Tanggal 30
April 2017, Presiden Joko Widodo dijadwalkan akan ke Hongkong setelah dari
Filipina. Menurut informasi dari berbagai media, agenda utama ke Hongkong
adalah bertemu dengan para pekerja migran Indonesia yang bekerja di sana dan
selanjutnya akan diadakan serangkaian kegiatan salah satu pertemuan bisnis
untuk meningkatkan investasi dan kerjasama di bidang budaya.
Para
pekerja migran Indonesia yang hampir mayoritas bekerja sebagai Pekerja Rumah
Tangga (PRT) juga akan melakukan serangkaian kegiatan seperti parade migran dan
aksi yang isinya menyampaikan tuntutan buruh migran di berbagai negara tujuan
bekerja.
Jaringan
Buruh Migran (JBM), merupakan koalisi 28 organisasi yang berada di Indonesia
dan di luar negeri termasuk di Hongkong, dimana sejak tahun 2010 telah aktif
mengawal pembahasan revisi UU 39/2004 dan kebijakan pemerintah lainnya. Dari
kebijakan yang masih harus diperbaiki dalam revisi salah satunya adalah
perbaikan tata layanan migrasi pekerja migran Indonesia tidak hanya di dalam
negeri maupun di luar negeri. Di Hongkong sendiri, pelayanan tata kelola
migrasi pekerja migran yang dilakukan oleh KJRI Hongkong masih belum maksimal.
Data kasus yang diterima oleh SBMI selama dua tahun terakhir (2015 – 2017) ada
1.501 pengaduan dari berbagai negara. Khusus Hongkong yang selama ini dianggap
lebih baik memberikan perlindungan bagi pekerja migran, ternyata masih
banyak mengalami masalah (215 kasus) dimana 93% adalah kasus pelanggaran
perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan
biaya yang mahal/overcharging.
Lebih
lanjut lagi menurut Hariyanto dari SBMI, dari 93% kasus overcharging, para
pekerja migran tidak mengetahui dan tidak memegang dokumen perjanjian
penempatan. Padahal perjanjian penempatan yang diatur dalam Permen No 22 Tahun
2014 sudah mengatur komponen biaya penempatan di negara Hongkong. Bila saja
pengawasan kontraktual mulai dari masa pra penempatan sudah dilakukan, maka
permasalahan overcharging akan dapat diminimalisir. Hariyanto juga
mempertanyakan pengawasan KJRI terhadap mitra kerja PPTKIS atau agency di
Hongkong karena yang melakukan overcharging tidak hanya ulah PPTKIS tetapi juga
agency di Hongkong. Sedangkan menurut PP No 04 Tahun 2015, pengawasan di luar
negeri menjadi domain Kemenlu melalui Perwakilan RI.
Nursalim,
Migrant Institute menambahkan, berbagai persoalan yang ada di Hong Kong hingga
kini masih belum terselesaikan. Berbagai persoalan tersebut di antaranya ialah,
pelayanan KJRI yang kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, SIMKIM,
narkotika, PHK sepihak, hingga jual beli job.
Untuk
pelayanan pemerintah, sebagian besar para pekerja migran tidak mendapatkan
respon yang cepat ketika mengadukan permasalahannya ke KJRI. Hal ini
menyebabkan para pekerja migran lebih memilih mengadukan permasalahannya ke NGO
lokal, serikat buruh lokal, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Adapun
permasalahan paspor biometrik berbasis SIMKIM, menurut Nursalim ini justru
menjadi dilema bagi para pekerja migran yang berada di Hong Kong. Pasalnya,
sebelum kebijakan SIMKIM diterapkan, pemalsuan data terhadap pekerja migran
Indonesia yang berangkat melalui PJTKI masih sering terjadi. Tata kelola
penempatan TKI yang buruk di dalam negeri mengakibatkan TKI harus berhadapan
dengan masalah hukum di negara penempatan. Selain itu, mereka terancam
dipulangkan dan tidak bisa kembali bekerja lagi ke Hong Kong akibat sistem SIMKIM.
Untuk
pekerja migran perempuan, mereka mendapat posisi rentan atas pekerjaannya
sebagai domestic worker. Kondisi pekerjaan mereka di antaranya jam kerja
berlebih, mendapat kekerasan fisik maupun psikis, dipindahkerjakan, mendapat
pelecehan seksual, hingga tak diberi gaji.
Selama
menerima pengaduan, Migrant Institute paling banyak mendapat pengaduan dari
negara Hong Kong. Di tahun 2016 saja, Migrant Institute menerima pengaduan
sebanyak 22 kasus. Jika dijumlah dari 2011 hingga 2016, Migrant Institute sudah
menerima pengaduan sebanyak 211 kasus dari negara Hong Kong. Secara
keseluruhan, hampir di tiap tahun angka ini menduduki peringkat pertama
(kecuali pada tahun 2015).
Adapun data
penempatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) tahun 2016, jumlah penempatan TKI di Hong Kong tercatat 3.877 orang.
Angka itu bertambah naik menjadi 4.695 di tahun 2017 (Januari - Maret 2017).
Angka itu menduduki peringkat ketiga terbesar dari beberapa negara penempatan
yang tercatat di BNP2TKI.
Savitri
Wisnu, SekNas JBM melihat permasalahan pekerja migran di Hongkong dikarenakan
oleh tata kelola migrasi yang minim. Tata kelola yang minim tidak hanya di
Hongkong tetap di Indonesia juga. Misalnya layanan dalam hal penanganan kasus,
pekerja migran harus mendatangi tiga instansi pemerintah dan menuliskan ulang
kronologis kasusnya karena kewenangan ketiga instansi tersebut berbeda-beda.
Akibatnya, pekerja migran yang dirugikan dalam hal ini karena dia harus ke tiga
instansi dan meminta update ketiga instansi yang ada. Kelembagaan dan layanan
yang terkoordinasi dengan baik, terintegrasi, tidak tumpang tindih, pengawasan
yang terukur dan tidak menyerahkan tata kelola migrasi kepada swasta
diharapkan akan tercipta melalui revisi UU 39/2004.
Anggota JBM
dalam hal ini, HWRG menyoroti pelayanan perlindungan di empat negara
tujuan bekerja salah satunya di Hongkong. Dari hasil wawancara dan assessment
yang dilakukan, Daniel Awigra, HRWG, melihat ada dua hal dalam masalah
pelayanan ini, pertama, perlakuan dan pelayanan KJRI terhadap pekerja migran
masih diskriminatif. Para pekerja migran Indonesia statusnya dianggap lebih
rendah dari WNI yang ada di Hongkong. Hal ini terlihat dari cara pelayanan dan
keramahan staff KJRI Hongkong terhadap pekerja migran Indonesia saat memproses
pengaduan dan aplikasi dokumen kerja. Kedua, dalam hal layanan pemberian
informasi juga masih terbatas. Misalnya tidak adanya pengumuman atau
sosialisasi kepada publik yang dapat dijangkau oleh para pekerja migran di
Hongkong mengenai daftar agensi yang diakreditasi di Hongkong. Padahal
informasi tersebut penting untuk mencegah pekerja migran yang ingin
memperpanjang kontrak dengan agency yang memiliki akreditasi buruk.
Melihat
kompleksitas persoalan buruh migran, khususnya perempuan, baik yang terjadi di
dalam maupun luar negeri, Risca Dwi, Solidaritas Perempuan mengatakan
"Sangat penting bagi pemerintah untuk mulai mengubah paradigma dari
melihat buruh migran sebagai komoditas menjadi manusia yang patut dilindungi
hak-haknya. Revisi UU No. 39/2004 harus mengedepankan prinsip pemajuan HAM,
non-diskriminasi, adil gender, transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.
Negara harus benar-benar hadir dalam melayani dan melindungi buruh migran dan
tidak lagi menyerahkan tanggungjawabnya kepada swasta"
Berdasarkan
data dan permasalahan diatas, Jaringan Buruh Migran dalam memperingati hari
Buruh Internasional 2017 mengingatkan dan mendesak pemerintah untuk :
- Memastikan bekerja keluar negeri adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan upah layak. Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan segala macam tool perlindungan mulai dari kegiatan pendidikan seperti bimbingan teknis dan kejuruan, kebijakan pendidikan yang mengarahkan seluruh warganegara Indonesia akan mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, membuat regulasi agar lapangan pekerjaan yang ada menjamin adanya pekerjaan, upah dan hidup layak
- Serius memperbaiki dan mengevaluasi tata kelola pelayanan dan perlindungan pekerja migran di KJRI Hongkong mulai dari pelayanan job order, informasi mengenai black list agency, layanan pengurusan dokumen kerja, layanan penanganan kasus mulai dari hotline hingga penanganan kasus secara litigasi dan non litigasi dengan prinsip berperspektive pada korban, non diskriminasi, transparant, cepat, akuntable dan berkeadilan.
- Serius dalam membahas isi revisi UU 39/2004 sesuai dengan prinsip perlindungan secara menyeluruh berdasarkan Konvensi PBB 1990 dan CEDAW. Isi pasal-pasal revisi harus: (a) Menjamin hak dan perlindungan bagi pekerja migran dengan berdasarkan prinsip pemenuhan kepada HAM, keadilan, non diskriminatif, kesetaraan, transparant, akuntable dan partisipatif; (b) Meminimalisir peran berlebihan kepada PPTKIS dan menyerahkan tanggungjawab yang lebih besar kepada Negara; (c) Menjamin dan memastikan adanya tata kelola migrasi yang aman bagi pekerja migran termasuk didalamnya adanya mekanisme koordinasi dan sinkronisasi peran antar pemerintah baik antara pemerintah pusat maupun antara pemerintah pusat dengan daerah agar tidak terjadi saling tumpang tindih, overlapping implementasi kebijakan, yang justru akan merugikan pekerja migran mulai dari masa sebelum bekerja hingga pekerja migran Indonesia pulang ke daerahnya.
- Memasukkan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia (RUU PPRT) kedalam Prolegnas Prioritas agar RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan sebagai bentuk pengakuan terhadap pekerjaan rumah tangga
- Segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan
Jakarta, 30
April 2017
Jaringan
Buruh Migran (JBM)
SBMI, KSPI,
KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda,
KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta,
LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta,
Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM,
Migrant Aids, Institute for Ecosoc Rights, JBM Jawa Tengah
Narahubung
:
Savitri
Wisnu : 0821 24714978 / Hariyanto : 085259307953 / Nursalim : 08118163691
Tidak ada komentar:
Posting Komentar