
Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serikat buruh lokal, organsiasi yang peduli terhadap hak-hak buruh migran. JBM ini sudah ada semenjak 2010 dengan nama JARI PPTKILN. Di tahun 2015, JBM memperluaskan gerakan dengan tidak hanya fokus pada pengawalan revisi UU 39/2004 tetapi juga pada penanganan kasus dan perlindungan buruh migran di tingkat ASEAN.
Laman
Translate
RESUME DISKUSI PUBLIK JWB 12 NOVEMBER 2020
RESUME DISKUSI PUBLIK JWB 12 NOVEMBER 2020
Kamis, 12 November 2020, Justice Without Borders
Indonesia (JWB Indonesia) baru saja menggelar diskusi publik daring dengan
tema “Realitas dan Akses Keadilan bagi Perempuan Pekerja Migran Indonesia di
Indonesia, Singapura, dan Hong Kong” yang menghadirkan empat pembicara. Mereka
adalah Douglas MacLean selaku Direktur Eksekutif JWB, Yudhi Ardian selaku Kasubdit
PWNI dan BHI Kawasan I Asia Tenggara, Tiasri Wiandani selaku Komisioner
Komnas Perempuan, dan Maizidah Salas selaku Koordinator Pendidikan DPN SBMI.
Secara umum, diskusi publik ini membahas bagaimana
perempuan PMI, khususnya di Indonesia, Singapura, dan Hong Kong yang dalam
setiap tahapan migrasi, mulai dari tahap pra penempatan, penempatan, hingga
pasca penempatan menjadi kelompok rentan yang sering menghadapi berbagai risiko
mulai dari diskriminasi ganda, jeratan hutang, kekerasan, hingga eksploitasi.
Saat ini, masih terdapat tantangan bagi perempuan PMI dalam mengakses keadilan
dan mendapatkan hak mereka.
Tiasri Wiandani mengawali diskusi dengan memaparkan
hukum dan perjanjian internasional mengenai hak perempuan dan hak bekerja yang
belum dan telah diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya, beliau menyampaikan
jenis-jenis kasus perempuan PMI yang dilaporkan kepada Komnas HAM, di antaranya
adalah kasus perdagangan orang, pelarangan pulang oleh majikan, upah tidak
dibayarkan, tidak dapat dihubungi keluarga, dijadikan kurir narkoba, hingga
penganiayaan dan pelecehan seksual oleh majikan.
Yudhi Ardian kemudian menyajikan data bahwa kondisi
PMI di Singapura sangat berwajah perempuan, sebagaimana 74% dari 210.000 WNI di
Singapura adalah PLRT yang mana mayoritas dari mereka adalah perempuan. Melalui
Permenlu No. 5 Tahun 2018, lingkup pelindungan WNI di luar negeri oleh Kemenlu
RI melalui Perwakilan RI di luar negeri adalah melalui pencegahan, deteksi
dini, dan respons cepat. Namun, memang Perwakilan RI di luar negeri mengalami
kesulitan dalam menghadapi tantangan kasus PMI yang melibatkan PMI non
prosedural, tantangan kasus hukuman mati, hingga tantangan kasus secara umum
pada masa pandemi.
Maizidah Salas menambahkan apa yang telah disampaikan
oleh Tiasri Wiandani. Menurutnya, hal krusial yang perlu diperhatikan juga
adalah fakta bahwa akses informasi perempuan PMI sangat riskan dan terbatas
karena pemberian informasi masih didominasi oleh calo hingga media sosial yang
menyesatkan. Belum lagi, di tingkat daerah belum ada layanan informasi migrasi
yang aman dan informasi mengenai bantuan hukum.
Douglas MacLean lebih lanjut memaparkan bagaimana
kerja litigasi lintas negara yang dilakukan oleh JWB dalam membantu PMI
mengklaim hak mereka. Beliau menekankan bahwa upaya litigasi yang dilakukan
oleh pemerintah kebanyakan berputar di klaim pidana daripada klaim kompensasi
perdata. Di beberapa negara, PMI yang haknya direbut pada hakikatnya memiliki
kesempatan untuk mengklaim hak mereka untuk mendapatkan misalnya kompensasi
moneter.
Persoalan akses keadilan ini sangat kompleks bila
berbicara mengenai pekerja migran. Banyak pekerja migran tidak memiliki bargaining
power ditambah dengan keterbatasan bantuan hukum. Banyak dari mereka
akhirnya memilih jalan damai agar bisa kembali ke tanah air. Douglas juga
membawa studi kasus Nisa dan Joenalyn, pekerja migran dari Indonesia dan
Filipina yang masing-masing mengalami penganiayaan fisik dan PHK secara tidak
adil. Proses litigasi lintas batas negara yang didukung oleh pengacara pro-bono memberikan kemenangan tunggal bagi keduanya. Kasus Joenalyn, menjadi
sorotan karena untuk pertama kalinya, Pengadilan Buruh Hong Kong mengizinkan
kasus dilanjutkan melalui konferensi video dari Filipina.
Meskipun diskusi publik lebih banyak membahas realitas
dan akses keadilan perempuan PMI di Indonesia, Singapura, dan Hong Kong karena
masih adanya keterbatasan ruang lingkup kerja JWB, namun diskusi publik ini
tetap menekankan pola permasalahan PMI yang sebenarnya tidak berbeda jauh bagi
seluruh PMI di berbagai negara. Karenanya, diskusi juga menyinggung realitas PMI di berbagai
negara seperti Malaysia hingga kawasan Timur Tengah.
Selama sesi diskusi berlangsung, forum banyak membahas
tentang bagaimana JBW memberikan bantuan litigasi lintas batas negara terhadap
para pekerja migran yang hak-haknya terenggut, termasuk bagaimana JBW bekerja
sama dengan para pengacara pro bono. Tidak hanya itu, masalah PMI selama
pandemi Covid-19 juga menjadi topik yang menarik dan banyak dibahas oleh para
partisipan, tidak terkecuali Savitri Wisnuwardhani dari Jaringan Buruh Migran
(JBM) yang turut mengajukan pertanyaan ke forum seputar masalah PMI selama
pandemi. Sebenarnya apa saja masalah yang sering dialami oleh para PMI selama
pandemi? Ternyata, masalah yang mereka hadapi sangat banyak, utamanya sebelum
dan semasa penempatan.
Selama pandemi, berbagai masalah yang dihadapi oleh
PMI sebelum penempatan antara lain adalah banyak PMI menunggu terlalu lama di
penampungan, terancam gagal berangkat karena majikan tidak jadi mempekerjakan
PMI, hingga minimnya informasi yang diterima terkait negara mana saja yang
diperbolehkan bagi PMI untuk bermigrasi kerja.
Sedangkan masalah yang dihadapi oleh banyak PMI semasa
penempatan antara lain adalah kebijakan karantina 14 hari setelah mereka sampai
di negara tujuan. Apabila selama karantina PMI terinfeksi Covid-19, pembiayaan
akan ditanggung oleh majikan (kecuali Hong Kong). Hal ini berpotensi menjadi
alasan bagi majikan untuk memotong gaji PMI nantinya. Selain itu, masalah lain
adalah terkait PHK semasa bekerja, beban kerja semakin berat karena majikan yang
bekerja dari rumah (WFH), tertular Covid-19 dari majikan, ancaman overstay karena
kesulitan untuk pulang semasa pandemi apabila kontrak sudah berakhir, hingga
diskriminasi yang dialami oleh PMI dalam mengakses lowongan kerja di Malaysia.
Selama pandemi, tes usap (swab) Covid-19 menjadi persyaratan yang harus
dipenuhi oleh PMI untuk dapat mengakses lowongan kerja, sedangkan warga lokal
tidak diharuskan untuk memenuhi persyaratan yang sama.
LOMBA KARYA PUISI PEKERJA MIGRAN INDONESIA
[Press Release] UU Cipta Kerja : Ketiadaan Negara Hadir untuk Melindungi Pekerja Migran Indonesia! - Jaringan Buruh Migran
Siaran Pers
UU Ciptakerja :
Ketiadaan Negara Hadir
untuk Melindungi Pekerja Migran Indonesia!
Beberapa waktu ini, di Indonesia sedang berlangsung aksi
demonstrasi penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Istilah Omnibus Law
ini pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo saat dilantik sebagai
Presiden Republik Indonesia untuk kedua kalinya.
Omnibus law merupakan sebuah UU yang dibuat
untuk merampingkan peraturan dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan
agar lebih tepat sesuai dengan tujuannya.
Tepat pada 2 November 2020, Presiden Joko Widodo meneken
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Kini
Omnibus Law UU Cipta Kerja telah resmi diunggah oleh pemerintah dalam situs
Setneg.go.id. Berdasarkan pada Salinan UU yang berasal dari situs tersebut,
masyarakat menemukan begitu banyak kekeliruan dan kesalahan, baik secara teknis
maupun substansi. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Praktino juga
menyampaikan bahwa terdapat kekeliruan dalam penekenan yang dilakukan oleh
Presiden Joko Widodo, walau kekeliruan tersebut hanya bersifat teknis penulisan
dan administratif. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa pembentukkan Omnibus
Law UU Cipta Kerja yang dilakukan secara cepat dan terburu-buru menjadikan UU
tersebut sebagai produk cacat hukum yang tidak memiliki keberpihakan pada
pekerja dan lingkungan.
Ketidakberpihakan
ini tentunya dirasakan pula oleh buruh migran, baik yang berada di dalam maupun
yang bekerja ke luar negeri. Permasalahan yang ditimbulkan oleh Omnibus Law UU
Cipta Kerja semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan bagi para buruh
Migran. Bagi para perempuan buruh migran, tentunya hal ini akan semakin
memperdalam dan memperlebar ancaman pelanggaran hak, ketidakadilan hingga penindasan.
Sentralisasi yang menjadi spirit Omnibus Law UU Cipta Kerja juga berpotensi
menghilangkan peran pemerintah daerah dan menyempitkan ruang masyarakat sipil
di tingkat daerah. Hal ini menjadi langkah mundur setelah Indonesia
meratifikasi Konvensi Migran 1990 dan mengesahkan UU PPMI.
Savitri, SekNas JBM
menegaskan semangat UU PPMI yang berbeda dari UU 39/2004 dalam memberikan
perlindungan kepada PMI adalah pemberian peran yang lebih besar kepada
pemerintah, baik itu pemerintah pusat dan daerah dibandingkan peran kepada Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Sayangnya, dalam Omnibus Law UU
Cipta Kerja yang baru saja disahkan, pasal mengenai perizinan kepada P3MI yang
menjadi salah satu aspek untuk memastikan perlindungan kepada PMI
disimplifikasikan menjadi perizinan administrasi, sedangkan dalam migrasi
kerja, yang bermigrasi bukan barang tetapi manusia yang harus dilindungi.
Akibatnya pengawasan pada aktor swasta yang sering kali melakukan pelanggaran
hak PMI di setiap proses migrasi menjadi lemah.
Hariyanto,
SBMI, mengatakan bahwa dari awal pembentukan
Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak memasukkan UU PPMI ke dalam naskah akademik
tidak memiliki tujuan yang jelas, keterbukaan informasi dalam pembahasannya dan
telah cacat secara formil. Dengan dicabutnya kewenangan Kementrian
Ketenagakerjaan dalam memberikan izin kepada P3MI, yang digantikan oleh
Pemerintah Pusat, justru akan mengacaukan tata Kelola perizinan P3MI yang baru
saja dibangun oleh UU PPMI dan PERMENAKER. Penerbitan izin P3MI yang akan
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sangat tidak jelas rumusannya dalam Omnibus Law
UU Cipta Kerja, sehingga berpeluang memperlemah persyaratan dalam pemberian
izin P3MI yang tentunya akan berdampak pada pelindungan PMI.
Ayu
Eza Tiara, LBH Jakarta menyatakan
bahwa UU Cipta Kerja sudah dapat dipastikan akan memperburuk kondisi
kesejahteraan masyarakat dalam negeri, yang pada akhirnya mendorong mereka
untuk bermigrasi ke luar negeri. Namun demikian, bagi mereka yang bekerja di luar
negeri juga belum terjamin keselamatannya karena pemerintah Indonesia masih
belum dapat mengatasi permasalah yang kerap dialami pekerja migran, seperti
kasus perdagangan orang, penipuan, kekerasan, kontrak kerja yang tidak adil,
kriminalisasi yang kerap dialami pekerja migran di luar negeri akibat minimnya
pengawasan dan perlindungan yang ada saat ini.
Alyssa,
HRWG menuturkan mengenai Pelonggran izin
pembentukan P3MI paada Omnibus Law akan berdampak pada semakin tingginya
permasalahan PMI dan malapraktek yang berakibat pada human trafficking,
padahal ASEAN telah menandatangani ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers yang di dalamnya mengatur bahwa
negara-negara bagian, salah satunya Indonesia harus menjamin hak-hak pekerja
migran mulai dari perlindungan haknya, menjamin kebijakan dan prosedur
rekrutmen pekerja, penyebaran, pemulangan hingga penghapusan malapraktek dalam
perekrutan.
Arieska,
Solidaritas Perempuan menekankan terutama bagi perempuan
buruh migran, tentunya akan semakin memperdalam dan memperlebar ancaman
pelanggaran hak, ketidakadilan maupun penindasan. Sentralisasi yang menjadi
spirit Omnibus Law UU Cipta Kerja juga berpotensi menghilangkan peran
pemerintah daerah dan menyempitkan ruang masyarakat sipil di tingkat daerah.
Ini adalah langkah mundur setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990
dan mengesahkan UU PPMI.
Yatini,
KSBSI menyerukan bahwa jaminan sosial yang
seharusnya dapat diterima oleh PMI. Jaminan Sosial merupakan jaring pengaman
bagi seluruh warga negara untuk menwujudkan hidup layak yang diselenggarakan
oleh negara, sedangkan PMI adalah bagian dari pilar ekonomi bangsa yang tidak
pantas mendapatkan perlakukan diskriminasi dalam jaminan sosial, Wujudkan
keadilan bagi PMI dengan mengikutsertakan PMI ke seluruh Program jaminan sosial,
termasuk ke dalam Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Jaminan Kesehatan dengan premi
ditanggung oleh negara.
Untuk memperingati
Hari Pahlawan yang jatuh pada hari ini (10/11/2020) dan menyikapi
penekenan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi Widodo untuk Omnibus Law UU Cipta
Kerja pada 2 November 2020, maka Jaringan Buruh Migran yang merupakan koalisi
dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negeri dan
organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran dengan tegas menyatakan bahwa :
- Omnibus Law UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja telah
menciderai dan mengabaikan suara dan kepentingan rakyat.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja adalah bukti negara tidak hadir
dan melepaskan diri dari tanggung jawab perlindungan kepada warga negara,
khususnya buruh migran. Omnibus Law UU Cipta Kerja justru mengendorkan
pengawasan pada aktor swasta yang sering melakukan pelanggaran hak buruh migran
di setiap tahapan proses migrasi.
- Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Pasal 6 Kovenan Hak-Hak Sipil dan
Politik karena banyak pasal yang berbenturan dan berpotensi merampas hak atas
hidup, serta berpotensi melanggar berbagai aspek hak atas pekerjaan dalam Pasal
7 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti kondisi kerja yang adil,
upah/gaji yang adil, dan penghidpan yang layak bagi pekerja. Selain itu, juga
merupakan langkah mundur perlindungan pekerja migran sebagaimana mandat
Konvensi Migran Tahun 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
- Menuntut Pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan
UU PPMI dan mengimplementasikan jaringan pengaman perlindungan PMI di masa
Pandemi Covid-19.
- Menuntut agar Omnibus Law UU Cipta Kerja segera dicabut dan fokus pada penanganan krisis yang terjadi di berbagai sektor.
Jakarta,
10 November 2020
JARINGAN
BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI,
KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda,
KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia,
UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS,
Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta,
TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right
Narahubung :
Savitri Wisnuwardhani 082124714978
Hariyanto 082298280638
Alyssa 082296060601
Arieska 081280564651
Ayu Eza 082111340222
Yatini 085312303209
Selamat Memperingati Hari Pahlawan
Selamat Memperingati Hari
PAHLAWAN NASIONAL