JAKARTA, KOMPAS — Sistem penanganan laporan pengaduan masalah pekerja migran Indonesia perlu dikembangkan lebih terintegrasi dengan melibatkan lintas instansi pemerintah. Diharapkan tindak lanjut laporan sampai dengan penyelesaian kasus bisa berlangsung cepat.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani, Minggu (25/2), di Jakarta, mengatakan, sejauh ini pelaporan masalah yang dialami pekerja migran Indonesia sudah berkembang lebih baik. Ia
mencontohkan, sudah ada sistem pelaporan dalam jaringan yang dikembangkan setiap instansi pemerintah. Namun, sistem itu belum terintegrasi satu sama lain.
Di negara penempatan, kata Savitri, jumlah atase ketenagakerjaan masih sedikit. Situasi ini akan menyulitkan penanganan pelaporan masalah pekerja migran Indonesia.
”Perbaikan sistem pengaduan hingga penanganannya harus didorong. Di samping itu, pemerintah bisa memperkuat sosialisasi migrasi aman yang dimulai dari desa. Patut dicermati, permasalahan pekerja migran diawali sejak sebelum mereka berangkat bekerja,” ujar Savitri.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengelompokkan masalah utama yang banyak dilaporkan pada 2015-2017, antara lain gaji tidak dibayar, pekerja tidak berdokumen, dan pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendampingi 1.501 kasus pelanggaran kontraktual pada 2016-2017. Pendampingan ini melibatkan jejaring dan pemerhati hak pekerja migran lain, seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Alwy berpendapat, penanganan pengaduan kasus masih cenderung terpusat. Dengan kata lain, laporan pengaduan tidak bisa langsung ditangani secara cepat di daerah, misalnya oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
”Pekerja migran kerap kali kesulitan untuk mengetahui kelanjutan penanganan pengaduan mereka,” kata Bobi.
Perdagangan orang
Jenis masalah tindak pidana perdagangan orang juga tidak luput dialami pekerja migran Indonesia. BNP2TKI menerima 56 pengaduan kasus pada 2016 dan 71 kasus pada 2017.
Pengacara publik LBH Jakarta, Oky Wiratama, memaparkan, kasus tindak pidana perdagangan orang rentan dialami perempuan pekerja migran. Pada umumnya mereka ditawari pekerjaan yang menarik di luar negeri. Akan tetapi, begitu sampai di negara penempatan, mereka malah dijual.
LBH Jakarta mendampingi lima korban tindak pidana perdagangan orang tahun lalu. Kelima orang itu dijual kepada penyedia prostitusi di Malaysia. LBH mendampingi lima orang ini dari sisi hukum hingga kasus selesai di pengadilan selama hampir satu semester.
Oky mengemukakan, selama ini, bantuan hukum cuma-cuma masih sukar diperoleh pekerja migran Indonesia. ”Mengacu Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indo-
nesia, setiap pekerja berhak memperoleh bantuan hukum. Kami harap substansi ini tidak diabaikan pemerintah,” katanya.
Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno yang dimintai konfirmasi secara terpisah mengklaim, penanganan permasalahan sekarang jauh lebih terkoordinasi dan cepat. (MED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar