
Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
Adakah Peran Serikat Buruh dalam Perlindungan TKI?
Rabu, 4 November 2015 lalu Jaringan Buruh Migran bersama dengan TIFA Foundation, Institute for Ecosoc Right dan IOM mengadakan dua diskusi bertajuk “Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri”. Diskusi pada hari Rabu (4/11) ini merupakan yang pertama dari rangkaian agenda “Konsinyering Finalisasi Kertas Posisi dan Penyusunan DIM Revisi UU 39/2014 dengan Semangat Perlindungan menurut Konvensi PBB 1990”. Konsinyering tersebut dihadiri oleh berbagai elemen baik buruh, LSM maupun para ahli. Diselenggarakan di Hotel Ibis Arcadia sejak tanggal 4 hingga 6 November 2015.
Diskusi pertama menghadirkan narasumber Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H. Topik diskusi bersama Prof. Uwiyono yakni “Draf RUU PPILN Inisiatif DPR Apakah Sudah Menjawab Kebutuhan Bagi Pekerja Migran Indonesia Dilihat Kebijakan dan Implementasinya?”. Menurut Prof. Uwiyono, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan draf RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN). Mulai dari judul, Prof Uwiyono menyatakan “harusnya ‘Perlindungan Calon Pekerja dan Pekerja Indonesia di Luar Negeri’, karena yang diatur adalah calon pekerja pada saat pra-penempatan”. Selain memberikan masukan mengenai substansi judul, banyak hal lain yang juga dikritisi oleh Prof. Uwiyono.
Menurut dia, penting dalam pasal disebutkan kewajiban negara asal (Indonesia) untuk membuat bilateral agreement atau MoU disertai dengan sanksi hukum agar norma dapat mengikat. Di samping itu, peran pemerintah haruslah menjadi regulator, selanjutnya dengan demikian hal teknis mulai dari pemeriksaan, kesiapan dokumen dan hingga perpanjangan tangan ke tingkat daerah sebelum buruh ke luar negeri akan dilakukan oleh lembaga pra-penempatan. Lembaga pra-penempatan tidak hanya bertanggungjawab atas persiapan keberangkatan pekerja Indonesia ke luar negeri, akan tetapi juga masa kepulangan pekerja Indonesia tersebut. Sementara itu, untuk penempatan termasuk advokasi permasalahan yang dialami pekerja Indonesia selama di luar negeri dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia.
Pada diskusi tersebut muncul pertanyaan menarik mengenai peran serikat buruh terhadap permasalahan yang dialami buruh. Menurut Prof. Uwiyono, peran serikat buruh dapat dioptimalkan ketika masa pra-penempatan pekerja Indonesia ke luar negeri. Sedangkan apabila permasalahan yang dialami pekerja Indonesia terjadi di luar negeri di mana tempatnya bekerja, maka yang harus diperkuat yakni bilateral agreement. Aturan mengenai peran serikat buruh menurut Prof. Uwiyono sudah tertulis jelas dalam UU No.21 Tahun 2000. Berikutnya Prof. Uwiyono mengungkapkan “Tergantung masalahnya, kalau terjadi di dalam negeri, dokumennya ada di dalam negeri dan diadvokasi oleh serikat buruh di dalam negeri. Kalau terjadi di luar negeri ya yang mengadvokasi adalah serikat buruh yang berada di luar negeri”.
Poin terakhir yang tak kalah pentingnya yakni mengenai ruang lingkup dan jaminan sosial pekerja dalam Draf RUU PPILN ini. Prof. Uwiyono menegaskan bahwa BPJS tidak akan bisa mencakup jaminan sosial pekerja Indonesia di luar negeri, sehingga pekerja harus mengikuti aturan sesuai dengan tempatnya bekerja. Selain itu mengenai ruang lingkup, harapannya UU PPILN ini kemudian dapat mencakup secara umum dengan meletakkan perhatian lebih kepada pekerja domestik. Alasannya pekerja domestik seringkali lebih rentan memperoleh hak pekerja dan perlindungan pekerja sektor formal. Diskusi pertama ditutup oleh moderator.
Setelah diselingi istirahat makan siang, diskusi kedua dilanjutkan dengan nara sumber Dr. Drs. Karjono, S.H., M.H. Pak Karjono dihadirkan sebagai perwakilan Kementerian Hukum dan HAM RI, beliau menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham. Sesuai dengan amanah Pak Karjono di Kemenkumham, diskusi ini mengangkat topik “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Bidang PPILN”. Pak Karjono memaparkan bahwasanya RUU PPILN sendiri telah diajukan oleh DPR-RI kepada pemerintah dan kini statusnya masih dalam pertimbangan substansi oleh pemerintah.
Di sini dapat disimpulkan oleh Savitri selaku Seknas JBM bahwa ada beberapa poin penting yang dapat ditangkap dari pemaparan Pak Karjono yakni “kita harus fokus pada Perlindungan PILN, baru dalam advokasi dapat bersinggungan dengan UU lain.” Forum diskusi bersama Pak Karjono berlangsung menarik, Pak Karjono menyatakan bersedia menerima masukan untuk kemudian diinventarisir dan dialihkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan sebelum diharmonisasi oleh Kemenkumham.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar