung dengan diskusi aktif antar partisipasi sehingga menghasilkan masukan dan saran.

Dalam diskusi ini ditemukan bahwa kondisi pengimplementasian UU PPMI masih belum terlalu berubah dari UU Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Sistem yang dibangun oleh PPMI belum berjalan, contoh nyatanya yaitu masih terdapatnya sistem perekrutan. UU PPMI dapat berjalan bila aturan turunan sudah jalan, dan sistem sudah terpadu dengan baik. JBM juga menjabarkan hasil penelitian mengenai LTSA, di mana masih banyak praktik calo dan masih banyak pekerja migran yang tidak mengetahui apa itu LTSA. Untuk itu, penyebaran informasi mengenai LTSA ini menjadi penting dilakukan di keseluruhan tahapan migrasi hingga di tingkat desa. Media dapat berperan aktif dan berkontribusi untuk penyebaran informasi mengenai kebijakan dan pelayanan di akar rumput yang hingga saat ini minim informasi mengenai migrasi aman.
Diharapkan dengan kegiatan roadshow bersama media, JBM, anggota JBM dan rekan-rekan media dapat saling berdiskusi mengenai update kondisi dan kebutuhan media dalam menyebarkan informasi mengenai pengawalan kebijakan aturan turunan UU PPMI. JBM berharap, media-media lain dapat berdiskusi bersama dan mendorong Pemerintah untuk segera membentuk kebijakan yang memiliki perspektif perlindungan dan dapat mendorong peningkatan layanan ketenagakerjaan PMI yang telah ada. Di akhir acara, CNN mengatakan telah membuka ruang untuk PMI dan organisasi pemerhati buruh migran lainnya untuk dapat saling bertukar informasi sehingga isu migrasi dapat dinaikkan dan diperbanyak dalam kanal-kanal pemberitaan.

#rodshowmedia #mediavisitvirtual #diskusiaktif #perlindunganPMI #LTSA #perempuanPMI #UUPPMI #aturanturunan #aturanpelaksana #UU18tahun2017 #advokasikebijakan #PPMI #CNN #CNNIndonesia

Minimnya Sosialisasi Tentang Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA)



AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM KEMNAKER RI

Rabu, 5 Mei 2021, AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM KEMNAKER RI. Jaringan Buruh Migran (JBM) – Sebagai bagian dari advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI, JBM atas dukungan Yayasan Tifa minggu lalu melakukan audiensi dengan Biro Hukum Kemnaker RI dengan tujuan untuk menyerahkan dokumen perumusan isu krusial LTSA.  

Audiensi yang difasilitasi oleh SekNas JBM, Savitri Wisnuwardhani dilakukan secara daring melalui zoom meeting ini dihadiri oleh 12 partisipan yang terdiri dari perwakilan anggota JBM di Jakarta dan beberapa daerah lain, Sudaryanto selaku Program Officer Bidang Pengembangan dan Tata Kelola Ekonomi Yayasan Tifa, dan pihak Kemnaker RI yang diwakili oleh antara lain Agung Sugiri dan Dhatun dari Biro Hukum serta Sigit Ary Prasetyo selaku Kasi Evaluasi Kinerja Kelembagaan TKLN.  

Dokumen perumusan isu krusial LTSA merupakan produk konkret yang telah diselesaikan melalui serangkaian FGD di Jakarta dan beberapa daerah seperti Kupang, Banyumas, Indramayu, dan daerah lainnya oleh anggota-anggota JBM dalam mendukung advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI tentang penyelenggaraan LTSA. Dokumen yang berisi 13 isu krusial beserta penjabaran berbagai detil permasalahan dan rekomendasi bagi penyelenggaraan LTSA.

Savitri mempresentasikan dokumen yang berisi 13 kategori isu krusial tersebut, yaitu: a) kebijakan LTSA; b) kelembagaan dan instansi penyelenggara; c) pendirian LTSA; d) sosialisasi dan capacity building; e) prinsip, asas, dan kode etik pelayanan; f) mekanisme informasi; g) mekanisme pendataan dan sistem database; h) aksesibilitas; i) sarana dan prasarana; j) koordinasi; k) peninjauan dan pengawasan; l) pembiayaan; m) pengaduan penanganan kasus dan bantuan hukum; dan n) peran serta masyarakat. Tidak hanya merincikan permasalahan yang ada dalam setiap kategorisasi isu, Savitri turut menyampaikan rekomendasi JBM yang tertuang dalam dokumen tersebut. Savitri berharap bahwa dokumen ini nantinya dapat menjadi rujukan bagi Kemnaker RI dalam menyusun Rancangan Permenaker tentang LTSA dan dapat melibatkan JBM dalam pembahasannya.

Agung Sugiri selaku Kasubbag Penempatan Tenaga Kerja, Biro Hukum Kemnaker RI dan Sigit Ary Prasetyo selaku Kasi Evaluasi Kinerja Kelembagaan TKLN yang tampak antusias menyambut baik dan berterima kasih atas presentasi dokumen perumusan isu krusial LTSA yang dinilai mereka akan sangat membantu bagi penyusunan Permenaker tentang LTSA.

Agung sendiri mengatakan bahwa penyusunan Rancangan Permenaker tentang LTSA akan segera dilaksanakan, mengingat Permenaker tersebut merupakan amanat dari RPP No. 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Beliau tidak hanya berjanji akan melibatkan JBM dalam rangkaian pembahasan Rancangan Permenaker, namun juga akan melibatkan JBM dalam pembahasan rancangan aturan turunan UU PPMI lainnya seperti Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan hingga RPP Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal dan Pelaut Perikanan.

Selain audiensi secara daring, pada hari yang sama, JBM yang diwakili oleh Savitri juga secara seremonial melakukan penyerahan dokumen fisik perumusan isu krusial LTSA ke Kemnaker RI.   

Dokumen perumusan isu krusial LTSA ini hanyalah satu dari sekian keluaran kegiatan yang dihasilkan oleh JBM dalam rangkaian advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI. Keluaran lainnya yang akan segera diluncurkan oleh JBM adalah E-book Penelitian LTSA yang Berperspektif HAM dan Gender. JBM memiliki harapan besar bahwa LTSA ke depannya dapat dioptimalisasikan sehingga dapat memberikan layanan bagi CPMI/PMI dan keluarganya dengan mengedepankan perspektif HAM dan gender. 

Bagi yang tertarik untuk membaca dokumen perumusan isu krusial LTSA, dapat mengakses secara daring melalui tautan berikut: http://bit.ly/isukrusialLTSA_JBM


Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan