Laman

Translate

Pernyataan Sikap Organisasi Masyarakat Sipil Terhadap ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers


[Jakarta, 21 November 2017] Organisasi masyarakat sipil untuk advokasi hak-hak pekerja migran yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai bahwa ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ASEAN Konsensus) yang baru ditandatangani oleh sepuluh kepala negara ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinmggi ASEAN ke-31 di Manila, Filipina, (14/11) sebagai langkah maju sebagai perwujudan komitmen dari Deklarasi Cebu tahun 2007 yaitu pembentukan instrumen perlindungan hak-hak pekerja migran di ASEAN.

Meski demikian menurut Daniel Awigra, Program Manager Advokasi HAM dan ASEAN, Human Rights Working Group (HRWG) menilai kemajuan dari ASEAN Consensus ini tidaklah signifikan. Pertama, secara hukum status dokumennya yang tidak mengikat sehingga sulit untuk menagih komitemen negara-negara ASEAN di dalam implementasinya.

Kedua, secara politik, ASEAN Consensus adalah gambaran cara kerja ASEAN yang masih state-interest driven dan belum bekerja sesuai visi ASEAN yaitu “People Centered and People Oriented” di mana pemangku utama dari setiap kebijakan di ASEAN adalah masyarakat ASEAN, bukan sekadar pemerintah. Proses penyusunannya tertutup selama delapan tahun, dan hampir sama sekali tidak melibatkan pekerja migran sebagai pemangku kepentingan utama. Sehingga hasilnya masih sebatas pengakuan negara terhadap berbagai hak dasar buruh migran oleh pemerintah ASEAN, namun dalam pelaksanaannya masih harus tetap tunduk di bawah supermasi hukum nasional.

Ketiga soal keberpihakkan ASEAN Consensus, belum menunjukkan keberpihakkan utamanya terhadap kepentingan terbaik untuk buruh migran, misalnya bagaimana komitmen memajukkan kerja dan upah layak, serta bagaimana keberpihakkannya pada isu yang paling rentan seperti pada isu buruh migran perempuan di sektor domestik.

Selanjutnya, ASEAN Consensus juga tidak memasukkan Instrumen Internasional untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi ILO, dan SDGs sebagai konsideran untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Padahal Konvensi Penyandang Disabilitas sudah diratifikasi oleh sepuluh negara ASEAN.

Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai hak-hak fundamental untuk pekerja migran yang tertera dalam ASEAN Consensus sangat jelas memperlihatkan kepentingan-kepentingan negara yang terdikotomi sebagai negara tujuan (receiving states) dan negara asal (sending states) dan minim pengawasan sehingga pemajuan hak-hak pekerja migran di ASEAN kedepan belum dapat memberikan perlindungan seutuhnya bagi pekerja migran.

Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan menyesalkan instrumen ini karena meskipun ada artikel-artikel yang merujuk pada hak-hak buruh migran dengan perspektif jender namun tidak ada pengakuan turunan terhadap hak-hak spesifik perempuan seperti hak reproduktif dan kesehatan reproduksi. Padahal banyak kasus pekerja domestik perempuan yang di PHK sepihak karena hamil atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena beban kerja dan kekerasan yang dialaminya selamanya bekerja. Bukan hanya itu, hak mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan publik untuk anak pekerja migran baik yang ikut serta dalam migrasi maupun yang ditinggalkan di negara asal juga tidak disebutkan dalam konsensus ini. Selain itu, konsensus ini masih berpijak pada paradigma komoditisasi buruh migran karena setidaknya masih terdapat istilah negara pengirim (sending country) dan negara penerima (receiving country).
Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) megharapkan ASEAN harus dapat mewujudkan visi “people centered, people oriented” dalam implementasi ASEAN Consensus yaitu dengan mengedepankan kepentingan utama (best interest) dari pekerja migran yaitu, menciptakan kerjala layak pekerja migran khsuusnya pekerja domestik, informal, dan berkeahlian rendah berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO), pembentukan mekanisme untuk mengurangi pekerja migran tidak berdokumen, adanya jaminan sosial, pemenuhan hak-hak pekerja migran, dan pekerjaan yang produktif untuk pekerja migran.

Enny Rofiatul, Pengacara Publik LBH Jakarta meragukan mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN Consensus terkait kasus pekerja migran. Seperti sudah diketahui, Indonesia seringkali meradang terhadap kasus pekerja migran yang terjadi di Malaysia namun tidak ada penyelesaian yang dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut. Di tingkat ASEAN sendiri terdapat Protokol penyelesaian sengkata antar negara yang mengacu kepada Piagam ASEAN.

Prosedur ini menjelaskan secara spesifik bagaimana sebuah komplain dapat diajukan dalam konsultasi dan terdapat batasan waktu yang diminta untuk respon dari pihak terkait komplain tersebut. Namun sayangnya mekanisme ini juga tidak berjalan sesuai aturan, karena jika pihak terkait tidak memberikan persetujuan untuk memberikan respon maka penyelesaian sengketa akan dibawa pada proses mediasi, rekonsiliasi, dan arbritasi. Perlu di ketahui di ASEAN saat ini tidak ada mekanisme tribunal maka mustahil bagi kasus pekerja migran untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan regional.

Yang harus diapresiasi dari ASEAN Consensus ini adalah masih menyediakan ruang dalam penyusunan Rencana Aksi (Action Plan) di tingkat regional. Pertanyaannya akankah pemerintah negara-negara ASEAN mengulangi kesalahannya dengan tidak melibatkan pekerja migran dalam pembahasan Rencana Aksi tersebut? Hal terpenting lainnya adalah Rencana Aksi ini harus dapat mendorong perbaikan sistem hukum nasional negara-negara ASEAN untuk semakin menghargai, memajukan, dan melindungi hak-hak pekerja migran, dan bukan sebaliknya.

Oleh karena itu organisasi masyarakat sipil memandang Rencana Aksi ini harus memiliki kekuatan dan terdesiminasi dengan baik melalui kerjasama lintas sektoral di badan-badan dan pemerintah negara-negara ASEAN. Rencana Aksi ini juga harus bersifat terbuka (accountable), dapat dipertanggungjwabkan, dan inklusif dengan melibatkan multi stakeholders di ASEAN mulai dari sektor perempuan, anak, disabilitas, pendidikan, kesehatan, penagakan hukum, dll.

Narahubung:
Awigra, HRWG +62 817-6921-757
Savitri, Seknas JBM +62 821-2471-4978
Risca, Solidaritas Permepuan +62 812-1943-6262
Hariyanto, SBMI +62 852-5930-7953
Enny, LBH Jakarta +62 857-1145-7214




Kemnaker Meminta Rekomendasi CSO dalam Penyusunan Peraturan Turunan

Pada tanggal 15 November 2017 di Savero Hotel, Bogor diselenggarakan Focus Group Discussion (FGD) antara Kementerian Ketenagakerjaan dan CSO. Dalam acara tersebut, beberapa CSO yang hadir meliputi, JBM, SBMI, KSPI, LBH Jakarta, HRWG, Kabar Bumi, Nexus Insititute, dll. Output FGD tersebut bertujuan untuk diseminasi terkait substansi yang diatur dalam UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang telah disahkan di paripurna. Terdapat 3 hal yang didiskusikan yakni; Pertama, sosialisasi pemerintah yang sedang merancang one channel system untuk pelayanan buruh migran dan ekspansi Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Kedua, pemerintah meminta rekomendasi dari CSO terkait dengan penyusunan Peraturan Turunan. Ketiga, mengenai kebijakan dengan Negara penempatan (MoU).

Pada pembahasan yang pertama, pemerintah akan menggalakkan program One channel system yang bermanfaat untuk merangkum semua pengaksesan pelayanan informasi dan data dari tingkat desa hingga pusat. Artinya, seluruh database job order harus di approval oleh Kemnaker dan akan menambah jumlah LTSA di 54 kantong TKI. Dalam LTSA, pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. LTSA bertujuan untuk efektivitas penyelenggaraan pelayanan Pekerja Migran dan efisiensi & transparansi dokumen calon pekerja migran. Di dalam LTSA terdapat:
1.  BLK (balai latihan kerja). Dengan adanya BLK, maka mengeaskan bahwa peran PPTKIS hanya sebagai marketing penempatan dan tidak melakukan pelatihan kerja.
2.    Disnaker, pengurusan ID TKI dan rekomendasi paspor
3.   Dukcapil sebagai screening untuk pendataan  memverifikasi KTP dan KK, mengamankan KTP dan diganti surat keterangan pindah ke LN.
4.    BPJS/perlindungan jaminan sosial dengan harga Rp.370rb/33 bulan
5.  Dinas Kesehatan bertugas untuk screening medical check up dengan harga Rp 670rb (full medical check up). Di sini Kementerian Kesehatan harus aktif hadir
6.    Imigrasi, pengurusan paspor
7.   Polda, pengurusan SKCK
8.   BNP2TKI, masih dipertanyakan akan bertugas seperti apa. Namun terdapat masukan yang diakomodir bahwa BNP2TKI akan menjadi penyelesaian sengketa peradilan.

Dalam pembahasan kedua, perlu rekomendasi untuk memperkuat penyusunan Peraturan Turunannya yang terdiri dari 12 PP, 12 Permen, 1 Perpres dan 3 Perka Badan. Hal ini bertujuan agar UU PPMI yang bernyawa perlindungan bagi buruh migran dapat terwujud secara maksimal. Beberapa usulan CSO dalam perbaikan kebijakan meliputi:
1.     Sanksi administrasi bagi korban jangan sampai dikenakan. Akan menjadi reminder
2.    LTSA agar tidak menjadi bottle neck karena Kades memiliki potensi “sebagai calo” maka usulannya agar pengawasan tidak hanya pada PPPTKIS tetapi juga di penyelenggaraan penempatan termasuk di LTSA.
3.    Kewarganegaraan PMI yang menikah di sana menjadi kewenangan Kemlu. Akan kita akomodir untuk masukannya
4.   Database, pengawasan di setiap proses, penanganan kasus, LTSA akan di daerah, koordinasi terkait penandatangan MoU harus melibatkan instansi pemerintah yang terkait tidak hanya Kemnaker tetapi Kemenlu dan dalam proses pembuatan MoU harus tripartite
5.     Dalam pembuatan kebijakan hrs melibatkan buruh migran yang di LN.

Dalam pembahasan ketiga, kebijakan dengan Negara penempatan. Untuk kondisi saat ini, MoU di wilayah Timur Tengah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Kawasan Timur Tengah, namun 2 tahun kedepan akan dikaji kembali untuk penempatan di Arab Saudi (akan diperbaiki MoUnya atau diteruskan).
R. Soes Hindharno (Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri) mengungkapkan bahwa Kepmen 260 tidak akan diganggu atau di revisi tapi kita akan evaluasi ke beberapa negara dan piloting misalnya di UEEA (Dubai). Di Arab (Riyadh dan Jeddah). Akan dibuka untuk piloting untuk jumlah tertentu, jangka waktu kerja ditentukan hal ini karena Arab Saudi masih menggunakan sistem Khafallah. MoU di wilayah Asia Pasifik juga mengalami hal yang sama, sudah habis masa berlakunya/expired. Dalam menanggapi UU PPMI ini, pemerintah sedang dalam proses melakukan pembenahan atau review terhadap Struktur Biaya Penempatan (Cost Structure) untuk wilayah Malaysia, Taiwan, Singapura. Namun, Erwina Kemnaker mengungkapkan bahwa yang menjadi kendala saat ini adalah MoU penempatan tenaga kerja tidak lagi dilakukan oleh menaker (tidak kementerian dengan badan).


Task Force Migrant Workers Dalam Global Summit 2017: Akui Buruh Migran Sebagai Pekerja Untuk Meningkatkan Perlindungan dan Kontribusi Migran Dalam Pembangunan

Jakarta, 22 Agustus 2017, Global Summit Kongres Diaspora ke-4 digelar di Jakarta. Gugus Tugas Pekerja Migran (Task Force on Migrant Workers) sebagai salah satu komponen Jaringan Diaspora Indonesia (Indonesian Diaspora Network) berhasil menyelenggarakan 5 kegiatan sesi paralel dalam sehari. Sesi  forum paralel ini  dengan mengangkat isu  pengakuan  buruh migran sebagai pekerja dan penguatan perlindungan dalam RUU PPMI serta  peran migran untuk pembangunan Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui pekerja migran Indonesia di luar negeri bekerja di berbagai sektor, mulai sektor domestik, konstruksi, kelautan, perkebunan, perminyakan, perbankan, TIK, dan sektor lainnya. Tantangan dan persoalan yang dihadapi cukup kompleks dan berbeda dari satu sektor ke sektor lainnya.

Koordinator Task Force Migrant Workers Didi Yakub menjelaskan bahwa dalam kongres kali ini selain berusaha untuk mengangkat tema di atas juga berbagi tentang tantangan migran ke depan sebagai perubah kebijakan dan pengakuan migran dalam diaspora sebagai kelompok besar yang juga memberikan kontribusi besar terhadap Indonesia. 

Task Force Migrant Workers juga mendatangkan Erwiana Sulistyaningsih sebagai narasumber yang berbagi cerita dan  pengalamannya sebagai seorang korban yang bangkit dan setelah mendapatkan keadilannya dia juga turut aktif melakukan pendampingan dan kerja advokasi.. Disamping Erwiana, pembicara lainnya adalah Hariyanto dari Serikat Buruh Migran Indonesia dan Yuni Asriyanti dari Komnas Perempuan yang mengangkat isu gagalnya perlindungan negara untuk migran dan tentang dampak hukuman mati bagi  buruh migran dan anggota keluarganya.

Sesi ke dua mengangkat tema tentang pengakuan kerja layak (decent work) terhadap pekerja migran. Tema ini dihubungkan dengan isi revisi UU No 34/2004 yang sudah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah. Narasumber yang hadir adalah Wahyu Susilo (Migrant Care) yang mengangkat isu pekerja tidak berdokumen yang belum mendapatkan pengakuan dalam revisi UU No 39/2004 dan  Savitri Wisnuwardhani (Seknas JBM) mengangkat tentang persoalan dalam pembahasan revisi serta Sringatin (Gugus Tugas Pekerja Migran – Hongkong) yang menyampaikan kritik buruh migran dalam revisi yang dalam proses pembahasanya tidak melibatkan buruh migran diluar negeri sehingga isi UU ini tidak mengakomodir harapan migran untuk dilindungi oleh negara namun peran swasta yang masih mendominasi dari proses migrasi.

Sesi berikutnya mengusung tema “Indonesia Memanggil” yang intinya membahas program re-integrasi yang berkelanjutan terhadap pekerja migran yang berniat pulang ke Indonesia untuk selamanya. Dalam sesi Ir Agusdin Subiantoro M. MA (Deputi Penempatan BNP2TKI), Mulyadi (Migrant Care), Dian Winarsih (HOME Singapura) dan Tantri Sakhina (Taiwan). Memberikan gambaran tentang keterlibatan  aktor negara dan non-negara dalam bersinergi dan berkolaborasi untuk mengembangkan dan mensukseskan program perlindungan dengan penguatan migran dan anggota keluarganya dalam program reintegrasi.
Sesi ke empat mengangkat tema penguatan kompetensi baik dalam bersaing di luar negeri maupun meningkatkan kontribusi pekerja migran terhadap pembangunan di Indonesia. Sesi ini menampilkan Doddy Dwinanda (Principal Planner, JTC Corporation, Singapura), Juliana Tompodung (KK3 – SKKMIGAS), David Muflihano (One HR – Indonesia), Dessy Arnas (Red Indo), dan Khairul Anshar (Vice President Code4Nation, Singapura).

Sesi paralel terakhir mengangkat tema “Diaspora untuk Diaspora. Sesi  mengangkat berbagai pengalaman diaspora Indonesia di Singapura  dalam mengembangkan pendidikan entrepreneurship, penguatan buruh migran di Singapore dari diaspora Indonesia untuk sesama diaspora lainnya khususnya mereka yang bekerja di sektor rumah tangga. Narasumber sesi ini Theresia Kurniawan (Program Manager, Development, Singapura), Sri Rejeki Widjaja (Volunteer Manager, Development, Singapura, dan Ir. Antonius Tanan (Presiden Ciputra Entrepreneurship Centre, Jakarta, yang menceritakan tentang tantangan dalam membangun komunitas diaspora di Singapore, keberhasilan dan tantangan dalam menjalan  program penguatan dan entrepreneurship di Singapore.

Didi Yakub menjelaskan bahwa kedepan Task Force Migrant Workers ( TFMW) akan memperkuat keanggotan dan kepengurusan dengan menambah keanggotan serta  mempromosikan peran aktif dan kontribusi buruh migran dalam diaspora. Harapan kedepan TFMW akan terus bersinergi dengan berbagai kalangan  untuk berbagi informasi dan melakukan advokasi  kebijakan demi terwujudnya perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya serta penguatan dan pemberdayaan ekonomi buruh migran, mantan buruh migran beserta anggota keluarganya.

Sambut Sidang Komite CMW PBB Sebagai Momentum Perbaikan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

[Jakarta, 31 Agustus 2017] – Sebagai negara pihak Konvensi Pekerja Migran PBB sejak tahun 2012, untuk pertama kalinya, Indonesia akan disidang oleh Komite CMW PBB (Committee on Migrant Workersuntuk Pekerja Migran pada 4-6 September 2017 di Jenewa, Swiss. Pemerintah Indonesia telah menunaikan kewajibannya dengan mengirimkan laporan pertamanya (initial report) pada April tahun ini. 
HRWG, sebagai presidium advokasi internasional Jaringan Buruh Migran (JBM), telah memfasilitasi dan berhasil menyusun laporan alternatif yang telah dikirimkan ke Komite. Berikut link dari laporan alternative yang dikirimkan kepada Komite CMW PBB :
Isi laporan alternatif tersebut di antaranya adalah mendorong Komite untuk merekomendasikan harmonisasi Konvensi Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya kepada pemerintah Indonesia di dalam revisi UU 39/2004. Sejauh ini, revisi yang sedang berlangsung di parlemen sudah memasukkan Konvensi sebagai salah satu konsiderannya. Dari draft terakhir, terkesan masih adanya monopoli atau dominasi peran PPTKIS dalam perekrutan pekerja migran. PPTKIS bebas melakukan rekrutmen dan tidak memiliki standar perekrutan di antaranya mencakup soal kurikulum, kemampuan dasar bagi calon pekerja migran, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan persoalan beban biaya lebih atau overcharging yang ditanggung pekerja migran sementara, jika terjadi kasus terhadap pekerja migran, banyak sekali PPTKIS yang lepas tanggung jawab.
Laporan alternatif juga mengevaluasi tidak efektifnya bilateral agreement atau MoU dalam melindungi pekerja migran dari pelanggaran HAM (pidana dan ketenagakerjaan), di antaranya MoU dengan Malaysia yang sudah habis masa berlakunya namun hingga saat ini pemerintah belum memperbaharuinya. Sementara masih ada perekrutan pekerja migran Indonesia ke Malaysia dan terakhir terjadi kasus 695 pekerja migran tidak berdokumen yang ditangkap awal Juli 2017 lalu. Selain itu, MoU dengan Arab Saudi juga minim mengadopsi konten perlindungan dari Konvensi. Bukan merevisi, Indonesia justru mengeluarkan Kepmen No.260/2015 yang melarang pengiriman pekerja migran ke negara-negara Timur Tengah.
Laporan alternatif juga mendorong peran Komnas HAM sebagai lembaga negara untuk memastikan negara menjalankan kewajibannya dalam perlindungan HAM. Hingga saat ini Komnasham tidak fokus menangani isu pekerja migran. Pelaporan dan penanganan kasus pekerja migran hanya bersifat kompilasi.
Laporan juga mengkritisi peran crisis center BNP2TKI untuk mekanisme komplain dan pelaporan kasus pekerja migran tidak menjawab rasa keadilan karena hanya menggunakan proses mediasi dan tidak litigasi padahal ada unsur kepolisian di dalamnya namun tidak digunakan untuk investigasi.
Untuk soal jaminan sosial pekerja migran, laporan alternatif telah memasukan perkembangan di dalam revisi UU 39/2004 yang memasukkan pekerja migran dalam SJSN yakni BPJS Ketenagakerjaan. Namun BPJS tidak memberi jaminan resiko atas adanya pemecatan sepihak, dipindah-pindahkan majikan, pemulangan bermasalah, kegagalan berangkat, dan kasus pemerkosaan  dan tindak kekerasan seksual terhadap pekerja migran. Padahal hal tersebut rentan terjadi terhadap pekerja migran. 
Laporan juga mendesak Indonesia utuk segera meratifikasi KILO 189 tentang Kerja Layak. Sementara, pada saat yang bersamaan Indonesia juga belum memiliki UU yang mengatur pekerja domestik atau PRT. Padahal, kasus pekerja migran di luar negeri yang mayoritas terjadi terhadap PRT, khususnya perempuan. Hal ini, sejalan dengan ini rekomendasi UPR untuk segera meratifkasi KILO 189.
Hal lain adalah soal hak-hak anak pekerja migran yang sulit mendapatkan sertifikat kelahiran dan pendidikan di dalam dan luar negeri. Padahal hal tersebut adalah hak dasar bagi anak-anak pekerja migran yang terdapat dalam Konvensi. Hal ini banyak terjadi pada anak-anak pekerja migran di Malaysia dan Arab Saudi.
Adopsi agenda sesi ke-27 dilanjutkan dengan pertemuan informal dengan organisasi masyarakat sipil dan Lembaga Komnas HAM pada Senin, 4 September 2017. Sidangnya sendiri (Consideration of Reports submitted by states party) akan berlangsung Selasa, 5 September 2017 pukul 13.00-18:00 dan dilanjutkan pada Rabu, 6 September dari pukul 10.00-13:00 waktu Jenewa.  Dari Perwakilan JBM yang hadir dalam sidang tersebut adalah Yuyun Wahyuningrum dari HRWG.
HRWG berharap, sidang Komite akan mendorong standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Konvensi tersebut mendorong negara agar semakin menyelaraskan perundang-undangannya dengan standar universal yang termaktub di dalam Konvensi tersebut.

Narahubung
Daniel Awigra (HRWG)           : +62 817 6921 757
Bobby Alwy (SBMI)                  : +62 852 8300 6797
Savitri Wisnu (SekNas JBM ) : +62 821 2471 4978
Enny Rofiatul (LBH Jakarta ) : +62 857 1145 7214

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan