Laman

Translate

Media Brief terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

[ Jakarta, 12/04/2018]

Sepanjang tahun 2017, menurut data BNP2TKI, profil penempatan pekerja migran Indonesia meningkat bila dibandingkan tahun 2016 yakni sebesar 27.369 orang. Dari angka ini, jumlah perempuan yang bekerja keluar negeri meningkat sebanyak 38.169 orang pada tahun 2017. Sedangkan jumlah laki-laki yang bekerja keluar negeri mengalami penurunan sebanyak 10.800 orang. 

Profesi pekerjaan pekerja migran Indonesia (PMI) terbanyak masih didominasi sebagai pekerja rumah tangga (PRT) dari tahun ke tahun. Di tahun 2017, jumlahnya naik menjadi 46.849 orang. Hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2016. Profesi pekerjaan PMI terbesar kedua di tahun 2017 sebagai Anak Buah Kapal (ABK) yakni sebanyak 2.127 orang dan terbesar ketiga sebagai operator dengan jumlah 1.377 orang.

Kasus PMI : trend masih tinggi

Meskipun data BNP2TKI menunjukkan penurunan kasus dari tahun 2016 ke tahun 2017, namun namun diperkirakan jumlah kasus yang dialami pekerja migran tetap tinggi karena tidak sedikit PMI yang tidak mau melaporkan kasusnya kepada pemerintah. BNP2TKI menyebutkan dalam laporan tahun 2017, terdapat tiga besar negara penyumbang kasus terbanyak. Malaysia, Arab Saudi dan Taiwan. Khusus Malaysia dan Taiwan terjadi peningkatan jumlah kasus yang dialami buruh migran sebanyak 242 kasus (Malaysia) dan 188 kasus( Taiwan). 

Peningkatan kasus yang dialami PMI pada kasus pekerja migran yang tidak berdokumen (254 orang), kasus over charging (33 orang) dan kasus overstay (33 orang).  Sedangkan data kasus yang masuk ke SBMI menunjukkan sepanjang tahun 2016-2017 terjadi peningkatan kasus pelanggaran kontraktual sebanyak 1501 kasus. Selain kasus kontraktual, tidak sedikit pekerja migran mengalami kasus penganiayaan, trafficking dan sakit. Selain data dari SBMI, data monitoring media yang dilakukan JBM juga menunjukkan selama tahun 2017 kasus terbanyak yang dialami pekerja migran adalah kasus pekerja migran tidak berdokumen (6.300 kasus), kasus perdagangan orang (1.083 orang) dan kasus pekerja migran yang meninggal dunia (217 orang).

Belum lama ini, terdapat kasus buruh migran yang dihukum mati di Arab Saudi. Sudah 5 PMI (Yanti Iriyanti, Ruyati, Siti Zaenah, Karni binti Medi Tarsim dan Zaini Misran)  yang dihukum mati di Arab Saudi sejak tahun 2008 hingga 2018. Data Kemeterian Luar Negeri menyebutkan 188 kasus WNI yang terancam hukuman mati di seluruh negara. Selain data terancam hukuman mati, data kematian PMI yang jenazahnya dipulangkan ke Indonesia meningkat di tahun 2017 bila dibandingkan tahun 2016. Tahun 2016, jumlah PMI yang meninggal dan dipulangkan sebanyak 190 orang dan ditahun 2017 naik menjadi 217. 

Selain itu, masalah trafficking semakin marak khususnya di NTT. Di indikasikan, PMI yang meninggal dari NTT adalah korban trafficking. Menurut data kompilasi dari BP3TKI dan dari Solidaritas Kemanusiaan untuk korban perdagangan orang selama 8 tahun (2011 – Feb 2018), jumlah pekerja migran dari NTT yang telah meninggal sebanyak 243 kasus. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime, tahun 2016, 71 % dari korban perdagangan orang di seluruh dunia adalah perempuan dan 28 % korbannya adalah anak-anak. 

UU PPMI : kelebihan dan kelemahannya

Jaringan Buruh  Migran (JBM) adalah koalisi 27 organisasi baik itu serikat buruh migran, serikat buruh dan organisasi pemerhati buruh migran yang bekerja sejak tahun 2010 untuk mengawal kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia khususnya pengawalan revisi UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, melihat bahwa masih belum menurunnya seluruh kasus pekerja migran secara significant karena kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran belum mampu menjawab permasalahan yang terjadi dan masih minimnya pengawasan dan monitoring dalam seluruh aspek migrasi ketenagakerjaan mulai dari desa hingga di luar negeri.  

Belum lama ini, pemerintah dan DPR telah mengganti UU 39/2004 dan mengesahkan UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada tanggal  22 November 2017. Terdapat beberapa kelebihan dari UU PPMI diantaranya yang penting adalah pada bagian:
1. Definisi buruh migran dan anggota keluarga (darat dan laut) telah sesuai dengan konvensi PBB 1990
2. Konvensi PBB 1990 masuk dalam konsideran, sehingga pengakuan hak-hak buruh migran lebih banyak, salah satunya kebebasan berserikat, perlindungan sosial, ekonomi dan hukum.
3. Pendidikan dan pelatihan menjadi tanggungjawab pemerintah (sebelumnya PPTKIS),  ini akan meningkatkan keterampilan calon pekerja migran tidak hanya formalitas, dan mengurangi biaya penempatan hingga 8 juta. 
4. Peran dan pembagian peran pemerintah daerah diperluas dari tingkat desa, kabupaten dan provinsi. Untk tingkat desa, pemerintah desa diharuskan membuat layanan informasi ketenagakerjaan dan pendataan  calon PMI. Ditingkat kabupaten, terdapat LTSA (layanan terpadu satu atap) yang bertugas untuk memberikan layanan dokumen pra keberangkatan mulai dari pembuatan paspor, pengurusan BPJS hingga pemeriksaan kesehatan. 
5. Rezim asuransi swasta diganti dengan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
6. Menghapus KTKLN, kartu yang sering menjadi alat untuk pemerasan pekerja migran
7. Penguatan peran Atase ketenagakerjaan di luar negeri 
8. Pasal mengenai konflik of interest (pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan penempatan dan perlindungan dilarang merangkap sebagai komisaris/pengurus perusahaan penempatan)
9. Aturan turunan dibatasi dua tahun harus selesai. Sebelumnya ada amanat undang undang yang tidak dilaksanakan. 

Meskipun sudah terdapat perubahan-perubahan yang mengarah pada perbaikan perlindungan PMI, namun Jaringan Buruh Migran (JBM) mencatat masih terdapat kelemahan dari UU PPMI yang berpotensi tidak optimalnya perbaikan perlindungan kepada PMI terutama pada :

1. Mekanisme penempatan PMI-PRT masih harus melalui PPTKIS dan belum bisa menjadi pekerja mandiri. Tidak adanya ruang memilih mekanisme bekerja bagi PMI-PRT, memposisikan pekerja migran bukan sebagai subjek tetapi sebagai objek, yang mana seperti praktek yang terjadi hingga saat ini, ruang-ruang eksploitasi masih tetap terjadi selama tidak ada pilihan bagi PMI untuk memilih mekanisme kerja baik  yang dijamin dan dilindungi oleh negara.
2. Mekanisme penandatangan perjanjian kerja masih belum jelas diatur apakah termasuk dalam pelayanan di LTSA. Selain itu isi perjanjian kerja yang dimandatkan dalam UU PPMI belum memastikan mekanisme keberlakuan perjanjian kerja di dua negara atau hanya di satu negara serta mekanisme penyelesaian sengketanya.
3. Meskipun asuransi TKI swasta telah diganti dengan  BPJS, namun jaminan sosial bagi PMI yang ditanggung oleh BPJS belum mencakup resiko yang dialami oleh PMI yakni PHK sepihak dan gaji tidak dibayar.
4. Pelibatan peran serta masyarakat masih lemah terutama dalam hal pengawasan dan perencanaan program kerja. 
5. Sanksi pidana meskipun telah mengatur tidak hanya orang perorangan tetapi juga pejabat publik, namun sanksi pidana yang ada belum mencantumkan hukuman minimal tapi lebih kepada pencantuman hukuman maksimal sehingga penjatuhan sanksi tergantung pada subyektifitas hakim dalam memberikan keputusan.
6. Salah satu perwujudan negara hadir untuk melindungi PMI melalui penanganan kasus dan bantuan hukum. Dalam UU PPMI, bantuan hukum tidak diatur dalam bab khusus sehingga tidak detail dan jelas bagaimana cara mengakses, lembaga mana yang harus dituju, mekanisme penanganan kasus, berapa lama penyelesaian kasusnya dan apakah pemda dilibatkan dalam penanganan kasusnya serta bagaimana koordinasi penanganan kasus ditingkat daerah dan pusat.

Advokasi JBM untuk memastikan perlindungan bagi PMI terwujud

Advokasi JBM untuk memastikan perlindungan bagi PMI dilakukan dengan tiga arah. Pertama, advokasi legislasi melalui pengawalan terhadap RUU PPMI. Kedua, penanganan kasus dengan mekanisme rujukan dan ketiga, perlindungan PMI di ASEAN melalui pengawalan ASEAN instrumen bagi PMI. Kedepan, advokasi JBM beserta anggota JBM semakin ditingkatkan. untuk advokasi kebijakan, pasca pengawalan RUU PPMI selama 7 tahun, akan mengawal pada peraturan turunan dari UU PPMI yakni berupa  11 PP, 12 Permen, 2 Peraturan Presiden dan 3 Peraturan Kepala Badan. Peraturan turunan ini penting dikawal secara isi karena akan menjadi dasar pemerintah daerah membuat kebijakan dan program untuk perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.  sedangkan untuk perlindungan PMI di ASEAN, pasca disahkannya ASEAN Consensus on MW, ASEAN harus membuat rencana aksi regional dan nasional. JBM akan mengawal pelaksanaan RPA agar benar-benar memberikan perlindungan bagi PMI ditingkat ASEAN. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan