Laman

Translate

Penguatan sistem pengawasan Penempatan dan Perlindungan PMI yang efektif, responsif gender, dan inklusif di tingkat pusat dan daerah (Jurang antara Kondisi Ideal dan Realita dalam Proses Kerja Buruh Migran Indonesia)

 

Ulasan

Penguatan sistem pengawasan Penempatan dan Perlindungan PMI yang efektif, responsif gender, dan inklusif di tingkat pusat dan daerah

(Jurang antara Kondisi Ideal dan Realita dalam Proses Kerja Buruh Migran Indonesia)


Jakarta - Pada hari Kamis, 22 Mei 2025, Jaringan Buruh Migran (JBM) bekerjasama dengan KP2MI dan APINDO melalui dukungan ILO dalam Program PROTECT melaksanakan Lokakarya Tripartit dengan tema “Penguatan sistem pengawasan Penempatan dan Perlindungan PMI yang efektif, responsif gender, dan inklusif di tingkat pusat dan daerah”. Lokakarya yang dihadiri oleh berbagai stakeholder secara hybrid yaitu pemerintah, pekerja migran Indonesia, serikat buruh migran, akademisi dan asosiasi P3MI. Peserta yang hadir sebanyak 76 peserta luring dan 130 peserta daring.

Sampai saat ini permasalahan dalam proses kerja PMI sangat kompleks dari persoalan struktural sampai kultural. Persoalan struktural sosial-politik meliputi persoalan yang berakar struktur dan sistem yang mengatur proses kerja; politik regulasi atau kebijakan “dari siapa untuk siapa”; posisi struktural kelompok bisnis dalam kebijakan; dan koordinasi antar lembaga negara serta peran jaringan advokasi, ILO, dan serikat untuk buruh migran dalam penegakan hukum. Misalnya, persoalan pelaksanaan usaha oleh P3MI yang keluar dari aturan; peraturan yang kurang berpihak pada perlindungan buruh migran, melainkan berpihak pada kepentingan swasta dan investasi; atau lemahnya pengawasan dan perlindungan hak-hak terhadap PMI oleh negara. Artinya, masalah yang dialami oleh buruh migran bukan saja masalah di level individu dan di lapangan kerja, melainkan bagian dari masalah yang bersumber dari struktur politik dan kebijakan meliputi pemerintah pusat, daerah, sampai pemerintah negara penempatan. Juga struktur sosial yang dicirikan dengan ketimpangan relasi kuasa dan gender sebagai akar dari persoalan praktik kerja yang merugikan buruh migran. Persoalan sosio-kultural banyak ditemui pada buruh migran seperti kekerasan berbasis gender, hukum dan pedoman teknis yang belum responsif gender; marginalisasi dan kesulitan integrasi kultural PMI dengan budaya masyarakat negara penempatan; dan perlindungan yang belum responsif gender

Sampai saat ini permasalahan dalam proses kerja PMI sangat kompleks dari persoalan struktural sampai kultural. Persoalan struktural sosial-politik meliputi persoalan yang berakar struktur dan sistem yang mengatur proses kerja; politik regulasi atau kebijakan “dari siapa untuk siapa”; posisi struktural kelompok bisnis dalam kebijakan; dan koordinasi antar lembaga negara serta peran jaringan advokasi, ILO, dan serikat untuk buruh migran dalam penegakan hukum. Misalnya, persoalan pelaksanaan usaha oleh P3MI yang keluar dari aturan; peraturan yang kurang berpihak pada perlindungan buruh migran, melainkan berpihak pada kepentingan swasta dan investasi; atau lemahnya pengawasan dan perlindungan hak-hak terhadap PMI oleh negara. Artinya, masalah yang dialami oleh buruh migran bukan saja masalah di level individu dan di lapangan kerja, melainkan bagian dari masalah yang bersumber dari struktur politik dan kebijakan meliputi pemerintah pusat, daerah, sampai pemerintah negara penempatan. Juga struktur sosial yang dicirikan dengan ketimpangan relasi kuasa dan gender sebagai akar dari persoalan praktik kerja yang merugikan buruh migran. Persoalan sosio-kultural banyak ditemui pada buruh migran seperti kekerasan berbasis gender, hukum dan pedoman teknis yang belum responsif gender; marginalisasi dan kesulitan integrasi kultural PMI dengan budaya masyarakat negara penempatan; dan perlindungan yang belum responsif gender.



Buruh migran perempuan terutama di sektor informal seperti pekerja rumah tangga pada realitanya mengalami lapisan bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hak normatif pekerja. Mereka bekerja di ruang domestik yang umumnya tertutup sehingga sangat rentan terjadi kekerasan. Selain itu, umumnya PMI mengalami persoalan hak-hak normatif pekerja seperti tingginya beban biaya perekrutan dan penempatan; gaji tidak dibayar atau tidak terpenuhinya jaminan sosial, cuti, dan kesehatan; penipuan dan manipulasi kontrak kerja; penahanan dokumen oleh majikan atau penahanan ijazah oleh P3MI; perekrutan tidak resmi oleh agen-agen tidak berintegritas; PMI gagal berangkat, dan banyak lagi.

untuk menyikapi permasalahan diatas, maka lokakarya ini diarahkan untuk mengeksplorasi situasi pelaksanaan pengawasan terkini, tantangan dan rekomendasi model, serta area-area yang harus dikembangkan dalam menjalankan pengawasan mulai dari hulu ke hilir, termasuk pengawasan terhadap pelaksanaan MoU Indonesia–Malaysia. Selain itu, lokakarya ini bertujuan untuk mengembangkan standar dan strategi nasional dalam pelaksanaan pengawasan penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang efektif, responsif gender dan inklusif, khususnya pada sektor rentan yang tidak dicakup dalam Undang-undang Ketenagakerjaan baik di Indonesia dan negara-negara tujuan termasuk pengembangan standar dan strategi dipergunakan untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas  tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia, khususnya  jaminan perlindungan dan kesejahteraan perempuan pekerja migran pada sektor rumah tangga, keperawatan, dan manufaktur pada koridor Indonesia – Malaysia.



Pada sambutan pembuka, Savitri Wisnuwardhani, SekNas Jaringan Buruh Migran menyampaikan bahwa  Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran kebanyakan berasal dari daerah kantong kemiskinan, memiliki akses terbatas ke pendidikan dan pekerjaan. Feminisasi kemiskinan dan feminisasi migrasi masih signifikan kaitannya memperparah kondisi migrasi kerja pekerja migran Indonesia. PRT migran yang sebagian besar adalah perempuan, merupakan salah satu kelompok tenaga kerja yang paling mengalami kerentanan selama bekerja karena UUnya belum terimplementasi dengan baik. Dampak dari covid 19 masih dirasakan seperti semakin banyaknya gelombang PHK, menyebabkan semakin banyak pekerja mencari kesempatan kerja di tempat-tempat yang jauh dari kampungnya sendiri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan kondisi ekonomi yang lebih baik. Permintaan negara lain untuk PMI bekerja di negara tujuan semakin banyak, namun disisi lain informasi migrasi aman masih sangat minim diakses dan layanan migrasi belum maksimal dilakukan dari tingkat desa hingga nasional sehingga berdampak tingginya angka trafficking khususnya kasus online scamming. Oleh karenanya sangat diperlukannya sistem pengawasan yang dapat bekerja secara optimal dan melibatkan partisipasi bermakna dengan melibatkan multipihak terutama pekerja migran, organisasi  pekerja migran dalam proses pengawasan.

Dalam sesi diskusi mengenai peluang dan tantangan Tata Kelola migrasi, penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia, Armayanti   Sanusi, Ketua Solidaritas Perempuan melihat bahwa tata kelola migrasi yang responsif gender belum terimplementasi dengan baik. misalnya meningkatnya eksploitasi dan komoditi perempuan buruh migran (PBM) di pasar kerja, skema perekrutan P to P diperluas tanpa mekanisme perlindungan yang memadai (meningkatkan kasus) serta komodifikasi pasar dan berpotensi menghilangkan pasal krusial mengenai hak perempuan buruh migran (PBM). Oleh karenanya, diperlukannya transformasi dimulai dari pemerintah pusat perlu menyusun norma, mekanisme, kelembagaan pengawasan spesifik yang melibatkan organisasi masyarakat sipil (OMS)  dan serikat pekerja, pemerintah pusat juga harus menetapkan target program pengawasan secara jelas dan transparan serta mengimplementasikan pokok penting dari Konvensi ILO 81/1947 tentang pengawasan ketenagakerjaan, membangunan koordinasi dan layanan LTSA di semua wilayah, sistem pendataan PMI yang saling terintegrasi antar pemerintah pusat dan daerah, memperkuat fungsi layanan dan perlindungan di level nasional hingga desa, kebijakan anggaran yang transformatif dan responsif gender, mencabut Kepmenten 260/2015, mengesahan RUU PPRT, serta memastikan RUU PPMI ke 3 tidak menjadi kepentingan pasar yang mengkomodifikasi pekerja buruh migran.

 

Colin Fenwick, Senior Labour Administration and Social Dialogue Specialist ILO Regional Office for Asia and Pacific, menjelaskan mengenai Rencana Kepatuhan strategis melalui lima tahapan yakni 1) mengkaji mengenai pengawasan ketenagakerjaan mulai dari mandat, sumber daya, data penegakan dan informasi kepatuhan; 2) mengkaji mengenai isu dan target; 3) mengeksplorasi apa yang mempengaruhi kepatuhan dan mengapa perusahaan patuh dan tidak patuh; 4) mengeksplorasi pemangku kepentingan yang akan dilibatkan dalam pengawasan; 5) mengeksplorasi intervensi yang mendorong kepatuhan baik dalam penegakan, pendidikan, komunikasi, sistemik dan politik; dan terakhir bagaimana melaksanakan rencana kepatuhan strategis/model penegakan kepatuhan cara strategis.

Brigjen Pol Drs. Eko Iswantono, M.M, Direktur Pengawasan, Pencegahan, dan Penindakan KP2MI, menjelaskan metode pengawasan melalui penerbitan surat keterangan tidak mempunyai permasalahan CPMI/PMI selama 2 tahun terakhir guna izin CLA bagi P3MI, pengawasan secara langsung dan tidak langsung pelaksana penempatan dan lembaga pendukung penempatan, pengawasan pelaksanaan Jamsos PMI dan pelibatan masyarakat dalam rangka pengawasan melalui pengaduan/laporan masyarakat dan pengawasan perlindungan melalui penindakan berupa pengenaan sanksi administratif bagi P3MI.

Peran dan kerjasama antara aktor negara, perusahaan, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan perlindungan pada banyak aspek terhadap PMI. Aktor negara yakni pemerintah di tingkat pusat, daerah, pemerintah desa, sampai birokrasi petugas di lapangan (street-level bureaucrat) sangat penting dalam melindungi hak-hak dan proses kerja buruh migran dari perekrutan (hulu) sampai kepulangan buruh migran (hilir). P3MI dan asosiasi bisnis selain meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan usaha perekrutan dan penempatan PMI, namun juga bertanggung-jawab terhadap keselamatan, perlindungan, dan penjaminan hak-hak normatif PMI. Negara memiliki kewenangan untuk mengawasi operasi P3MI dan dapat memberikan sanksi kepada P3MI yang melanggar aturan. Peran, Serikat Buruh, komunitas pekerja migran dan organisasi yang memiliki kepedulian kepada pekerja migran, tidak kalah penting dalam menyuarakan hak-hak PMI, membantu negara dalam melindungi PMI, serta menjadi penyeimbang antara kepentingan dari P3MI dan Pemerintah dalam tata kelola migrasi pekerja Migran Indonesia.

Oleh karenanya di sesi terakhir lokakarya, juga didiskusikan rekomendasi pengawasan dari masing-masing multi pihak (pemerintah, P3MI, serikat pekerja migran/CSO/komunitas) mengenai rekomendasi/ usulan terhadap sistem/model/standar pengawasan yang akan/sedang dikembangkan oleh KP2MI untuk penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang responsif gender dan strategi pengawasan (mempertimbangkan kekuatan/modalitas yang sudah dimiliki, kelemahan/kekurangan yang perlu diperbaiki) untuk penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang responsif gender,

(Dafiq Febriali Sahl /Akademisi dan Penulis Politik Universitas Indonesia)




Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan