
Meski demikian menurut Daniel Awigra, Program Manager Advokasi HAM
dan ASEAN, Human Rights Working Group (HRWG) menilai kemajuan dari ASEAN Consensus ini tidaklah signifikan. Pertama, secara
hukum status dokumennya yang tidak mengikat sehingga sulit untuk menagih
komitemen negara-negara ASEAN di dalam implementasinya.
Kedua, secara politik, ASEAN Consensus adalah gambaran cara kerja ASEAN yang masih state-interest driven dan
belum bekerja sesuai visi ASEAN yaitu “People Centered and People Oriented” di mana pemangku utama dari
setiap kebijakan di ASEAN adalah masyarakat ASEAN, bukan sekadar pemerintah. Proses penyusunannya tertutup selama delapan tahun, dan hampir sama sekali tidak
melibatkan pekerja migran sebagai pemangku
kepentingan utama. Sehingga hasilnya masih sebatas pengakuan negara terhadap
berbagai hak dasar buruh migran oleh pemerintah ASEAN, namun dalam
pelaksanaannya masih harus tetap tunduk di bawah supermasi hukum nasional.
Ketiga soal keberpihakkan ASEAN Consensus, belum menunjukkan keberpihakkan utamanya terhadap
kepentingan terbaik untuk buruh migran, misalnya bagaimana komitmen memajukkan
kerja dan upah layak, serta bagaimana keberpihakkannya pada isu yang paling
rentan seperti pada isu buruh migran perempuan di sektor domestik.
Selanjutnya, ASEAN Consensus juga tidak memasukkan
Instrumen Internasional untuk Hak-Hak Penyandang Disabilitas, Konvensi ILO, dan
SDGs sebagai konsideran untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran.
Padahal Konvensi Penyandang Disabilitas sudah diratifikasi oleh sepuluh negara
ASEAN.
Savitri
Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai hak-hak fundamental
untuk pekerja migran yang tertera dalam ASEAN Consensus sangat jelas
memperlihatkan kepentingan-kepentingan negara yang terdikotomi sebagai negara
tujuan (receiving states) dan negara asal (sending states) dan
minim pengawasan sehingga pemajuan hak-hak pekerja migran di ASEAN kedepan
belum dapat memberikan perlindungan seutuhnya bagi pekerja migran.
Risca Dwi dari Solidaritas Perempuan
menyesalkan instrumen ini karena meskipun ada artikel-artikel yang merujuk pada
hak-hak buruh migran dengan perspektif jender namun tidak ada pengakuan turunan
terhadap hak-hak spesifik perempuan seperti hak reproduktif dan kesehatan
reproduksi. Padahal banyak kasus pekerja domestik perempuan yang di PHK sepihak
karena hamil atau mengalami gangguan kesehatan reproduksi karena beban kerja
dan kekerasan yang dialaminya selamanya bekerja. Bukan hanya itu, hak
mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan publik untuk anak pekerja migran
baik yang ikut serta dalam migrasi maupun yang ditinggalkan di negara asal juga
tidak disebutkan dalam konsensus ini. Selain itu, konsensus ini masih berpijak
pada paradigma komoditisasi buruh migran karena setidaknya masih terdapat
istilah negara pengirim (sending country) dan negara penerima (receiving
country).
Hariyanto,
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) megharapkan ASEAN harus dapat
mewujudkan visi “people centered, people
oriented” dalam implementasi ASEAN Consensus yaitu dengan mengedepankan
kepentingan utama (best interest)
dari pekerja migran yaitu, menciptakan kerjala layak pekerja migran khsuusnya
pekerja domestik, informal, dan berkeahlian rendah berdasarkan Konvensi
International Labour Organization (ILO), pembentukan mekanisme untuk mengurangi
pekerja migran tidak berdokumen, adanya jaminan sosial, pemenuhan hak-hak
pekerja migran, dan pekerjaan yang produktif untuk pekerja migran.
Enny
Rofiatul, Pengacara Publik LBH Jakarta meragukan mekanisme penyelesaian
sengketa dalam ASEAN Consensus terkait kasus pekerja migran. Seperti sudah
diketahui, Indonesia seringkali meradang terhadap kasus pekerja migran yang
terjadi di Malaysia namun tidak ada penyelesaian yang dilakukan berdasarkan hukum
yang berlaku di negara tersebut. Di tingkat ASEAN sendiri terdapat Protokol
penyelesaian sengkata antar negara yang mengacu kepada Piagam ASEAN.
Prosedur
ini menjelaskan secara spesifik bagaimana sebuah komplain dapat diajukan dalam
konsultasi dan terdapat batasan waktu yang diminta untuk respon dari pihak
terkait komplain tersebut. Namun sayangnya mekanisme ini juga tidak berjalan
sesuai aturan, karena jika pihak terkait tidak memberikan persetujuan untuk
memberikan respon maka penyelesaian sengketa akan dibawa pada proses mediasi,
rekonsiliasi, dan arbritasi. Perlu di ketahui di ASEAN saat ini tidak ada
mekanisme tribunal maka mustahil bagi kasus pekerja migran untuk dapat
diselesaikan melalui mekanisme pengadilan regional.
Yang harus diapresiasi dari ASEAN Consensus ini adalah masih menyediakan ruang dalam penyusunan Rencana
Aksi (Action Plan) di tingkat regional. Pertanyaannya
akankah pemerintah negara-negara ASEAN mengulangi kesalahannya dengan tidak
melibatkan pekerja migran dalam pembahasan Rencana Aksi tersebut? Hal terpenting lainnya adalah Rencana
Aksi ini harus dapat mendorong perbaikan sistem hukum nasional negara-negara
ASEAN untuk semakin menghargai,
memajukan, dan melindungi hak-hak pekerja migran, dan bukan sebaliknya.
Oleh
karena itu organisasi masyarakat sipil memandang Rencana Aksi ini harus
memiliki kekuatan dan terdesiminasi dengan baik melalui kerjasama lintas
sektoral di badan-badan dan pemerintah negara-negara ASEAN. Rencana Aksi ini juga
harus bersifat terbuka (accountable),
dapat dipertanggungjwabkan, dan inklusif dengan melibatkan multi stakeholders
di ASEAN mulai dari sektor perempuan, anak, disabilitas, pendidikan, kesehatan,
penagakan hukum, dll.
Narahubung:
Awigra, HRWG +62
817-6921-757
Savitri,
Seknas JBM +62 821-2471-4978
Risca,
Solidaritas Permepuan +62 812-1943-6262
Hariyanto,
SBMI +62 852-5930-7953
Enny, LBH
Jakarta +62 857-1145-7214