Laman

Translate

[21 - 05 - 2018] RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Penting Bagi Buruh Migran

Karena UU PPMI tidak mengatur secara khusus ketentuan yang memberi perlindungan terhadap buruh migran dari ancaman kekerasan seksual.

Perlindungan buruh menjadi perhatian Pemerintah. Foto: RES

Perlu upaya besar untuk memberi perlindungan terhadap buruh migran Indonesia yang bekerja di negara penempatan. Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN) menjadi UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) diharapkan mampu menjawab masalah perlindungan yang selama ini kerap dihadapi buruh migran. 

Walau kalangan buruh migran menyambut baik terbitnya UU PPMI, tapi beleid yang diundangkan 22 November 2017 itu dinilai belum sempurna. Masih ada celah yang membuat posisi buruh migran rawan mengalami kekerasan seksual. Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena penting bagi perlindungan terhadap buruh migran.

Savitri mengatakan UU PPMI tidak mengatur secara khusus tentang perlindungan buruh migran dari ancaman kekerasan seksual. Peraturan itu lebih banyak mengatur tata kelola penempatan buruh migran. Padahal dalam pembahasan RUU PPMI di DPR, Koalisi Masyarakat Sipil sudah mengingatkan agar ketentuan terkait perlindungan dari kekerasan seksual ikut dituangkan dalam regulasi itu. “Kami menganggap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk disahkan sebagai payung hukum perlindungan pekerja migran yang mengalmi kekerasan seksual,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Savitri ketentuan yang melindungi buruh migran dari kekerasan seksual belum memadai. Posisi buruh migran sangat rawan karena sebagian besar perempuan dan bekerja di sektor domestik. Sekalipun buruh migran sudah bisa menjadi peserta program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, tapi manfaat yang diberikan tidak mencakup buruh migran yang jadi korban kekerasan seksual.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menurut Savitri cukup lengkap dalam menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual. Misalnya pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkawinan, pelacuran, penyiksaan dan eksploitasi seksual.“Lewat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini diharapkan bisa memperkuat perlindungan, dan mengisi celah hukum UU PPMI,” Savitri.

Direktur LBH FAS, Felixson, melihat kondisi UU PPMI sekarang sama seperti UU PPTKILN yakni masih terdapat celah hukum yang harus dibenahi. Ketika UU PPTKILN diterbitkan, banyak terjadi praktik perdagangan orang yang menjerat pekerja migran. Untuk membenahi hal tersebut koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk menerbitkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. UU TPPO hadir untuk menutup kelemahan yang ada dalam UU PPTKILN.

Sekarang, Felixson melihat UU PPMI masih mengandung kelemahan tentang perlindungan buruh migran dari kekerasan seksual. Oleh karena itu tepat jika pemerintah dan DPR membenahi hal tersebut dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. “Migrasi kita di dominasi kaum perempuan, sebanyak 80 persen dari mereka dalam bekerja di posisi rentan yakni dirty, difficult, and dangerous,” paparnya.

Felixson melihat penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dialami buruh migran selama ini banyak menggunakan cara kekeluargaan. Cara ini tidak memberi efek jera terhadap pelaku sehingga kejadian serupa berpotensi berulang kembali. “Pemerintah perlu menjalin kerjasama dengan pihak lain agar kasus kekerasan yang menimpa buruh migran di luar negeri bisa diselesaikan secara hukum,” tegasnya.

Ketua Serikat Buruh Kabar Bumi, Karsiwen, mengisahkan bahwa selama periode 2002-2017 organisasinya mendampingi 51 kasus buruh migran Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Mayoritas korbannya perempuan. Mereka mengalami kekerasan seksual dan perkawinan paksa. Buruh migran rentan mengalami kekerasan seksual mulai dari pra penempatan, ketika bekerja di negara penempatan dan saat pulang ke kampung halaman.

Pada pra penempatan, kekerasan seksual kerap dialami buruh migran ketika berada di penampungan. Saat di negara penempatan, majikan tidak memberi ruang khusus atau privasi bagi buruh migran sehingga mereka tidur di ruang tamu. Sekembalinya ke Indonesia, buruh migran yang berada di bandara, sebelumnya Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, rawan menjadi korban kekerasan seksual karena dipaksa untuk naik mobil travel tertentu menuju kampung halaman. “UU PPMI tidak memberi perlindungan yang memadai untuk kasus kekerasan seksual,” tukasnya.

Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant Care, Fitri Lestari, berpendapat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa digunakan untuk menaikan posisi tawar pemerintah Indonesia kepada negara penempatan. Terbitnya RUU itu akan menjadi bukti pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi seluruh penduduk yang ada di wilayahnya dari kekerasan seksual. Hal itu bisa dijadikan alasan untuk mendorong negara penempatan melakukan hal serupa, menerbitkan kebijakan untuk melindungi warganya dari kekerasan seksual termasuk buruh migran.

Fitri menilai terbitnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan membawa dampak positif terhadap korban. Selama ini korban takut melapor karena memandang hal ini sebagai aib yang harus ditutup. Jika RUU sudah disahkan, korban punya payung hukum untuk melaporkan perkara kekerasan seksual yang menimpanya. “Ini mendorong korban untuk berani melapor,” pungkasnya.

[ 18 - 05 - 2018 ] Jaringan Pekerja Migran Indonesia Desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Segera Disahkan

Diskusi Jaringan Pekerja Migran Indonesia desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/5/2018) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaringan Pekerja Migran Indonesia mendesak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU P-KS segera disahkan.

Advokasi dan Bantuan Hukum Migrant Care, Fitri mengatakan, data di tahun 2017 menunjukan 84 persen dialami perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

"Perdagangan orang, kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji. Hal ini semakin menegaskan pekerja migran perempuan masih rentan jadi obyek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman," ujar Fitri di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/5/2018).

Sehingga, ujar Fitri, RUU P-KS bisa segera menjadi UU oleh DPR.

Sementara, RUU P-KS telah masuk ke prolegnas sejak tahun 2016 silam.

"Ini kan sudah ada diprolegnas 2016 tapi sampai tahun 2018 ini pembahasan belum maksimal. Memang ada pembahasan ada usulan dari DPR, usulan aparat penegak hukum tapi itu belum dindak lanjuti secara maksimal," ujar Fitri.

"Diharapkan dengan dibahasanya RUU P-KS dapat melindungi korban kekerasan seksual di mana melengkapi kekosongan perlindungan yang ada dalam UU PMI," lanjutnya.

Sedangkan, Boby Alwy, Setjen SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) memaparkan di tahun 2015 ada 50 PMI yang mengalami pelanggaran.

"Di antaranya mengalami perkosaan sampai depresi, bahkan ada yang sampai hari ini belum bisa pulih. Sedangkan 24 pekerja miran lainnya mengalami pelecahan seksual," kata Boby.

Diketahui, RUU P-KS mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan dan hukum acara.

Selain itu, mengatur tentang peran serta masyarakat dan mengubah perspektif penegak hukum dalam menangani korban kekerasan, serta disusun lengkap dengan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual.

Link : http://www.tribunnews.com/nasional/2018/05/18/jaringan-pekerja-migran-indonesia-desak-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-segera-disahkan

Dukungan Jaringan Pekerja Migran Indonesia terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual : Lindungi Pekerja Migran Perempuan Indonesia dari Kekerasan Seksual!

Konpres JBM dgn jaringan lain di Komnas Perempuan

Pasca disahkannya Undang-Undang  Nomor 18  Tahun  2017  tentang  Pelindungan  Pekerja  Migran Indonesia (PPMI), masih terdapat sejumlah catatan kritis seperti fokus UU PPMI lebih kepada perbaikan tata kelola penempatan pekerja migran ke luar negeri dan belum menyentuh kerentanan khas perempuan pekerja migran. Perspektif perlindungan dalam UU PPMI merupakan kemajuan yang diberikan oleh negara, tidak hanya hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mendapat perlindungan tetapi juga perlindungan hukum, ekonomi dan politik. 

Berbicara kerentanan perempuan khususnya kerentanan yang dihadapi perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja disektor domestik, sayangnya belum disentuh di UU PPMI. Padahal menurut data BNP2TKI, sekitar 60% PMI yang bekerja di luar negeri adalah perempuan dan bekerja disektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga yang rentan terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan dan atau agency di negara tujuan. Selain itu, faktor ekonomi yang mendorong perempuan PMI bekerja ke LN tidak menjadi paradigma dalam merumuskan UU PPMI. 

Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, Pekerja migran perempuan merupakan salah satu kelompok yang paling rentan berpotensi mengalami kekerasan seksual dalam tiga tahapan migrasi, baik masa pra pemberangkatan, masa bekerja, maupun kepulangan. Pada tahap pra pemberangkatan, pekerja migran perempuan rentan mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi seksual,  Kejadian-kejadian tersebut sering tidak dilaporkan karena berdampak pada akses mereka terhadap bekerja di luar negeri. Dalam masa bekerja, pekerja migran rentan mengalami kekerasan seksual dari majikan, orang dekat, pacar, atau agen di luar negeri. Komnas Perempuan mencatat banyak korban mengalami pelecehan seksual  oleh majikan atau kekerasan seksual berupa visual seperti dipaksa menonton video porno, atau dipaksa melihat alat kelamin majikan. Mereka diancam diberhentikan atau dipotong gaji jika tidak menuruti kehendak seksual majikan. Perkosaan dengan alat atau benda seperti sex toys dan percobaan perkosaan juga juga dialami oleh beberapa korban. Sementara dalam tahap kepulangan, korban kekerasan seksual rentan mengalami kekerasan khususnya dalam pemulangan dari bandara ke daerah asal. Pekerja migran diancam akan diturunkan di tengah jalan pada tengah malam jika tidak menuruti kemauan sopir travel yang mengantar mereka. Selain itu, data Migrant CARE menunjukkan di tahun 2017, 84% kasus yang masuk adalah kasus yang dialami perempuan PMI  seperti perdagangan orang, kontrak kerja, asuransi, dokumen, dan gaji. Hal ini semakin menegaskan bahwa pekerja migran perempuan masih rentan menjadi objek eksploitasi dalam situasi kerja dan migrasi yang tidak aman.

Atas desakan dari berbagai pihak, di tahun 2016, DPR memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Perempuan ke dalam prolegnas 2015-2019 dan masuk ke dalam prolegnas prioritas di tahun 2016. Diharapkan dengan dibahasnya RUU P-KS dapat melindungi korban kekerasan seksual. Dalam konteks pekerja migran Indonesia, RUU P-KS ini dapat melengkapi kekosongan perlindungan yang ada dalam UU PPMI.

Konpres JBM dgn jaringan lain di Komnas Perempuan
Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran (JBM) melihat masalah kekerasan seksual seperti gunung es. Meskipun jumlah yang dilaporkan tidak sebesar dibandingkan dengan kasus ketenagakerjaan yang dialami PMI seperti gaji tidak dibayar, PHK sepihak, tidak berdokumen dan overstayer ataupun kasus pidana lainnya hingga kasus PMI yang dihukum mati, namun dampak yang dialami korban sangat luas tidak hanya bagi PMI itu sendiri, tetapi juga keluarga, anak-anak PMI. Oleh karenanya penting adanya payung hukum perlindungan bagi PMI yang mengalami kekerasan seksual karena di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini terdapat perlindungan spesifik yang tidak dimandatkan dalam UU PPMI misalnya korban yang mengalami pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, hingga penyiksaan seksual.

Felixson, Direktur LBH FAS menegaskan bahwa dari data kasus yang dialami PMI, mekanisme penanganan kasus diskrimininasi dan kekerasan yang dialami perempuan pekerja migran sering kali tidak diselesaikan secara tuntas. Penyelesaiannya lebih menggunakan mekanisme kekeluargaan yang kerap kali membebebaskan pelaku dari sanksi hukum. 

Karsiwen, Ketua KABAR BUMI menyampaikan bahwa KABAR BUMI sejak sejak tahun 2002-2017 mendampingi 51 kasus Kekerasan Seksual yang mayoritas korbannya adalah pekerja migran perempuan dan 3 orang laki-laki. Jenis kasus kekerasan seksual yang dialami Perempuan PMI mulai dari kekerasan seksual hingga pemaksaan perkawinan termasuk kawin kontrak.

