Laman

Translate

[01 - 05 - 2018] Seknas JBM : Permasalahan Buruh Migran 70% Bermuara Di Dalam Negeri

*istimewa
Redaksikota – Permasalahan yang dialami buruh migran baik yang berada di dalam maupun yang bekerja ke luar negeri khususnya non skill workers dan sektor rentan seperti pekerja rumah tangga, perkebunan, konstruksi, nelayan kapal ikan dll mengalami permasalahan yang sama, yakni ketidak adilan dan ketidaksetaraan perlakuan. Tidak sedikit buruh migran Indonesia di luar negeri yang bekerja disektor domestik tidak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan di negara tujuan bekerja.

Meskipun pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai jaring pengaman untuk melidungi buruh migran Indonesia melalui diberlakukannya UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, UU No 6 tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan diberlakukannya UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai ganti dari UU No 39/2004, namun sistem tata kelola migrasi belum maksimal dilakukan baik dari tingat desa hingga di pusat. Permasalahan buruh migran 70% bermuara di dalam negeri yang berakibat masih banyaknya kasus yang dialami buruh migran Indonesia.

“Melihat dari data BNP2TKI selama 2017 menunjukkan terjadi peningkatan kasus pada kasus buruh migran tidak berdokumen (254 kasus), Over charging (33 kasus) dan kasus overstay (33 kasus)”, Ujar Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani, melalui pernyataan Persnya di Jakarta, Selasa (1/5)

lebih lanjut Savitri menjelaskan, menurut data Kemlu dari Oktober 2014 – Oktober 2017 menunjukkan untuk kerentanan di sektor domestik : kasus overstay (7.338 kasus) , ketenagakerjaan (gaji tidak dibayar 1.754) , pidana (TPPO 1.036 kasus). Kasus yang dialami buruh migran mayoritas menimpa perempuan karena pekerjaan terbesar buruh migran sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Kasus yang dialami buruh migran Indonesa bermuara pada masih memandang pekerjaan disektor domestik bukannya sebagai suatu pekerjaan dan mendapatkan perlindungan untuk memastikan PRT mendapatkan kerja layak. Akibatnya kebijakan dan layanan migrasi condong memberikan standar perlindungan minimal.

“Diharapkan kedepan dengan adanya UU PPMI ini, tata kelola migrasi lebih berperspektif pada perlindungan maksimal dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia misalnya layanan yang tersedia tidak diskriminatif, bebas pungli dan tidak memproduksi kekerasan berbasis gender.” Ucap Savitiri

Di hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018, Jaringan Buruh Migran (JBM) mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera :

1.Mewujudkan perlindungan bagi buruh migran disektor rentan melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT dan Konvensi 188 mengenai Perlindungan Anak Buah Kapal Ikan.

2.Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang sehingga terhadap payung hukum perlindungan bagi PRT di dalam negeri;

3.Menyelesaikan peraturan turunan UU PPMI agar dapat diimplementasikan hingga tingkat daerah.

4.Memastikan layanan migrasi yang telah ada khususnya di daerah-daerah menjangkau buruh migran, bebas pungli, transparant dan berprinsip non diskriminatif.

Menjelang tahun politik kedepan, JBM berharap pemerintah lebih mengedepankan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

(imbo)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan