Laman

Translate

[26 - 02 - 18] Penanganan Laporan Pekerja Migran Mesti Lebih Cepat

JAKARTA, KOMPAS — Sistem penanganan laporan pengaduan masalah pekerja migran Indonesia perlu dikembangkan lebih terintegrasi dengan melibatkan lintas instansi pemerintah. Diharapkan tindak lanjut laporan sampai dengan penyelesaian kasus bisa berlangsung cepat.

Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani, Minggu (25/2), di Jakarta, mengatakan, sejauh ini pelaporan masalah yang dialami pekerja migran Indonesia sudah berkembang lebih baik. Ia
mencontohkan, sudah ada sistem pelaporan dalam jaringan yang dikembangkan setiap instansi pemerintah. Namun, sistem itu belum terintegrasi satu sama lain.

Di negara penempatan, kata Savitri, jumlah atase ketenagakerjaan masih sedikit. Situasi ini akan menyulitkan penanganan pelaporan masalah pekerja migran Indonesia.

”Perbaikan sistem pengaduan hingga penanganannya harus didorong. Di samping itu, pemerintah bisa memperkuat sosialisasi migrasi aman yang dimulai dari desa. Patut dicermati, permasalahan pekerja migran diawali sejak sebelum mereka berangkat bekerja,” ujar Savitri.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengelompokkan masalah utama yang banyak dilaporkan pada 2015-2017, antara lain gaji tidak dibayar, pekerja tidak berdokumen, dan pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendampingi 1.501 kasus pelanggaran kontraktual pada 2016-2017. Pendampingan ini melibatkan jejaring dan pemerhati hak pekerja migran lain, seperti Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Alwy berpendapat, penanganan pengaduan kasus masih cenderung terpusat. Dengan kata lain, laporan pengaduan tidak bisa langsung ditangani secara cepat di daerah, misalnya oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

”Pekerja migran kerap kali kesulitan untuk mengetahui kelanjutan penanganan pengaduan mereka,” kata Bobi.

Perdagangan orang

Jenis masalah tindak pidana perdagangan orang juga tidak luput dialami pekerja migran Indonesia. BNP2TKI menerima 56 pengaduan kasus pada 2016 dan 71 kasus pada 2017.

Pengacara publik LBH Jakarta, Oky Wiratama, memaparkan, kasus tindak pidana perdagangan orang rentan dialami perempuan pekerja migran. Pada umumnya mereka ditawari pekerjaan yang menarik di luar negeri. Akan tetapi, begitu sampai di negara penempatan, mereka malah dijual.

LBH Jakarta mendampingi lima korban tindak pidana perdagangan orang tahun lalu. Kelima orang itu dijual kepada penyedia prostitusi di Malaysia. LBH mendampingi lima orang ini dari sisi hukum hingga kasus selesai di pengadilan selama hampir satu semester.

Oky mengemukakan, selama ini, bantuan hukum cuma-cuma masih sukar diperoleh pekerja migran Indonesia. ”Mengacu Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indo-
nesia, setiap pekerja berhak memperoleh bantuan hukum. Kami harap substansi ini tidak diabaikan pemerintah,” katanya.

Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindharno yang dimintai konfirmasi secara terpisah mengklaim, penanganan permasalahan sekarang jauh lebih terkoordinasi dan cepat. (MED)

[RILIS JBM] Buruh migran darurat trafficking : Wujudkan kerja layak bagi Buruh Migran Indonesia


Kurang dari satu bulan, telah ada dua kasus pekerja migran tragis yang mengalami kondisi kerja layak mulai dari gaji tidak dibayar dan hingga meninggal dunia di Malaysia. Adelina, pekerja migran Indonesia dari NTT yang meninggal dunia karena tidak diberi makan oleh majikan, tidur dengan seekor anjing dan mengalami penyiksaan fisik dan non fisik oleh majikan di Malaysia. Tidak lama setelah kasus Adelina mencuat di media, lagi-lagi pekerja migran Indonesia asal NTT mengalami kasus yang tidak kalah seriusnya yakni gajinya tidak dibayar selama 7 tahun. Malaysia satu dari negara tujuan pekerja migran, kerap kali menjadi penyumbang kasus terbanyak bagi pekerja migran selain Arab Saudi. Data BNP2TKI memperlihatkan terjadi peningkatan kasus yang dialami pekerja migran di Malaysia bila dibandingkan antara tahun 2016 dengan 2017. 

Data lainnya menunjukkan meskipun kasus pekerja migran mengalami penurunan dari 2016 ke 2017, namun jumlah kasus yang dialami pekerja migran tetap tinggi.  Terlebih data BNP2TKI menunjukan terjadi peningkatan kasus pekerja migran yang tidak berdokumen (254 orang), kasus over charging (33 orang) dan kasus overstay (33 orang).  Sedangkan data kasus yang masuk ke SBMI menunjukkan sepanjang tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1501 kasus. Selain kasus kontraktual, tidak sedikit pekerja migran mengalami kasus penganiayaan, trafficking dan sakit. Selain data dari SBMI, data monitoring media yang dilakukan JBM juga menunjukkan selama tahun 2017 kasus terbanyak yang dialami pekerja migran adalah kasus pekerja migran tidak berdokumen (6.300 kasus), kasus perdagangan orang (1.083 orang) dan kasus pekerja migran yang meninggal dunia (217 orang)

Konpres JBM 25/02/18 _ LBH Jakarta
Masih belum menurunnya seluruh kasus pekerja migran secara significant karena kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran belum benar-benar terimplementasi dan monitoring pengawasannya masih lemah untuk memastikan pekerja migran tidak berada dalam situasi kerja paksa. Meskipun UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI)  telah disahkan pada tanggal 22 November 2017 dan isinya telah memasukkan Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No.6/2012 dalam konsiderannya, namun masih ada terdapat kelemahan dari UU PPMI terutama memposisikan pekerja migran bukan sebagai subjek tetapi sebagai objek. Hal ini terlihat dari Pekerja Migran dalam hal ini Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih diharuskan mendaftar bekerja ke luar negeri melalui perusahaan swasta atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI). Tak hanya itu, di dalam RUU masih minim ruang keterlibatan Pekerja Migran untuk dijamin.

Oleh karenanya Jaringan Buruh Migran yang merupakan koalisi 27 organisasi baik yang berada di dalam dan diluar negeri dan telah mengawal kebijakan untuk perlindungan pekerja migran sejak tahun 2010, menyuarakan agar pemerintah segera membuat peraturan turunan UU PPMI. Meskipun UU PPMI telah disahkan namun belum dapat terimplementasikan seluruhnya karena masih menggunakan peraturan turunan UU 39/2004 selama masa transisi pembuatan peraturan turunan UU PPMI selama 2 tahun. JBM menyatakan pentingnya penguatan kebijakan baik di tingkat nasional melalui pembuatan peraturan turunan UU PPMI dan kebijakan ditingkat regional ASEAN.

Savitri Wisnuwardhani, SekNas JBM menyatakan bahwa kelemahan UU PPMI harus dapat diperbaiki dalam peraturan turunan. Dalam UU PPMI telah disebutkan mengenai perbaikan tata kelola migrasi. Kedepan layanan migrasi tidak lagi sentralistik tetapi desentralistik hingga peran pemerintah desa juga berperan dlm memberikan pelayanan u memastikan terciptanya migrasi aman. Oleh karenanya dalam peraturan turunan UU PPMI hrs menjelaskan secara detail mengenai mekanisms layanan yg dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah hingga desa dan layanan ini harus terintegrasi, bebas pungli, menjamin adanya transparansi layanan dan memastikan terciptanya migrasi yang aman bagi pekerja migran sehingga pekerja migran tidak lagi berada dalam kondisi trafficking baik di Indonesia maupun di negara tujuan bekerja. 

Selain peraturan turunan untuk memastikan terciptanya layanan perlindungan bagi pekerja migran, Risca Dwi, Solidaritas Perempuan menekankan penting juga memastikan dalam peraturan turunan UU PPMI,  pekerja migran mendapatkan situasi kerja yang layak seperti upah layak dan kondisi kerja yang layak. Selain itu pengawasan terhadap situasi kerja juga harus dilakukan terutama diluar negeri untuk memastikan pekerja migran berada dalam situasi kerja layak yang bebas diskriminasi.

Agar kasus kontraktual/pelanggaran terhadap kontrak kerja minim terjadi, Bobi Alwy, SBMI menegaskan dalam peraturan turunan harus memastikan bahwa perjanjian kerja harus berlaku di dua negara. Dari pengalaman SBMI menangani kasus, kerap kali perjanjian kerja di negara asal tidak berlaku. Yang berlaku di negara tujuan yang lebih merugikan pekerja migran karena pekerja migran tidak memahami bahasanya. Selain itu perjanjian kontraktual harus dilakukan dengan dua bahasa dan penting disebutkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui MoU antar negara.

Salah satu komponen perlindungan yang harus diberikan negara adalah menjamin pekerja migran Indonesia untuk mendapatkan hak atas keadilan. Oky  Wiratama, LBH Jakarta menilai bahwa hingga sekarang ini hak pekerja migran Indonesia atas keadilan masih sangat terbatas. Meskipun pemerintah telah membuat layanan pengaduan namun layanan ini masih sentralistik penanganannya, misalnya di Jakarta atau di tingkat Provinsi. Selain itu antar instansi yang menyediakan layanan bantuan hukum tidak terintegrasi satu sama lain sehingga pekerja migran harus mendatangi masing-masing instansi pemerintah dan belum ada mekanisme perkembangan kasus secara online. Diharapkan dalam peraturan turunan, terdapat mekanisme bantuan hukum dan penyelesaian sengketa yang cepat dan berbiaya ringan bagi pekerja migran Indonesia.

Dalam UU PPMI, telah disebutkan mengenai peralihan dari asuransi swasta kepada BPJS, namun dalam UU PPMI belum secara eksplisit dijelaskan apa saja coverage yang didapat oleh pekerja migran. Yatini Sulistyowati, KSBSI mengingatkan bahwa permasalahan terbesar yang dialami oleh pekerja migran adalah permasalahan kontraktual terutama gaji tidak dibayar dan PHK sepihak. Diharapkan dalam peraturan turunan UU PPMI coverage perlindungan PMI bertambah dari yang hanya 6 resiko menjadi 13 resiko karena justru resiko ini banyak dialami pekerja migran Indonesia. selain itu pemerintah wajib membuat mekanisme layanan jaminan sosial di negara tujuan sesuai seperti yang tertuang dalam pasal 34 huruf f UU PPMI untuk meminimalisir jatuhnya korban baru di negara tujuan.

Terakhir, menyikapi telah disahkannya Konsensus ASEAN bagi perlindungan perlindungan pekerja migran yang mana proses negosiasianya telah 10 tahun, yakni tepatnya pada 14 November 2017. Wike Devi, Human Right Working Group (HRWG) menilai Konsensus ASEAN masih memiliki sejumlah kelemahan dan perlu diperkuat dalam hal implementasinya. Diantara kekurangan tersebut adalah tidak diikutsertakannya pekerja migran dalam proses pembahasan instrumen dan penyelesaian masalah pekerja migran pada kebijakan dan peraturan negara setempat. Namun demikian kedepan, HRWG dan JBM akan terus mendorong pemerintah Indonesia dan ACMW untuk membuat rencana aksi regional yang berdasar pada standar hukum internasional, Konvensi-konvensi ILO, dan sejumlah komitmen regional lainnya untuk perlindungan pekerja migran ASEAN yang efektif dan lebih baik.

Jakarta, 25 Februari 2017


JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights

Narahubung :
Savitri Wisnuwardhani  : 082124714978
Boby Alwy : 085283006797
Oky Wiratama : 081265410330
Wike : 081298163375
Risca Dwi : 081219436262
Yatini : 085312303209


[25 - 02 - 2018] Tahun 2017, Kasus yang Menimpa Pekerja Migran Capai 7.600

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan catatan Jaringan Buruh Migran, terdapat 7.600 kasus pekerja migran sepanjang tahun 2017. Pemerintah diminta untuk membuat peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia agar pengawasan yang dilakukan dari hulu ke hilir lebih optimal.

Berdasarkan data Jaringan Buruh Migran (JBM), masalah yang banyak dialami pekerja migran Indonesia di negara penempatan adalah kelengkapan dokumen sebanyak 6.300 kasus, perdagangan orang 1.083 kasus, dan meninggal sebanyak 217 kasus.

Sekretaris Nasional JBM Savitri Wisnuwardhani, dalam konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2), menyatakan, jumlah kasus tersebut menurun dibandingkan tahun 2016, tetapi tetap dinilai tinggi dari segi kuantitas.

”Belum menurunnya kasus pekerja migran secara signifikan karena kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran belum benar-benar terimplementasi,” kata Savitri. Selain itu, pengawasan kebijakan yang telah diterapkan untuk memastikan keselamatan pekerja migran juga dinilai masih lemah.

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arrmanatha Nasir, pada kesempatan yang terpisah, mengatakan, jumlah kasus pekerja migran terbanyak berada di negara yang paling sering menjadi tujuan penempatan.

Berdasarkan data dalam Kaleidoskop Pelindungan WNI ’17 oleh Kemlu, populasi warga negara Indonesia (WNI) terbanyak berada di Malaysia 1,31 juta orang, Arab Saudi 611.129 orang, dan Taiwan 213.319 orang. Secara keseluruhan, jumlah pekerja migran per 2017 di sektor informal 2,74 juta jiwa atau 97 persen dari jumlah pekerja migran di luar negeri.

Contoh pekerjaan di sektor informal adalah pembantu laksana rumah tangga (PLRT), tukang kebun, tukang masak, pengasuh, dan sopir.

Masih tingginya jumlah kasus yang dialami pekerja migran dan ditambah lagi pada Februari ini terjadi beberapa kasus pelanggaran hak pekerja migran hingga meninggal, membuat peraturan turunan UU No 18/2017 mendesak.

Misalnya, Adelina Jemirah Sau (20) yang adalah seorang pekerja migran tanpa dokumen. Ia meninggal di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Penang, Malaysia, pada 11 Februari, diduga akibat disiksa majikan. Stanis Meo (25), buruh kelapa sawit, juga meninggal disiram air keras oleh majikan di Kinabalu, Malaysia Timur, 19 Februari. Ada pula Petronela Nahak yang diketahui tidak digaji selama 7 tahun.

Sebanyak 27 organisasi yang tergabung dalam JBM mendesak pemerintah segera membuat peraturan turunan dari UU No 18/2017 itu. UU tersebut telah diresmikan sejak 25 Oktober 2017.

Pemerintah saat ini masih menggunakan peraturan turunan UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Padahal, terdapat sejumlah tambahan materi dalam UU No 18/2017. Misalnya, perlindungan pekerja migran yang memiliki dokumen dan tidak, keluarga pekerja migran, serta awak kapal dan pelaut perikanan (ABK).

Ada pula pemberian jaminan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan, penjaminan pekerja migran tidak dikenai biaya penempatan, penjabaran wewenang pemerintah daerah, dan persyaratan bagi negara tujuan.

Savitri mengatakan, peraturan turunan harus mencakup deskripsi tugas layanan migrasi secara detail oleh pemerintah desa, kabupaten, pusat, hingga perwakilan di luar negeri. ”Layanan harus terintegrasi, bebas pungli, dan transparansi sehingga pekerja migran tidak terkena risiko trafficking,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif menambahkan, peraturan turunan harus memastikan agar perjanjian kerja berlaku di negara pengirim dan negara penerima pekerja migran. Selain itu, perjanjian harus ditulis dalam dua bahasa dan disertakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui nota kesepahaman antarnegara.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia, di Jakarta, Minggu (25/2).
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma’arif seusai konferensi pers bertajuk Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia, di Jakarta, Minggu (25/2).

Penanganan kasus pekerja oleh SBMI periode Januari-Februari 2018 adalah 84 kasus mewakili anggota SBMI dan 434 kasus mewakili pekerja migran lain dengan kasus yang sama. Kasus yang paling banyak dikeluhkan adalah terkait waktu kerja di luar kesepakatan (20 persen), pungutan biaya penempatan yang berlebih (20 persen), dan gaji tidak dibayar (9 persen).
Data SBMI juga menunjukkan, terjadi pelanggaran kontrak sebanyak 1.501 kasus sepanjang tahun 2016-2017.

Berdasarkan kasus yang ditangani SBMI, perjanjian kerja di negara asal yang telah disetujui pekerja sering tidak berlaku di negara penempatan. Ditambah lagi, perjanjian yang berlaku di negara tujuan dinyatakan lebih merugikan karena pekerja migran tidak sepenuhnya memahami bahasa negara tersebut.

”Kasus yang masuk menunjukkan mereka mengalami eksploitasi secara psikis, fisik, dan ekonomi,” ujar Bobi. Masalah tersebut diharapkan dapat diatasi dengan adanya UU No 18/2017.

Konsensus ASEAN 

Indonesia, bersama dengan negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), telah meratifikasi ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers pada 14 November 2017.

Konsensus tersebut merupakan bentuk komitmen negara anggota ASEAN untuk membentuk instrumen perlindungan dan pemajuan hak pekerja migran. Dalam Kaleidoskop Pelindungan WNI ’17, rencana aksi akan disusun oleh ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW).

Servulus Bobo Riti, Kepala Bagian Humas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), menyatakan, konsensus tersebut mencerminkan semangat dan kebutuhan untuk melindungi hak pekerja migran. Semua negara yang telah menandatangani konsensus tersebut telah terikat dalam seluruh klausal yang telah disepakati bersama.

”Namun, konsensus tersebut belum diterapkan karena baru disahkan,” ujarnya. Selain itu, pemerintah masih menggunakan perjanjian bilateral antarnegara yang masih berlaku.

Jaringan Buruh Migran (JBM) mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).
Jaringan Buruh Migran mengadakan konferensi pers bertajuk ”Buruh Migran Darurat Trafficking: Wujudkan Kerja Layak bagi Buruh Migran Indonesia” di Jakarta, Minggu (25/2).

Project Officer Human Right Working Group (HRWG) Wike Devi menyatakan, konsensus tersebut masih memiliki kelemahan karena tidak melibatkan pekerja migran dalam pembahasan instrumen dan penyelesaian masalah mereka dalam peraturan negara penempatan.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Oky Wiratama, menambahkan, pemerintah memang telah menyediakan layanan aduan bagi pekerja migran di kedutaan besar dan konsulat. Hanya saja, pengaduan dalam bentuk layanan call center masih sulit tersambung sehingga keluhan sulit untuk disampaikan.

”Ditambah lagi, sistem layanan daring antarlembaga, yaitu Kemlu, Kementerian Tenaga Kerja, dan BNP2TKI tidak terintegrasi satu sama lain,” kata Oky. (DD13)

[25/02/2018] KONFERENSI PERS JARINGAN BURUH MIGRAN. BURUH MIGRAN DARURAT TRAFFICKING

[25/02/2018] KONFERENSI PERS JARINGAN BURUH MIGRAN. BURUH MIGRAN DARURAT TRAFFICKING


Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan