- Segera mengesahkan 4 aturan turunan, di antaranya; 1) Pepres Atase Ketenagakerjaan, 2) RPP ABK, 3) Perka Badan mengenai persyaratan sebelum bekerja, 4) Permen LTSA karena telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh UU;
- Membentuk mekanisme pengawasan dari tingkat desa, kab/kota, provinsi, pusat dan di negara tujuan;
- Membentuk sistem informasi terpadu yang terintegrasi dari tingkat desa hingga tingkat Pemerintah Pusat;
- Memberikan akses partisipasi organisasi buruh migran dan organisasi yang peduli pada isu migran dalam dalam setiap pembuatan kebijakan dan implementasi layanan baik di tingkat desa, daerah dan tingkat nasional;

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
Rilis Hari Buruh Migran Internasional 2021
Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 23,24 November 2021 - Jaringan Buruh Migran
Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 18 November 2021 - Jaringan Buruh Migran
Pelatihan hari kedua ini diisi dengan membahas mengenai hak-hak PMI dan anggota keluarganya. Materi pertama dibawakan oleh Maizidah Salas dari DPN SBMI. Dalam sesi pertama, peserta diajak untuk mengindentifikasi apa saja yang termasuk ke dalam hak-hak PMI dan merefleksikan pengalaman-pengalaman dalam mengadvokasi kasus berdasarkan atas hak PMI apa saja yang seharusnya didapatkan tetapi malah kadang tidak didapatkan dan bahkan tidak diketahui oleh PMI. Setelah materi pertama mengenai hak-hak PMI dan anggota keluarganya selesai, di sesi kedua membahas materi mengenai hukum dan kebijakan yang mengatur mengenai PMI. Materi ini disampaikan oleh Jeanny Sirait dari LBH Jakarta. Di sesi kedua ini, peserta diajak untuk mengidentifikasi aturan-aturan yang berlaku, baik di nasional maupun internasional dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.
Peserta juga belajar bersama dalam menganalisis dan menginvetarisir permasalahan dari terbitnya suatu peraturan melalui sesi legal drafting, Emma Mukaromah dari Sekretariat KPP-RI memberikan kata kunci penting dalam proses membuat legal drafting. Penasaran dengan yang disebutkan oleh kakak Emma?
Ulasan pelatihan Training for Trainers (ToT) 17 November 2021 - Jaringan Buruh Migran
Pelatihan daring ini dihadiri oleh sekitar 25 orang peserta yang berasal dari komunitas-komunitas di daerah kantong PMI dan berjalan dengan baik, walaupun terdapat sedikit hambatan yang berkaitan dengan jaringan atau sinyal serta kapasitas gadget peserta yang berbeda-beda. Pelatihan dibuka oleh Savitri Wisnuwardhani selaku SekNas JBM. Savitri membuka dengan mengucapkan terima kasih kepada para peserta, pemateri, fasilitator, dan co-fasilitator yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk pelatihan ini. Pelatihan ToT ini semoga dapat memperkaya teman-teman peserta pelatihan yang ke depannya diharapkan dapat siap ketika menjadi trainers.
Sesi pertama dari pelatihan ini membahas dan mengingatkan kembali pemahaman peserta diskusi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang difasilitatori oleh Daniel Awigra (HRWG) dan materi kedua membahas mengenai pengantar pengenalan gender yang difasilitatori oleh Yuni Asriyanti. Dalam pemaparan singkatnya, Daniel dan Yuni masing-masing dapat mengajak peserta untuk menelusuri, memahami dan berdiskusi mengenai peran penting HAM dan Gender dalam migrasi. Salah satu hal yang menarik adalah ketika peserta berdiskusi bersama mengenai gender dan gender sebagai kontruksi sosial dengan dipandu menggunakan permainan interaktif. Banyak respon yang tidak terduga dari para peserta diskusi. Di akhir sesi pelatihan, Iradah Haris dari Migrant Aid Indonesia, turut memberikan kesan bahwa pelatihan dan diskusi yang diberikan sangat baik dan berbobot baik secara pemahaman akan HAM dan responsif gender.HUT ke-76 Kemerdekaan RI: Merdekakan PMI dari Kebingungan terkait Implementasi Kebijakan Pembebasan Biaya Penempatan!
RILIS PERS
HUT ke-76 Kemerdekaan RI: Merdekakan PMI dari Kebingungan terkait Implementasi Kebijakan Pembebasan Biaya Penempatan!
Pembebanan biaya penempatan yang
melebihi struktur biaya atau overcharging merupakan salah satu kasus
yang sering dialami oleh pekerja migran Indonesia (PMI). Dalam praktiknya, P3MI
maupun calo dapat membebankan biaya yang menyebabkan PMI terlilit utang.
Lilitan utang tersebut pada akhirnya menjadi dalih untuk memotong upah bulanan
yang akan diterima oleh PMI ketika bekerja. Data BP2MI mencatat bahwa dalam 4
tahun terakhir sejak disahkannya UU PPMI (2017 – 2020), terdapat 418 pengaduan
kasus terkait overcharging.[1] Meskipun
begitu, angka tersebut diyakini sebagai fenomena gunung es. Artinya, angka
kasus overcharging sesungguhnya melampaui dari jumlah yang diadukan
kepada BP2MI.
Untuk
melindungi kelompok rentan, UU PPMI memandatkan pembebasan biaya penempatan
bagi PMI. Mandat tersebut tertuang dalam Pasal 30 yang berbunyi “Pekerja Migran
Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.” Ketentuan lebih lanjut
kemudian diatur melalui Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan
Biaya Penempatan PMI. Peraturan pelaksana tersebut membebaskan 10 jenis jabatan
PMI dari biaya penempatan, yakni: (1) pengurus rumah tangga; (2) pengasuh bayi;
(3) pengasuh lansia; (4) juru masak; (5) supir keluarga; (6) perawat taman; (7)
pengasuh anak; (8) petugas kebersihan; (9) pekerja ladang/perkebunan; dan (10)
awak kapal perikanan migran. Pembebanan biaya penempatan dialihkan kepada
pemberi kerja dan pemerintah daerah.
Pada 30 Juli 2021, BP2MI mengeluarkan Keputusan Kepala BP2MI No. 214 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI. Diktum kedelapan keputusan tersebut menyatakan bahwa pembiayaan penempatan bagi 10 jenis jabatan PMI difasilitasi melalui Pinjaman Kredit Tanpa Agunan (KTA) dan/atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BUMN dan/atau Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sedangkan dalam diktum kedua belas, dalam hal pembiayaan penempatan yang menjadi kewajiban pemberi kerja telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PMI, maka pemberi kerja wajib mengganti biaya yang sudah dikeluarkan melalui mekanisme reimbursement.
Kamis lalu, 12 Agustus 2021, BP2MI secara resmi meluncurkan program pembebasan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA di Wisma Bank Negara Indonesia (BNI).[2] Logika pembebasan biaya penempatan melalui utang ini yang kemudian dipertanyakan oleh komunitas PMI dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang telah cukup lama menanti implementasi kebijakan pembebasan biaya penempatan agar PMI dapat terlepas dari jeratan overcharging.
Boby Anwar Maarif, SekJen SBMI menyangsikan logika peluncuran pembebasan biaya penempatan PMI yang dilakukan oleh BP2MI melalui KUR dan KTA. Beliau menegaskan bahwa hal tersebut sangat kontroversial. Logika orang awam, jika utang, maka harus dibayar. Jika PMI harus membayar, maka tidak ada yang namanya pembebasan biaya penempatan. Apa bedanya penempatan dahulu dengan yang sekarang? Bukankah UU PPMI Pasal 30 sudah mengatur bahwa PMI tidak dapat dibebani biaya penempatan? Bukankah UU PPMI Pasal 72 telah mengatur adanya larangan pembebanan biaya yang sudah ditanggung pemberi kerja? Lalu bagaimana jika terdapat fakta bahwa PMI dibebani biaya yang sudah ditanggung oleh pemberi kerja? Penting agar segenap masyarakat untuk mengkritisi implementasi kebijakan pembebasan biaya penempatan yang baru saja diluncurkan.
Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM menyayangkan adanya Kepka BP2MI No. 214 Tahun 2021 karena tidak sesuai dengan UU PPMI dan Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI (zero cost). Seharusnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mengimplementasikan Pasal 30 UU PPMI. Misalnya dengan menerbitkan kebijakan untuk mendorong pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan bagi CPMI melalui APBD, karena komponen pendidikan dan pelatihan adalah komponen paling tinggi dalam biaya penempatan PMI. Hingga sekarang, hanya segelintir pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan agar dapat diakses oleh CPMI secara gratis. Alih-alih membuat kebijakan yang dapat mengimplementasikan zero cost, pemerintah pusat justru menggunakan KUR untuk pengimplementasian pembebasan biaya penempatan yang mana kebijakan tersebut pernah dilakukan pada masa UU No. 39 Tahun 2004 dan tidak menjadi solusi bagi maraknya praktik overcharging yang dialami PMI.
Yatini Sulistyowati, Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI bahwa PMI telah cukup lama merasakan kepahitan kebijakan migrasi tenaga kerja. Arus migrasi PMI memiliki sejarah yang panjang bahkan dari sebelum Indonesia merdeka. Hingga UU PPMI telah disahkan, PMI masih belum benar-benar merdeka dari praktik eksploitasi dan implementasi kebijakan yang berantakan. Meskipun mengharuskan pemberi kerja untuk melaukan reimbursement, pelibatan utang kepada PMI melalui skema KUR dan KTA merupakan “jalan keluar” yang kontroversial bagi pengimplementasian pembebasan biaya penempatan. Momentum HUT ke-76 Kemerdekaan RI adalah saatnya bagi pemerintah untuk peduli nasib PMI.
Daniel Awigra, Deputi Direktur HRWG menegaskan bahwa bukan hanya sebagai mandat dari UU PPMI, pembebasan biaya penempatan merupakan salah satu agenda utama advokasi PMI di tingkat komunitas internasional. Praktik overcharging selama ini terus terjadi, PMI terlilit utang bahkan dimulai sejak sebelum mereka bekerja. Agenda wajib tersebut masuk ke dalam setiap kerja sama PMI, baik bilateral maupun multilateral. Pemerintah Indonesia seharusnya dapat tunduk terhadap mandat UU PPMI dan mengikuti agenda wajib komunitas internasional dalam hal terkait.
Jeanny Sirait, Pengacara Publik LBH Jakarta
menyatakan pembebanan biaya penempatan PMI
yang dilakukan oleh BP2MI melalui KUR dan KTA merupakan bentuk dari pengabaian
yang dilakukan negara terhadap pahlawan devisa. Dalam skema pemenuhan hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, pemerintah wajib menjamin keterjangkauan
akses lapangan pekerjaan. Pembebanan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA
justru menimbulkan masalah baru bagi PMI dan membatasi akses lapangan pekerjaan
itu sendiri dengan membuat PMI harus terlilit utang di awal. Karenanya,
implementasi yang buruk dari UU PPMI dan Peraturan BP2MI No. 9 Tahun 2020
tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI (zero cost) nyata-nyata telah
menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi PMI.
Momentum HUT Kemerdekaan RI yang
diperingati setiap tahunnya pada 17 Agustus menjadi momentum kebangsaan yang
penting untuk merefleksikan kembali fondasi Indonesia sebagai bangsa dan negara
terutama peran PMI dalam pembangunan Indonesia.
Dalam rangka memperingati HUT ke-76 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2021, Jaringan
Buruh Migran (JBM) yang merupakan koalisi dari 28
organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan organisasi
yang peduli terhadap isu PMI mendorong:
- Pemerintah Pusat menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi PMI dengan membebankan biaya penempatan PMI melalui KUR dan KTA;
- Pemerintah Pusat dan Daerah segera menganggarkan biaya pelatihan untuk calon PMI, sebagaimana dimandatkan oleh UU PPMI Pasal 39, 40, dan 41;
- BP2MI untuk mengkaji kembali Kepka BP2MI No. 241 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembebasan Biaya Penempatan PMI;
- Pemerintah Pusat dan Daerah agar melibatkan PMI, organisasi PMI, dan organisasi masyarakat sipil yang peduli mengenai isu PMI dalam pembahasan aturan turunan UU PPMI mengenai pembebasan biaya penempatan PMI;
- Pemerintah Pusat dan Daerah melakukan pengawasan dan penindakan yang tegas kepada para pihak yang masih melakukan pembebanan biaya penempatan bagi PMI; dan
- Pemerintah Pusat membuka ruang diskusi secara rutin dengan Pemerintah Daerah yang merupakan kantong PMI baik agar mengalokasikan anggaran daerah untuk revitalisasi Balai Latihan Kerja yang ada di tingkat daerah agar CPMI mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pemda.
Jaringan Buruh Migran
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi,
ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG,
JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant
Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni
Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right
Narahubung:
- Savitri Wisnuwardhani : 0821-2471-4978
- Boby Anwar Maarif : 0852-8300-6797
[1] “Statistik Pelindungan dan Penempatan,” BP2MI.
https://bp2mi.go.id/statistik-penempatan
[2] “Luncurkan Program Biaya Penempatan PMI
melalui KUR dan KTA dari BNI, Kepala BP2MI: Selamat Tinggal Pesta Pora Para
Rentenir,” BP2MI, 13 Agustus, 2021. https://bp2mi.go.id/berita-detail/luncurkan-pembebasan-biaya-penempatan-pmi-melalui-kur-dan-kta-dari-bni-kepala-bp2mi-selamat-tinggal-pesta-pora-para-rentenir
Peran dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan
Ulasan Diskusi Isu Krusial
Peran
dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan
Jaringan Buruh Migran (JBM) merupakan
Koalisi 28 organisasi dari berbagai organisasi buruh dalam dan luar negeri
serta organisasi pemerhati buruh migran. JBM lahir karena keprihatinan akan
masih rendahnya perlindungan bagi buruh migran dari segi kebijakan. Dalam
sejarahnya, JBM yang dulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif
melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No 39/2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Pada Jumat, 02 Juli 2021, pukul 14.00
WIB, JBM yang terdiri dari SBMI, KSBSI, Migran Aid dan HRWG dan
difasilitasi oleh Sekret JBM melaksanakan diskusi bersama membahas
perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan PerPres Tugas
dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan. Diskusi ini dilakukan guna menginventarisasi kategori isu krusial
dan permasalahannya, serta mencari rekomendasi. Seperti yang kita ketahui bersama, PerPres Atase
Ketenagakerjaan merupakan salah satu amanah dari pasal 22 ayat (4) UU PPMI yang
belum diterbitkan oleh Pemerintah, Padahal sudah 3 tahun lebih UU PPMI disahkan. Hal tersebut telah melampaui amanat yang
terkandung dalam UU PPMI bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah
ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU
PPMI.
Dalam
diskusi ini, Awigra dari HRWG menjabarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh HRWG di 3 negara, yaitu Hongkong, Malaysia, dan Singapura pada tahun 2017
– 2018. Penelitian
ini, meneliti tugas perlindungan pelayanan di negara penempatan. Atase
Ketenagakerjaan, pada tahun 2017-2018 masih berpersperktif good government,
belum kepada rights-based. Namun, penelitian ini masih relevan hingga saat ini
karena belum ada PerPres baru. Atase Ketenagakerjaan di SOP-nya masih peraturan lama, sehingga lebih mengedepankan good
government.
Terdapat 3 permasalahan bila membahas
Atase Ketenagakerjaan. Pertama, tentang struktural kemudian soal tata
kelola yang mengatur upah buruh murah (mempekerjakan pekerja murah). Kedua di dokumen. Ketiga problem nyata yaitu masih good government. Good
Government yang dimaksud yaitu; terdapat layanan, kontak center, alamat pengaduan. Namun, begitu
ada masalah tidak diangkat lagi. Permasalahan-permasalahan terjadi tidak
kenal hari kerja,
jam kerja, bahkan
hari libur. Pekerja migran tidak bisa akses fasilitas pelayanan karena
Atase Ketenagakerjaan tidak punya sensitifitas terhadap korban. Hal ini menjadi satu temuan yang
nantinya dapat direkomendasikan bahwa perwakilan harus punya respons terhadap
persoalan,
bahkan bila perlu dapat mendorong untuk mempekerjakan pekerja migran yang punya
pengalaman.
Moh. Kholili dari Migran Aid menambahkan bahwa perlu di-review soal isu
strategis yang dibuat oleh masing-masing KBRI khususnya Atase Ketenagakerjaan
itu perlindungan PMI atau bukan.
Isu perlindungan PMI masih jauh sekali dari isu strategis di masing-masing
kedutaan konsuler dan sebagainya, sehingga Atase Ketenagakerjaan hanya menjadi
bagian kecil. Selain
itu, perlu ada satu data, kalau bahasa sekarang itu di banyak kabupaten kota itu
butuh ada satu link yang nyambung antara kabupaten kota asal PMI kemudian BP2MI
sama Atase Ketenagakerjaan, sehingga ketika ada masalah yang di kabupaten kota
atau asal itu bisa bunyi di BP2MI, bisa bunyi juga di Atase Ketenagakerjaan. Penting juga
menempatkan orang di Atase Ketenagakerjaan yaitu yang memiliki kepekaan mau
melayani dan sebagainya kepada PMI beserta keluarganya.
Selain itu, Moh. Kholili menjabarkan bahwa terdapat banyak kasus yang
telah ditangani, namun Atase Ketenagakerjaan tidak memiliki
kepekaan kepada korban maupun keluarga. Beberapa waktu yang lalu, terdapat kasus kematian
keluarga yang sedari awal sudah dikirimi surat kepada dinas sampai ke KBRI, tetapi pada saat pemulangan, jenazahnya
diserahkan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Pentingnya orang yang tepat karena ada
kasus di
beberapa negara,
petugas yang ada
di tempat pelayanan dulunya bekerja sebagai PMI sehingga dapat menjadi bagian
dari pemangku kewajiban yang bertugas disitu.
Yatini Sulistyowati (KSBSI) juga
menjelaskan bahwa mandat mengenai Atase Ketenagakerjaan di dalam UU PPMI sudah
cukup komprehensif. Tugas Atase Ketenagakerjaan selain diplomasi, terdapat validasi mitra
kerja di mana
harus mendaftar atau membuat daftar mitra kerja dan mengumumkannya secara
regular. Selain itu, terdapat banyak kasus yang ditangani oleh Konsuler
dibandingkan oleh Atase Ketenagakerjaan. Selain itu, beginning posisi Atase
Ketenagakerjaan dinilai
sangat kurang, karena mereka belum dikategorikan diplomat, sehingga masih menggunakan
paspor biasa bukan paspor
diplomat. Hal ini mengakibatkan Atase
Ketenagakerjaan tidak dapat
dikategorikan
diplomat untuk melakukan diplomasi terhadap negara tujuan. Faktanya juga ada Atase
Ketenagakerjaan yang memang tidak menguasai kondisi di negara penempatan. Mungkin ke depan
yang perlu digaris bawahi
adalah penempatan
Atase Ketenagakerjaan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki potensi melakukan
diplomasi serta menguasai isu-isu di negara tujuan.
Jundi
dari Sekretariat Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap ke depannya dapat kembali
menyelenggarakan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak masukan
agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan dapat membantu
serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan demi
tercapainya perlindungan kepada PMI.
FGD DARING PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN
Sebagaimana diketahui, Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan
merupakan satu dari tiga peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang belum diterbitkan oleh
Pemerintah, padahal sudah tiga tahun lebih UU PPMI disahkan, melampaui amanat
yang terkandung dalam UU tersebut, bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus
sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak
disahkannya UU PPMI.
Diskusi yang berlangsung pada pukul 14.15 – 15.45 WIB melalui zoom
meeting ini dihadiri oleh enam partisipan, yakni Daniel Awigra (HRWG),
Yatini Sulityawati (KSBSI), Bobi Anwar Maarif (DPN SBMI), Moch. Kholili
(Migrant Aid Jember), Sayyid M. Jundullah (Sekretariat JBM), dan Nur Alia Rosi
(Sekretariat JBM). Diskusi berlangsung dengan baik tanpa hambatan yang
signifikan, terlebih partisipan antusias dan aktif memberikan pendapat dan
masukan hingga kegiatan berakhir.
Daniel Awigra mengawali dengan menyatakan bahwa selama ini kebijakan
masih terlalu berfokus terhadap good governance, namun seringkali masih
belum dapat mengaplikasikan rights-based approach. Padahal, dalam upaya
pelindungan PMI, pendekatan HAM sangat diperlukan. Beliau lebih lanjut
menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga garis besar permasalahan: (a)
permasalahan kelembagaan; (b) permasalahan struktural (termasuk mentalitas
pejabat); dan (c) permasalahan regularisasi migrasi kerja, karena memang pada
hakikatnya tugas pokok dari Atase Ketenagakerjaan adalah melakukan diplomasi
berbasis HAM dalam menanggulangi irregularitas.
Yatini, di sisi lain, menyampaikan beberapa temuan menarik yang langsung
beliau temui di lapangan, berdasarkan pengalaman mengunjungi Perwakilan RI di
luar negeri, salah satunya KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Yatini menekankan bahwa
selain diplomasi, Atase Ketenagakerjaan memiliki tugas lain sesuai amanat UU
PPMI, seperti validasi mitra usaha hingga pemberi kerja yang harus diumumkan
secara reguler. Meskipun permasalahan PMI akan lebih aktif ditangani oleh Atase
Ketenagakerjaan, hingga saat ini, peran kekonsuleran masih sangat dominan.
Atase Ketenagakerjaan belum memiliki semacam bargaining position yang
cukup mumpuni dan terkesan masih terdiskriminasi, dengan konteks bahwa Atase
Ketenagakerjaan adalah perwakilan Kemnaker RI di luar negeri, namun mereka berposisi
di dalam struktur Perwakilan RI di luar negeri yang dibawahi oleh Kemlu RI.
Apalagi Atase tidak memiliki paspor diplomatic.
Moch. Kholili mengatakan bahwa pada dasarnya, perlu terdapat reviu
strategis tentang apakah pelindungan PMI sebenarnya bagian dari prioritas
Perwakilan RI. Mereka kebanyakan masih jauh dari isu strategis tersebut,
sehingga hanya menjadi bagian kecil dari Perwakilan RI. Terlebih, Daniel Awigra
menimpali bahwa memang setiap Perwakilan RI biasanya dipengaruhi oleh siapa
duta besarnya, karena sebagian duta besar ada yang lebih besar berfokus di isu
ekonomi, politik, atau bahkan sosial budaya. Kemudian, penting nantinya
menempatkan orang yang kompeten, memiliki kepemimpinan dan latar belakang yang
mumpuni untuk dapat menjadi Atase. Moch. Kholili menimpali bahwa selama ini,
dalam pelatihan dan pendidikan Calon Atase Ketenagakerjaan, isu yang menjadi
perhatian masih bersifat umum, belum menyentuh spesifisitas PMI, sehingga
nantinya juga perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi Atase yang
mendalami spesifisitas persoalan PMI.
Moch. Kholili kemudian menambahkan bahwa, lagi-lagi soal integrasi data
merupakan hal yang sangat krusial. Sangat baik apabila data yang ada di tingkat
daerah bisa terintegrasi hingga ke Atase Ketenagakerjaan untuk memperkuat
pelindungan PMI, artinya Pemerintah harus membuka akses yang luas kepada
keluarga di Indonesia yang butuh pelayanan dari pihak-pihak yang berwenang.
Bobi Anwar Maarif berharap bahwa pengerjaan Rancangan Perpres Atase
Ketenagakerjaan ini bisa diinvervensi dengan baik oleh Presiden. Dalam
mengintervesi rancangan perpres tersebut, Presiden harus mampu menunjukkan
semangat yang luar biasa, sebagaimana semangat beliau ketika menerbitkan UU
Ciptaker dan peraturan-peraturan pelaksananya.
Media briefing virtual : JBM bersama dengan Media CNN Indonesia
Jaringan Buruh Migran - jbm (JBM) bersama dengan Bobi Alwy dari Dpn Sbmi, Putri dari Solidaritas Perempuan dan Jesse A Halim dari Human Rights Working Group - HRWG Indonesia telah melakukan media briefing bersama dengan Media CNN Indonesia. Kegiatan ini disambut baik oleh rekan-rekan dari media CNN ( Taufik Budi Wijaya, Eref Siregar, Wisnu Mursabdo, Nugi, Vetriciawizach, dll) dapat berjalan dengan lancar. Kegiatan berlangsung dengan diskusi aktif antar partisipasi sehingga menghasilkan masukan dan saran.
AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM KEMNAKER RI
Rabu, 5 Mei 2021, AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN
PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM
KEMNAKER RI. Jaringan Buruh Migran (JBM) – Sebagai bagian dari advokasi dan
pengawalan aturan turunan UU PPMI, JBM atas dukungan Yayasan Tifa minggu lalu
melakukan audiensi dengan Biro Hukum Kemnaker RI dengan tujuan untuk
menyerahkan dokumen perumusan isu krusial LTSA.
Dokumen perumusan isu krusial LTSA merupakan produk
konkret yang telah diselesaikan melalui serangkaian FGD di Jakarta dan beberapa
daerah seperti Kupang, Banyumas, Indramayu, dan daerah lainnya oleh anggota-anggota
JBM dalam mendukung advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI tentang
penyelenggaraan LTSA. Dokumen yang berisi 13 isu krusial beserta penjabaran
berbagai detil permasalahan dan rekomendasi bagi penyelenggaraan LTSA.
Savitri mempresentasikan dokumen yang berisi 13
kategori isu krusial tersebut, yaitu: a) kebijakan LTSA; b) kelembagaan dan
instansi penyelenggara; c) pendirian LTSA; d) sosialisasi dan capacity
building; e) prinsip, asas, dan kode etik pelayanan; f) mekanisme
informasi; g) mekanisme pendataan dan sistem database; h) aksesibilitas;
i) sarana dan prasarana; j) koordinasi; k) peninjauan dan pengawasan; l)
pembiayaan; m) pengaduan penanganan kasus dan bantuan hukum; dan n) peran serta
masyarakat. Tidak hanya merincikan permasalahan yang ada dalam setiap
kategorisasi isu, Savitri turut menyampaikan rekomendasi JBM yang tertuang
dalam dokumen tersebut. Savitri berharap bahwa dokumen ini nantinya dapat
menjadi rujukan bagi Kemnaker RI dalam menyusun Rancangan Permenaker tentang
LTSA dan dapat melibatkan JBM dalam pembahasannya.
Agung Sugiri selaku Kasubbag Penempatan Tenaga Kerja,
Biro Hukum Kemnaker RI dan Sigit Ary Prasetyo selaku Kasi Evaluasi Kinerja
Kelembagaan TKLN yang tampak antusias menyambut baik dan berterima kasih atas presentasi
dokumen perumusan isu krusial LTSA yang dinilai mereka akan sangat membantu
bagi penyusunan Permenaker tentang LTSA.
Agung sendiri mengatakan bahwa penyusunan Rancangan
Permenaker tentang LTSA akan segera dilaksanakan, mengingat Permenaker tersebut
merupakan amanat dari RPP No. 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia. Beliau tidak hanya berjanji akan melibatkan JBM dalam
rangkaian pembahasan Rancangan Permenaker, namun juga akan melibatkan JBM dalam
pembahasan rancangan aturan turunan UU PPMI lainnya seperti Rancangan Perpres
Atase Ketenagakerjaan hingga RPP Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal dan
Pelaut Perikanan.
Selain audiensi secara daring, pada hari yang sama,
JBM yang diwakili oleh Savitri juga secara seremonial melakukan penyerahan
dokumen fisik perumusan isu krusial LTSA ke Kemnaker RI.
Dokumen perumusan isu krusial LTSA ini hanyalah satu
dari sekian keluaran kegiatan yang dihasilkan oleh JBM dalam rangkaian
advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI. Keluaran lainnya yang akan
segera diluncurkan oleh JBM adalah E-book Penelitian LTSA yang Berperspektif
HAM dan Gender. JBM memiliki harapan besar bahwa LTSA ke depannya dapat
dioptimalisasikan sehingga dapat memberikan layanan bagi CPMI/PMI dan
keluarganya dengan mengedepankan perspektif HAM dan gender.
Bagi yang tertarik untuk membaca dokumen perumusan isu krusial LTSA, dapat mengakses secara daring melalui tautan berikut: http://bit.ly/isukrusialLTSA_JBM