Boby Alwy, Setjen SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) memaparkan bahwa di tahun 2015, ada 50 pekerja migran Indonesia yang mengalami pelanggaran, 5 diantaranya mengalami perkosaan sampai depresi, bahkan ada yang sampai hari ini belum bisa pulih. Sedangkan 24 pekerja migran lainnya mengalami pelecehan seksual.

Menjelang tahun politik 2019, kami meminta komitmen keberpihakan DPR untuk segera membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum perlindungan bagi PMI yang mengalami kekerasan seksual. Hampir tiga tahun  RUU P-KS  masuk ke Prolegnas DPR 2015-2019, namun belum dibahas secara simultan salah satu karena beberapa anggota DPR masih resisten untuk membahas RUU PKS ini. Kami dari berbagai organisasi buruh migran dan organisasi pemerhati buruh migran mendesak agar RUU  P-KS untuk segera dibahas oleh DPR.

Jakarta, 18 Mei 2018

Jaringan Buruh Migran, Kabar Bumi, LBH FAS, SBMI, Migrant Care, PGI

Narahubung :

Savitri Wisnuwardhani (JBM) : 082124714978
Felixson (LBH FAS)                  : 08128640966
Iwenk (Kabar Bumi)                  : 081281045671
Boby Alwy (SBMI)                    : 085283006797
Ridayani (PGI)                          : 085218085428
Fitri (Migrant Care)                     : 08562892870



[01 - 05 - 2018] Seknas JBM : Permasalahan Buruh Migran 70% Bermuara Di Dalam Negeri

*istimewa
Redaksikota – Permasalahan yang dialami buruh migran baik yang berada di dalam maupun yang bekerja ke luar negeri khususnya non skill workers dan sektor rentan seperti pekerja rumah tangga, perkebunan, konstruksi, nelayan kapal ikan dll mengalami permasalahan yang sama, yakni ketidak adilan dan ketidaksetaraan perlakuan. Tidak sedikit buruh migran Indonesia di luar negeri yang bekerja disektor domestik tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan di negara tujuan bekerja.

Meskipun pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai jaring pengaman untuk melidungi buruh migran Indonesia melalui diberlakukannya UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan diberlakukannya UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai ganti dari UU No 39/2004, namun sistem tata kelola migrasi belum maksimal dilakukan baik dari tingat desa hingga di pusat. Permasalahan buruh migran 70% bermuara di dalam negeri yang berakibat masih banyaknya kasus yang dialami buruh migran Indonesia.

“Melihat dari data BNP2TKI selama 2017 menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kasus buruh migran tidak berdokumen (254 kasus), Over charging (33 kasus) dan kasus overstay (33 kasus)”, Ujar Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani, melalui pernyataan Persnya di Jakarta, Selasa (1/5)

lebih lanjut Savitri menjelaskan, menurut data Kemlu dari Oktober 2014 – Oktober 2017 menunjukkan untuk kerentanan di sektor domestik : kasus overstay (7.338 kasus) , ketenagakerjaan (gaji tidak dibayar 1.754) , pidana (TPPO 1.036 kasus). Kasus yang dialami buruh migran mayoritas menimpa perempuan karena pekerjaan terbesar buruh migran sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Kasus yang dialami buruh migran Indonesa bermuara pada masih memandang pekerjaan disektor domestik bukannya sebagai suatu pekerjaan dan mendapatkan perlindungan untuk memastikan PRT mendapatkan kerja layak. Akibatnya kebijakan dan layanan migrasi condong memberikan standar perlindungan minimal.

“Diharapkan kedepan dengan adanya UU PPMI ini, tata kelola migrasi lebih berperspektif pada perlindungan maksimal dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia misalnya layanan yang tersedia tidak diskriminatif, bebas pungli dan tidak memproduksi kekerasan berbasis gender.” Ucap Savitiri

Di hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018, Jaringan Buruh Migran (JBM) mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera :

1.Mewujudkan perlindungan bagi buruh migran disektor rentan melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT dan Konvensi 188 mengenai Perlindungan Anak Buah Kapal Ikan.

2.Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang sehingga terhadap payung hukum perlindungan bagi PRT di dalam negeri;

3.Menyelesaikan peraturan turunan UU PPMI agar dapat diimplementasikan hingga tingkat daerah.

4.Memastikan layanan migrasi yang telah ada khususnya di daerah-daerah menjangkau buruh migran, bebas pungli, transparant dan berprinsip non diskriminatif.

Menjelang tahun politik kedepan, JBM berharap pemerintah lebih mengedepankan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

(imbo)


[01 - 05 - 2018] Hari Buruh: Komitmen Perlindungan Buruh Migran Ditagih

Tenaga kerja indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia tiba di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali. - JIBI

Kabar24.com, JAKARTA — Pemerintah harus menunjukkan komitmen melindungi pekerja rumah tangga dan buruh migran.

Savitri Wisnu, dari Sektariat Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM) mengatakan bahwa data BNP2TKI selama 2017 menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kasus buruh migran tidak berdokumen (254 kasus), Over charging (33 kasus) dan kasus overstay (33 kasus).

"Data Kemlu dari Oktober 2014-Oktober 2017 menunjukkan untuk kerentanan di sektor domestik kasus overstay (7.338 kasus) , ketenagakerjaan ( gaji tidak dibayar 1.754) , pidana (TPPO 1.036 kasus). Kasus yang dialami buruh migran mayoritas menimpa perempuan karena pekerjaan terbesar buruh migran sebagai pekerja rumah tangga," ujarnya, dalam peringatan Hari Buruh, Selasa (1/5/2018).

Dia melanjutkan, kasus yang dialami buruh migran Indonesa bermuara pada masih memandang pekerjaan di sektor domestik bukannya sebagai suatu pekerjaan dan mendapatkan perlindungan untuk memastikan PRT mendapatkan kerja layak.

Akibatnya kebijakan dan layanan migrasi condong memberikan standar perlindungan minimal.
Dia mengharapkan ke depan dengan adanya UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) tata kelola migrasi lebih berperspektif pada perlindungan maksimal dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia misalnya layanan yang tersedia tidak diskriminatif, bebas pungli dan tidak memproduksi kekerasan berbasis gender.

Bobby Alwy, Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyerukan di hari Buruh Internasional agar pemerintah segera menuntaskan draft Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Kepala Badan yang merupkan aturan turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum pemilu 2019.

Selain itu proses pembahasan perjanjian bilateral misalnya untuk Malaysia yang hingga sekarang sudah kadaluarsa harus mencakup kondisi kerja layak agar tidak terjadi kasus kerja paksa, kasus perdagangan orang, pelecehan seksual bahkan perkelahian yang mengakibatkan buruh migran atau majikan meninggal dunia.

"Contoh kasus Daryati buruh migran asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya, ini diduga kuat penyebabnya adalah kondisi kerja yang buruk," tuturnya.

Link : http://kabar24.bisnis.com/read/20180501/15/790253/hari-buruh-komitmen-perlindungan-buruh-migran-ditagih

Siaran Pers JBM: MENJELANG TAHUN POLITIK : WUJUDKAN KEBIJAKAN YANG MENJAMIN KERJA LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA DAN BURUH MIGRAN INDONESIA!

Permasalahan yang dialami buruh migran baik yang berada di dalam maupun yang bekerja ke luar negeri khususnya non skill workers dan sektor rentan seperti pekerja rumah tangga, perkebunan, konstruksi, nelayan kapal ikan dll mengalami permasalahan yang sama, yakni ketidak adilan dan ketidaksetaraan perlakuan. Tidak sedikit buruh migran Indonesia di luar negeri yang bekerja disektor domestik tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan di negara tujuan bekerja. Di dalam negeri sendiri, penciptaan lapangan pekerjaan terbatas dan tidak mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sehingga yang jadi adalah warga negara Indonesia bekerja keluar negeri bukan karena pilihan namun karena keterpaksaan.

JBM-Foto-Mayday-2018
Meskipun pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai jaring pengaman untuk melidungi buruh migran Indonesia melalui diberlakukannya UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan diberlakukannya UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai ganti dari UU No 39/2004, namun sistem tata kelola migrasi belum maksimal dilakukan baik dari tingat desa hingga di pusat. Permasalahan buruh migran 70% bermuara di dalam negeri yang berakibat masih banyaknya kasus yang dialami buruh migran Indonesia.

Savitri Wisnu, SekNas JBM melihat dari data BNP2TKI selama 2017 menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kasus buruh migran tidak berdokumen (254 kasus), overcharging (33 kasus) dan kasus overstay (33 kasus). Data Kemlu dari Oktober 2014 – Oktober 2017 menunjukkan kerentanan para buruh migran di sektor domestik: kasus overstay (7.338 kasus), ketenagakerjaan ( gaji tidak dibayar 1.754), pidana (TPPO 1.036 kasus). Kasus yang dialami buruh migran mayoritas menimpa perempuan karena pekerjaan terbesar buruh migran sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Kasus yang dialami buruh migran Indonesa bermuara pada masih jamaknya pandangan kita terhadap  pekerjaan di sektor domestik bukannya sebagai suatu pekerjaan bermartabat dan karenanya perlmendapatkan perlindungan untuk memastikan PRT mendapatkan kerja layak. Akibatnya kebijakan dan layanan migrasi condong memberikan standar perlindungan minimal. Diharapkan ke depan dengan adanya UU PPMI ini, tata kelola migrasi lebih berperspektif perlindungan maksimal dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia misalnya layanan yang tersedia tidak diskriminatif, bebas pungli dan tidak memproduksi kekerasan berbasis gender.

Bobby Alwy, Sekjen SBMI menyerukan di hari Buruh Internasional agar  pemerintah segera menuntaskan draft Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Kepala Badan yang merupkan aturan turunan dari UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum pemilu 2019. Selain itu proses pembahasan perjanjian bilateral misalnya untuk Malaysia yang hingga sekarang sudah kadaluwarsa harus mencakup kondisi kerja layak agar tidak terjadi kasus kerja paksa, kasus perdagangan orang, pelecehan seksual bahkan perkelahian yang mengakibatkan buruh migran atau majikan meninggal dunia. Contoh kasus Daryati buruh migran asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura karena melakukan pembunuhan terhadap majikannya, ini diduga kuat penyebabnya adalah kondisi kerja yang buruk.

Awigra, Program Manager HRWG menekankan  Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah PRT terbesar di dunia masih belum ada perubahan apun terhadap situasi PRT. Komitmen Indonesia atas SDGs dengan prinsip-prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk menyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun terlewatkan atau No-one Left Behind. SDGs terdiri dari 17 tujuan. Satu di antaranya adalah terwujudnya pekerjaan layak!

Di hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018, Jaringan Buruh Migran merupakan koalisi dari 28 organisasi beranggotakan serikat buruh dalam dan luar negari dan organisasi yang peduli terhadap isu buruh migran meminta Pemerintah Indonesia untuk segera :

  1. Mewujudkan perlindungan bagi buruh migran disektor rentan melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT dan Konvensi 188 mengenai Perlindungan Anak Buah Kapal Ikan.
  2. Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang sehingga terhadap payung hukum perlindungan bagi PRT di dalam negeri;
  3. Menyelesaikan peraturan turunan UU PPMI agar dapat diimplementasikan hingga tingkat daerah.
  4. Memastikan layanan migrasi yang telah ada khususnya di daerah-daerah menjangkau buruh migran, bebas pungli, transparant dan berprinsip non diskriminatif.


Menjelang tahun politik kedepan, JBM berhadap pemerintah lebih mengedepankan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. HIDUP BURUH ! HIDUP BURUH MIGRAN INDONESIA ! HIDUP PEREMPUAN BURUH MIGRAN!

#2019PresidenProPRT #Bahas&sahkan RUUPPRT #RatifikasiKILO189 #StopPerdaganganOrang

Jakarta, 01 Mei 2018

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Rights

Narahubung:
Savitri Wisnuwardhani  : 082124714978 / 
Boby Alwy : 085283006797 / 
Daniel Awigra: 08176921757

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan