Laman

Translate

[05 - 03 - 2018] Konsensus ASEAN Hanya Sebatas Konsep

Para buruh migran asal Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, biasanya mengisi waktu luang kerja hari Sabtu dan Minggu di Taman Victoria Park, Hong Kong.

JAKARTA, KOMPAS — Konsensus ASEAN mengenai Perlindungan dan Pemajuan Pekerja Migran hanya berperan sebatas konsep yang implementasinya tidak diwajibkan. Padahal, pekerja migran berharap peraturan dibuat berdasarkan perjanjian itu.

Pengaturan perlindungan dan pemajuan pekerja migran masih berdasarkan nota kesepahaman antara negara pengirim dan penerima tenaga kerja.

Pada November 2017, 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam KTT ASEAN menandatangani Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran oleh 10 negara.

Konsensus itu berisi penjabaran hak dasar pekerja migran dan keluarganya, kewajiban negara pengirim dan penerima tenaga kerja, serta pernyataan komitmen setiap negara.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menyatakan agar nota kesepahaman antarnegara dibuat berdasarkan konsensus tersebut.

”Hanya saja, keputusan mengenai perlindungan pekerja migran kembali lagi pada kedaulatan hukum negara masing-masing,” ujarnya, saat dihubungi, Minggu (4/3).
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, 25 Februari.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, 25 Februari.

Dalam konsensus itu, negara ASEAN berkomitmen mengedepankan hak pekerja migran yang memiliki dokumen dan tidak beserta keluarga mereka, menjalankan kontrak sesuai ketentuan, memajukan sumber daya dan keterampilan pekerja, menjamin akses keadilan, serta meningkatkan kesadaran publik terkait pekerja migran.

Beberapa komitmen lainnya adalah mencegah terjadinya perdagangan manusia, membuat sistem implementasi untuk mengidentifikasi korban, mempertegas hukuman bagi yang terlibat, serta meningkatkan dialog antarnegara terkait pekerja migran.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu M Iqbal, secara terpisah, menyatakan, kendati seluruh negara telah menyetujui konsensus tersebut, perjanjian yang tidak memiliki dasar hukum yang mengikat tidak dapat dijadikan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi suatu negara.

”Konsensus hanya bersifat sebagai komitmen moral,” ujarnya. Konsensus tidak mengharuskan ada harmonisasi hukum secara internasional. Pemerintah pada akhirnya hanya akan terus bersandar pada hukum negara setempat terkait melindungi pekerja migran Indonesia.

Pemerintah Malaysia, misalnya, belum tertarik memperpanjang nota kesepahaman dengan Indonesia terkait pekerja migran hingga kini. Padahal, Pemerintah Indonesia telah mengajukan draf baru beberapa lalu sejak berakhirnya nota kesepahaman pada Mei 2016.

”Malaysia hanya mau membahas pekerja migran formal, sedangkan Indonesia lebih banyak mengirim pekerja informal,” kata Lalu. Menurut dia, pekerja nonformal tersebut yang rentan dengan masalah.

Berdasarkan data dalam Kaleidoskop Pelindungan WNI ’17 oleh Kemenlu, jumlah pekerja migran per 2017 di sektor informal 2,74 juta jiwa atau 97 persen dari jumlah pekerja migran di luar negeri.
Contoh pekerjaan di sektor informal adalah pembantu laksana rumah tangga (PLRT), tukang kebun, tukang masak, pengasuh, dan sopir. Pekerja migran terbanyak berada Malaysia, Arab Saudi, dan Taiwan.

Data Jaringan Buruh Migran (JBM) menyebutkan, masalah yang banyak dialami pekerja migran Indonesia di negara penempatan adalah kelengkapan dokumen sebanyak 6.300 kasus, perdagangan orang 1.083 kasus, dan meninggal 217 kasus.

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
Lalu melanjutkan, dalam melindungi pekerja migran, Pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa prosedur standar.

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
Kasus perdata di mana terjadinya pelanggaran hak pekerja migran, seperti pemotongan gaji secara sepihak, akan ditangani Atase Ketenagakerjaan (Atnaker) Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Atnaker akan melakukan mediasi dengan majikan pekerja. Adapun metode tersebut dinyatakan biasanya efektif.

Jika seorang pekerja migran mengalami kasus pidana, misalnya kekerasan, pejabat konsulerlah yang akan mendampingi pekerja tersebut.

Kasus pidana dari kematian Adelina Jemirah Sau (20) pada 11 Februari akibat kekerasan adalah contohnya. Pemerintah tidak mengirim pengacara, tetapi konsuler akan mendampingi kejaksaan Malaysia sehingga dapat membantu mengusulkan pasal yang dapat dikenakan kepada tiga tersangka pelaku kejahatan.

”Setiap kasus harus diselesaikan dengan hukum setempat. Tidak bisa kita terapkan satu hukum di semua negara dan kita menghormati hukum setempat,” kata Lalu.

Adapun Lalu menyatakan, Kemenlu secara keseluruhan rata-rata menangani 15.000-20.000 kasus perdata dan pidana per tahun. Pada tahun 2017, Kemenlu menangani sekitar 13.000 kasus. (DD13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan