Selasa,
25 April 2017 Jaringan Buruh Migran menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR-RI. Dalam RDPU tersebut, Dede Yusuf selaku
Pimpinan Panja RUU 39/2004 sekaligus Ketua Komisi IX DPR RI memberikan update
perkembangan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI)
antara Pemerintah dan DPR pada tanggal 16 – 18 April 2017 di Wisma DPR Kopo,
Jawa Barat. Dari informasi yang disampaikan bahwa Pemerintah dan DPR telah
menyepakati tujuh isu krusial yakni:
- Asuransi PMI dijamin oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pada prinsipnya, BPJS boleh mengembangkan program perlindungan jaminan sosial bagi PMI
- Penguatan Atase Tenaga Kerja (Atnaker) dengan memiliki kantor sendiri yang terpisah dari KBRI/KJRI. Atnaker akan memiliki fungsi antara lain melakukan pendataan terkait kedatangan, kepulangan, kelahiran, dan kematian. Selain itu juga melakukan verifikasi dan legalisasi job order, hingga melakukan kunjungan sampai ke penjara-penjara.
- Fungsi dan kewenangan Badan Pelaksana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (sekarang BNP2TKI) akan dibentuk melalui UU yang mencakup penempatan PMI yang sudah memenuhi persyaratan dan kompetensi kerja, menentukan penyelenggaran SJSN, melakukan penempatan dan perlindungan bersama-sama dengan KJRI dan Atnaker. Pengangkatan kepala badan akan ditunjuk melalui Peraturan Presiden.
- Fungsi dan kedudukan Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI) hanya di pemerintah pusat dan hanya sebagai marketing dan perlindungan.
- Peran dan fungsi pemerintah : Kementerian Tenaga Kerja pada pra dan purna penempatan mencakup antara lain menyelenggarakan pendidikan serta persyaratan administrative yang bentuknya berupa pelatihan vokasi dan sumber pendanaan akan diambil dari APBN pendidikan. Untuk peran pemerintah daerah pada pra penempatan mencakup penyediaan informasi job order sampai tingkat desa, melaksanakan pendidikan dan pelatihan baik oleh swasta dan pemerintah, memfasilitasi keberangkatan yang sudah siap bekerja. Sementara pada tahap untuk purna, pemerintah daerah berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan untuk PMI dan keluarganya.
- Dewan Pengawas yang diusulkan DPR, dihapuskan oleh DPR dan Pemerintah karena akan masuk dalam struktur BP3MI.
Adapun,
isu yang masih belum menemui kesepakatan adalah tentang pertanggungjawaban kelembagaan,
dimana pemerintah menghendaki BP3MI bertanggungjawab kepada Presiden melalui
Kementerian Ketenagakerjaan. Sementara DPR mengusulkan BP3MI bertanggungjawab langsung kepada Presiden
tanpa melalui Kementerian Ketenagakerjaan.
Pada
kesempatan ini, JBM menyampaikan sikap dan posisi terhadap RUU PPMI hingga
pasal per pasal dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Menurut Savitri W
selaku SekNas JBM, “penting untuk memasukkan prinsip partisipatif atau peran
serta masyarakat, kemudian mekanisme tata kelola pelayanan yang terintegrasi
dari desa hingga negara tujuan mulai dari pendataan, informasi, pelayanan
administrasi, penanganan kasus dan bantuan hukum serta pengawasan sesuai dengan
Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
juga penting dibuat”.
Boby
Alwi, Setjen SBMI menggarisbawahi tentang penguatan kewenangan pemerintah desa,
penguatan pegawai fungsional ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja, Jaminan sosial
PMI dengan tidak menghapus 13 resiko yang telah dijamin dalam skema asuransi,
peningkatan kompetensi yang dimaksud tidak dalam rangka meniadakan jabatan
pekerja rumah tangga (PRT). Lebih lanjut disampaikan bahwa KBRI/KJRI menerima
dan mengesahkan job order dari pemberi kerja yang telah diverifikasi oleh
pemerintah negara tujuan. Kewenangan KBRI/KJRI tidak hanya menyelesaikan kasus
ketenagakerjaan saja, tetapi juga kasus-kasus perdata dan pidana. Sementara
untuk sistem pendataan PMI perlu diperkuat agar tidak lagi diperlukan
penerbitan KTKLN.
Yatini
Sulistyowati, KSBSI melihat pentingnya penyelesaian perselisihan antara PMI
dengan PPPMI diakomodir dalam peradilan quasi atau peradilan khusus dibawah
Kementerian Ketenagakerjaan sebagai alternative penyelesaian sengketa. Selain
itu, Oky dari LBH Jakarta juga mengusulkan pencabutan beberapa pasal yang
tumpang tindih atau yang sudah diatur di dalam UU lain seperti pemalsuan
dokumen yang sudah diatur dalam KUHP.
Risca
Dwi, Solidaritas Perempuan menekankan pentingnya aspek gender dalam RUU PPMI
dimana mayoritas pekerja migran adalah perempuan yang bekerja disektor domestik
sehingga penting untuk segera membahas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
(RUU PPRT) dan ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT.
Penting juga untuk mengharmonisasikan UU No. 6 tahun 2012 tentang ratifkasi Konvensi
Migran 1990 dan UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
RUU
PPMI adalah moment yang penting untuk dikawal bersama termasuk dukungan media
untuk mengawal proses pembahasan agar semangat perlindungan dalam RUU PPMI ini
terjaga. Revisi UU PPMI diharapkan benar-benar mengakomodir masukan dari
masyarakat sipil termasuk serikat/organisasi pekerja migran.
Jakarta, 25 April 2017
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI,
KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda,
KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia,
UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS,
Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta,
TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aids Indonesia, Institute for Ecosoc
Rights, JBM Jawa Tengah
Narahubung
:
Savitri
W : 0821 24714978 / Boby Alwy : 0852
8300 6797 / Yatini S : 0853 1230 3209 / Risca Dwi : 0812 1943 6262
Tidak ada komentar:
Posting Komentar