Terlebih, pasca-penetapan moratorium ke 19 negara di Timur Tengah berdasarkan Kepmen 260/2015 tentang pelarangan penempatan PLRT pengguna perseorangan ke wilayah Timur Tengah yang berlaku efektif pada 1 Juli 2015, kasus trafiking buruh migran Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Dari 2016 SBMI menangani 106 kasus buruh migran yang ditempatkan ke Arab Saudi dan 65 orang sudah berhasil dipulangkan. Dari keseluruhan kasus yang ditangani sebenarnya sudah memenuhi unsur TPPO. Namun kasus-kasus stersebut tidak sampai dibawa ke ranah hukum karena faktor korban tidak bersedia meneruskan proses kasusnya. Pada Januari 2017 sudah ada tiga kasus TPPO ke Timur Tengah. Dua di antaranya sudah dipulangkan. Dan satu orang gagal berangkat karena job order palsu.
Meskipun sudah ada aturan penghentian dan larangan bekerja sebagai PRT untuk pengguna perseorangan di Timur Tengah, penempatan buruh migran Indonesia PRT yang dilakukan oleh PPTKIS maupun oleh perseorangan masih terus berjalan. Mereka menggunakan tiga modus penempatan yakni, pertama, manipulasi job orders; penempatannya prosedural sesuai dengan penempatan biasa dengan menggunakan visa yang diperlukan untuk bekerja di sektor formal namun setelah sampai di Arab Saudi visa kerja tersebut tidak berlaku dan dipekerjakan sebagai PRT dan “direntalkan”. Kedua, modus menggunakan visa umroh dan ketiga, menggunakan visa ziarah.
Dalam penanganan kasus TPPO, sering kali kasus TPPO lemah dalam penegakan hukum. Meskipun sudah memenuhi unsur proses, cara dan tujuan, bagi tersangka untuk melakukan eksploitasi terhadap pihak-pihak yang rentan, namun sanksi yang diberikan kepada para pelaku, terutama bila pelaku yang bersangkutan adalah perusahaan atau PPTKIS, sanksinya tidak maksimal. Misalnya PPTKIS yang melakukan kejahatan TPPO kerapkali hanya diberi sanksi berdasarkan UU39/2004. Di dalam UU 39/2004 pelanggaran bagi PPTKIS tersebut digolongkan sebagai pelanggaran administratif, padahal PPTKIS ybs juga melakukan pelanggaran pidana. Selain itu, sulitnya menghukum pelaku karena proses penanganannya memakan waktu dan tidak sedikit pelaku-pelaku memiliki kedekatan dengan keluarga korban.
Masih maraknya pengiriman BMI tidak prosedural ke Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah yang lain pasca-moratorium disebabkan juga oleh pemerintah belum maksimal dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan dan monitoring secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
Menyikapi permasalahan di atas, SBMI dan Jaringan Buruh Migran menyatakan:
- Pemerintah segera mengimplementasikan nota kesepahaman yang sudah disepakati oleh para pihak mengenai pemberantasan tindakan pidana perdagangan orang di mana anggotanya terdiri dari instansi-instansi pemerintah, yakni Kemenlu, Kementeraian Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, Kementerian Sosial, BNP2TKI, Kepolisian dan Mahkamah Agung, yang dibuat pada 2016.
- Kepolisian harus bertindak tegas untuk memberantas kasus-kasus TPPO dengan menggunakan UU 21/2007.
- Meminta komitmen Panja Komisi IX dalam revisi UU 39/2004 untuk memasukkan pasal-pasal sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan TPPO baik yang dilakukan oleh perseorangan atau korporasi; dan wajib ada pasal-pasal tentang pengawasan dan monitoring terhadap praktik-praktik kejahatan TPPO.
- Meminta komitmen dari Panja RUU 39/2004 (pemerintah dan Komisi IX DPR-RI) agar serius membahas revisi UU39/2004 sesuai dengan UU 6/2012 tentang ratifikasi Konvensi PBB 1990.
- Meminta Mahkamah Agung untuk menerbitkan peraturan mengenai mekanisme penghitungan restitusi bagi para korban TPPO.
- Sahkan RUU PPRT sesegera mungkin karena sebagian besar korban TPPO berprofesi dengan pekerja rumah tangga yang dipekerjakan secara paksa serupa perbudakan.
Jakarta, 30 Januari 2017
Hariyanto (SBMI): 0822-9828 0638
Savitri Wisnuwardhani (Jaringan Buruh Migran): 0821-2471-4978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar