Laman

Translate

Tentang Perjanjian Penempatan TKI

Rilis Diskusi Tematik Bertemakan
“Kontraktual: Perjanjian dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri"
14 Agustus 2015

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Akan tetapi pelaksanaan dari UU tersebut dinilai masih belum berpihak kepada Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, atau yang biasa disebut dengan istilah “buruh migran”. Ada beberapa ketimpangan dalam aturan dan pelaksanaan UU No.39 Tahun 2004 yang diidentifikasi oleh Jaringan Buruh Migran (JBM). Secara garis besar ketimpangan tersebut terbagi menjadi empat pembahasan, antara lain: timpang dalam mengatur penempatan dan perlindungan, timpang dalam mengatur penempatan mandiri oleh swasta dan oleh pemerintah, timpang dalam mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah dan ketimpangan yang mengatur mengenai penempatan berbasis darat dan laut.


Berangkat dari perumusan permasalahan yang dialami oleh buruh migran, JBM melaksanakan diskusi tematik bertemakan “Kontraktual: Perjanjian dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”. Diskusi tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 14 Agustus 2015 lalu, bertempat di Sekretariat DPW SBMI DKI Jakarta. Peserta yang hadir saling memberikan argumen beserta data dalam mendiskusikan kelemahan perlindungan dan penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Hariyanto dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) memaparkan bahwa serikat buruh perlu bahu-membahu mengkritisi perbaikan kebijakan bagi buruh migran. Menurut Hariyanto dari 109 pasal yang tertuang di UU 39/2004, hanya 14 pasal yang mengatur tentang perlindungan buruh migran. Pada tahun 2013 BNP2TKI merilis data bahwa sekitar 90% TKI tidak mengetahui hak dan kewajiban dirinya yang telah tertuang dalam klausul kontrak. SBMI juga menyampaikan bahwa menurut data yang dimilikinya, dari 304 TKI yang bermasalah dengan kontrak kerja, 90% di antaranya tidak memahami kontraknya

 Okti Li mewakili Media Indo Suara menambahkan, permasalahan yang dialami buruh migran yakni ketidaktahuan untuk mengadu kepada siapa. Menurut Okti Li, pengaduan yang disampaikan kepada pemerintah maupun agensi yang memberangkatkan mereka, cenderung memperoleh respon yang lambat. Savitri dari JBM menambahkan pandangan yang disampaikan oleh Okti Li, menurut Savitri, dari penelitian yang dilakukan JBM, seringkali perjanjian penempatan tidak sama dengan perjanjian kerja. Seringkali terdapat perbedaan fatal antara perjanjian penempatan dengan penempatan sesungguhnya di negara tujuan. Ungkapan Savitri dilengkapi oleh beberapa peserta diskusi lainnya. Menurut peserta diskusi lain, pernah ditemukan kasus bahwa perjanjian penempatan TKI di Yordania, akan tetapi justru diketahui ditempatkan di Saudi Arabia. Tidak hanya itu, peserta lain menambahkan bahwa kasus serupa pernah terjadi pada pekerja yang perjanjian penempatannya di Hongkong, namun justru ditempatkan di Capetown.

Nur Salim dari Migrant Institute berpendapat bahwa mengenai perjanjian kerja, buruh migran seringkali tidak memiliki cukup waktu untuk mempelajari kontrak tersebut. Selain itu dalam penandatanganan kontrak, buruh migran tidak didampingi bersama pihak pemerintah. Menurut Nur Salim, pekerja ada dalam posisi yang rawan untuk memperjuangkan hak-haknya. Mengambil contoh di Hongkong, bahwasanya di Hongkong tidak ada aturan yang dapat menjerat seorang majikan. Terlebih lagi buruh migran tidak memiliki salinan atas perjanjian kerjanya. Nur Salim menambahkan perlu adanya standarisasi konten perjanjian penempatan. Ia mencontohkan bahwasanya di Malaysia perjanjian penempatan hanya menggunakan bahasa melayu saja. Hal ini tentu menyulitkan bagi buruh migran, terlebih apabila tidak ada pendampingan dan pemahaman yang jelas atas hak dan kewajiban buruh migran tersebut.

Diskusi mengenai kontraktual perjanjian kerja dan perjanjian penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berakhir dengan beberapa poin rekomendasi teknis bagi kesejahteraan perlindungan buruh migran. Narasi normatif yang tetap penting yakni pemerintah berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya. Selain itu mengenai subyek hukum yang terlibat dalam sengketa antara buruh migran Indonesia dengan majikannya, maka pemerintah wajib secara pro aktif memberikan pendampingan dan perlindungan bagi tenaga kerja yang mengalami permasalahan tersebut. Selanjutnya perlu dibuat nota kesepahaman antara negara yang menggunakan jasa tenaga kerja Indonesia dalam lingkup domestik rumah tangga. Selama ini mayoritas nota kesepahaman hanya terdapat dalam lingkup formal sehingga perlindungan tenaga kerja dalam lingkup domestik masih sulit terjangkau baik oleh hukum maupun oleh usaha advokasi pemerintah dan aktivis.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan