Laman

Translate

Jaminan Sosial untuk Buruh Migran

Rilis Diskusi Tematik
Jaminan Sosial
20 Oktober 2015

Jaringan Buruh Migran (JBM) bekerja sama dengan Trade Union Rights Centre (TURC) melaksanakan diskusi tematik tentang jaminan sosial bagi buruh pada 20 Oktober 2015 lalu. Mengacu pada UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), jaminan sosial yang dijalankan oleh negara harus mencakup seluruh Warga Negara Indonesia. Secara bertahap pada tahun 2015 kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah mencakup jaminan sosial bagi WNI. Akan tetapi bagaimana halnya dengan buruh migran yang bekerja di luar Indonesia. Mengingat buruh migran Indonesia yang bekerja di negara penempatan memiliki risiko kerja tinggi, apakah BPJS dapat memberikan manfaat optimal pada buruh migran semenjak pra penempatan, penempatan hingga kepulangan? JBM dan TURC mengangkat tema diskusi yang bertajuk “Jaminan Sosial untuk Buruh Migran yang Lebih Sejahtera”.

Membuka diskusi, Bobby dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memaparkan bahwa masalah yang dialami buruh migran sangatlah kompleks. Menurutnya Bobby dari tiga tahapan yang ada tersebut, permasalahan yang paling mengakar yakni periode pra penempatan. Praktik percaloan sering terjadi pada masa pra penempatan, akibatnya terjadi pemalsuan dokumen, dan pelanggaran atas perlindungan dan penempatan buruh migran Indonesia. Percaloan mengakibatkan informasi yang diperoleh buruh migran tidak berimbang, masalah selanjutnya terjadi pula pada masa pelatihan. Kurangnya pengawasan dari pemerintah juga mengakibatkan tidak berimbangnya informasi yang didapat oleh buruh migran. Keterbatasan kemampuan bahasa ketika masa pelatihan di negara penempatan, menurut Bobby telah menjadi hambatan tersendiri.

Indra Munaswar selaku koordinator BPJS Watch memberikan pendapatnya mengenai pentingnya mendorong perubahan regulasi ketenagakerjaan Indonesia. Indra menekankan pentingnya cakupan jaminan sosial bagi buruh migran. Jaminan hari tua dan jaminan pensiun harus digagas agar dapat memihak kepada buruh migran yang bekerja tidak hanya di sektor formal, namun juga sektor domestik. Perencanaan perbaikan ini akan digagas untuk dapat menjadi masukan bagi UU No.39 Tahun 2004, agar terdapat harmonisasi antar UU Ketenagakerjaan dan UU BPJS.

Timboel dari BPJS Watch turut memberikan pendapat menarik dalam diskusi ini. Timboel mempermasalahkan peran PJTKI yang menurutnya seolah berperan seperti headhunters. Berperan sebagai pencari Tenaga Kerja Indonesia lalu kemudian lepas tangan ketika telah memasuki tahap pra penempatan. Salah satu permasalahan jaminan sosial bagi buruh migran yakni adanya penyalahgunaan klaim disebabkan tidak adanya batasan yang jelas mengenai tangguungan asuransi bagi buruh migran. Saat ini sedang digagas agar buruh migran dapat diterima sebagai peserta kategori Penerima Bantuan Iuran oleh BPJS. Jaminan sosial berhak untuk diterima oleh semua WNI, termasuk mereka yang bekerja di luar negeri. Kalaupun buruh migran dalam lokasi penempatan terpaksa menggunakan jaminan sosial selain BPJS, maka peran pemerintah harus lebih optimal untuk memastikan bahwa jaminan sosial bagi buruh migran Indonesia dapat berjalan optimal.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan