
Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
Reintegrasi Sosial Buruh Migran
"Reinteregasi Sosial BMI"
1 September 2015
Jaringan Buruh Migran (JBM) pada 1 September 2015 lalu kembali mengadakan diskusi tematik dalam rangka menyusun rekomendasi draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPTKILN). Kali ini JBM mengangkat topik diskusi bertemakan “Membedah Problem Reinteregasi Sosial BMI dan Keluarganya”. JBM memandang bahwa buruh migran Indonesia seperti terjebak dalam siklus ekonomi kelas bawah. Permasalahan tersebut berangkat dari pemikiran JBM, bahwa di kampung halamannya, buruh migran tidak memiliki tanah pertanian. Sedangkan di untuk bersaing di perkotaan, buruh migran tidak memiliki ketrampilan yang mumpuni untuk dapat bersaing. Alhasil buruh migran lebih memilih untuk kembali bekerja ke luar negeri. Secara umum masyarakat lebih mengenal buruh migran dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia.
Ada tiga narasumber untuk dapat membuat diskusi berjalan dengan informatif, yakni Atik dari Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Agus Salim dari Migrant Institute Dompet Dhuafa dan Taufik dari Nexus Institute. Atik memaparkan bahwa RPTC memiliki perhatian terhadap buruh migran semenjak tahap pencegahan, penempatan hingga pemulangan. Sejauh ini sudah ada 20 RPTC yang tersebar di beberapa daerah dan memperoleh dukungan oleh Kementerian Sosial RI. Pada tahap pencegahan RPTC melaksanakan sosialisasi mulai dari turun langsung ke warga hingga koordinasi dengan pihak terkait setempat. RPTC mengutamakan partisipasi aktif warga setempat untuk dapat mengetahui dan saling membagi informasi demi mengenai isu buruh migran. Pada tahap pemulangan buruh migran yang mengalami permasalahan, RPTC sejauh ini mampu mengusahakan pemulangan buruh migran hingga ke tahapan provinsi dengan persyaratan tertentu. Tahap yang tak kalah pentingnya menurut Atik tentu tahap reinteregasi buruh migran pada keluarga dan masyarakat pasca pemulangan. RPTC melakukan pendampingan dan memberikan Usaha Ekonomi Produktif bagi sebagian buruh migran yang didampingi.
Tidak berbeda jauh dengan Atik dari RPTC, Agus Salim dari Migrant Institute menjelaskan bahwa sejauh ini perhatian organisasinya pada bidang pengembangan keterampilan, komunitas dan ekonominya. Agus Salim merincikan ada empat hal yang sudah dilakukan oleh Migrant Institute, yakni pengembangan dan pembentukan komunitas Keluarga Migran Indonesia (KAMI), membuat supporting system, membuat role model dan yang terakhir melaksanakan peningkatan kapasitas mantan buruh migran. Migrant Institute memiliki peluang untuk memberikan pelatihan spesifik kepada buruh migran yang menginginkan dan membutuhkan hal tersebut, caranya dengan bekerjasama dengan jaringan Dompet Dhuafa yang ada di daerah. Nursalim dari Migrant Institute juga menambahkan bahwa peran reinteregasi sosial yang tengah dilaksanakan oleh jejaring organisasinya juga harus menjadi perhatian dari NGO lain. Ke depannya diharapkan elemen pemerhati buruh migran dapat bersinergi untuk tidak hanya fokus pada advokasi, namun juga reinteregasi buruh migran pasca pemulangannya.
Selanjutnya menurut Taufik dari Nexus Institute, kata kunci dalam reinteregasi itu terdiri atas: proses pemulihan, pelibatan ekonomi dan pemulihan sosial. Menurut Taufik reinteregasi merupakan usaha panjang yang tidak boleh luput dari perhatian organisasi yang biasa melaksanakan advokasi sekalipun. Hal terpenting yang sering luput yakni pendampingan dan pemulihan. Menurut Taufik peran keberlanjutan bantuan ekonomi produktif akan sangat bergantung pada pendampingan yang dilakukan. Mengingatkan kembali substansi diskusi yang berjalan, Taufik menekankan agar reinteregasi bagi buruh migran dapat dimasukkan juga ke dalam revisi UU No. 39 Tahun 2004.
Dari diskusi yang bergulir, ada beberapa informasi yang didapat, seperti masih terdapatnya ego sektoral antar kementerian dan lembaga dalam melaksanakan bantuan dan usaha reinteregasi buruh migran. Usaha pemerintah dalam menjamin keberlanjutan Usaha Ekonomi Produktif mantan buruh migran masih sangat perlu dikritisi. Sebab seringkali kalaupun ada bantuan ekonomi, bantuan tersebut minim keberlanjutan. Keberhasilan reinteregasi perlu memerhatikan bantuah hukum bagi buruh migran, bantuan ekonomi, kesiapan komunitas dan konsistensi pendampingan mantan buruh migran**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar