Laman

Translate

Sejumlah Catatan Koalisi untuk RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

Perlu penguatan terhadap implementasi UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, mulai dari keterampilan yang responsif gender, jaminan sosial, pembiayaan, pengawasan, penanganan kasus, dan sanksi pidana.

Ady Thea DA | 
30 Januari 2025

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) mulai membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI). Setelah mendengarkan pemaparan dari Tim Ahli Baleg DPR tentang arah revisi, pada hari yang sama giliran sejumlah organisasi masyarakat sipil diundang untuk memberi masukan. 

Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (Seknas JBM), Savitri Wisnuwardhani, mengatakan UU 18/2017 secara umum lebih baik ketimbang sebelumnya yakni UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). 

Menurutnya, UU 39/2004 lebih mengutamakan penempatan ketimbang perlindungan. Setidaknya UU PPMI memuat 8 bentuk perlindungan bagi pekerja migran. Yakni mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja, setelah bekerja, jaminan sosial, pembiayaan, dan hukum.

“Kami melihat UU PPMI jauh lebih baik dari UU 39/2004, tapi memang secara implementasi perlu diberikan penguatan,” kata Savitri dalam rapat dengar pendapat dengan Baleg di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (30/1/2025).

Savitri mencatat setidaknya ada 7 hal yang luput diatur tegas dan perlu diperbaiki dalam revisi UU PPMI. Pertama, prinsip responsif gender dalam setiap tahap migrasi harus muncul dalam seluruh Pasal. Prinsip ini untuk mencegah terjadinya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Kemudian memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi berdasarkan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Tujuannya untuk mengurai kasus non prosedural dan tindak pidana perdagangan orang. Kedua, pekerja rumah tangga (PRT) migran harus dilindungi dari sebelum berangkat sampai kepulangan. 

Penting untuk segera mengesahkan UU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sebagai pilar utama dalam pelindungan PRT di dalam dan luar negeri. Ketiga, pengawasan dari hlu sampai hilir harus diatur dalam peraturan khusus dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), berlandaskan prinsip HAM dan responsif gender. Absennya regulasi ini membuat berbagai kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia terus bertambah.

Keempat, beberapa sanksi pidana dalam UU PPMI tidak mengatur minimal, sehingga mengikuti putusan hakim. Bahkan pekerja migran yang menjadi korban berpeluang juga untuk dihukum. Ketentuan yang tidak jelas membuat pekerja migran bingung mengakses bantuan hukum. Pemerintah juga tidak membentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang menimpa pekerja migran. 

Kelima, koordinasi dan layanan migrasi ketenagakerjaan antar pemerintah pusat dan daerah harus ditingkatkan. Savitri mengatakan sejumlah desa yang diadvokasi organisasi masyarakat sipil berhasil membentuk perangkat dan mengalokasikan anggaran untuk perlindungan pekerja migran. 

Keenam, perlindungan bagi Sea based juga menjadi penting disorot dalam revisi UU PPMI. Ketujuh, proses revisi UU PPMI harus melibatkan partisipasi publik secara bermakna, utamanya organisasi yang fokus kerjanya di bidang advokasi pekerja migran. Partisipasi bermakna perlu diatur dalam substansi RUU PPMI, sehingga kebijakan dan program untuk pekerja migran Indonesia tepat sasaran.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno, menjelaskan sejak UU 18/2017 terbit terjadi kesenjangan informasi. Apalagi di era digital dan daring yang penggunaannya masif, diseminasi informasi bisa menjadi bagian dari perlindungan pekerja migran Indonesia. Sebaliknya, marak informasi palsu yang menjebak calon pekerja migran dalam jurang perbudakan dan perdagangan orang. 

“Diseminasi informasi ini sangat lemah sehingga masyarakat mendapat informasi palsu dari media sosial,” ujarnya.

Sampai saat ini belum ada data tunggal yang valid untuk digunakan secara resmi. Padahal aturannya jelas pendataan pekerja migran basisnya dari desa. Tapi faktanya pemerintah sulit membangun data yang terintegrasi dari daerah sampai ke pusat. Ego sektoral kementerian dan lembaga juga tinggi, menyebabkan tata kelola migrasi belum berjalan baik. 

Misalnya soal perizinan awak kapal perikanan, terjadi rebutan antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya sudah jelas menyatakan pelaut yang bekerja di kapal niaga atau perikanan masuk kategori pekerja migran.

Pengawasan perlu diperkuat melalui harmonisasi, integrasi dan keterlibatan kalangan masyarakat sipil. Praktik pengawasan kerap terbentuk kesiapan SDM, ego sektoral, dan alasan minim anggaran. Revisi UU PPMI perlu mengatur penanganan perkara pekerja migran Indonesia secara terintegrasi dengan negara penempatan. Langkah yang bisa dilakukan misalnya memberi kewenangan terhadap perwakilan RI di negara penempatan. 

Tautan berita : Sejumlah Catatan Koalisi untuk RUU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

#pengawalan #revisiuuppmi #perlindunganberbasishak #responsifgender

Second Asia-Pacific Review of Implementation of the Global Compact for Migration, Day 2


 

A stakeholders' Meeting and Second Asia-Pacific Regional Review of the implementation of the Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) was held in Bangkok on 3-4 February 2025. The Government of Indonesia was represented by the Ministry of Foreign Affairs, BPS and BPJS to present a progress report on the implementation of the GCM 2024. Unfortunately, the Ministry for the Protection of Indonesian Migrant Workers was unable to attend the meeting. The four-day meeting was also used for member state to prepare their reports to UN Headquarters in 2026 through a forum called the International Migration Review Forum (IMRF).

Jaringan Buruh Migran (JBM), represented by the JBM secretariat and Solidaritas Perempuan, had the opportunity to attend this meeting to ensure that grassroots voices are heard and implemented in the policies and programmes of the member states (governments of the countries of origin and destination).

Savitri Wisnu, JBM National Secretary, on Wednesday, 05 February 2025 on behalf of JBM, intervened in a roundtable discussion on cluster 1: Ensure migration is voluntary, safe, orderly, and regular (addressing objectives 2, 5, 6, 12, and 18).

All the activities of Second Asia-Pacific Review of Implementation of the Global Compact for Migration, can be viewed on the Youtube United Nations ESCAP : https://www.youtube.com/watch?v=fV1hjTlNgiw

********************************************************

The Intervention Speech :

Thank you chairperson. I am Savitri Wisnuwardhani, Representing Jaringan  Buruh Migran (JBM),  Coalition of 27 organizations both in Indonesia and abroad. To respond cluster 1 on Ensuring that migration is voluntary, safe, orderly and regular, from our study, The reasons why women migrant workers migrate are due to gender inequality, not being involved in the decision-making process, economic discrimination, and the impact of climate change and extractive industries.

In migration process, women migrant workers have made a positive contribution to human growth and development in countries of origin and destination.

However, female migrant workers are among the groups most at risk of exploitation, harassment and labour rights violations. Such as a vulnerable recruitment process, fee charges, the absence of rights-based and gender-responsive assistance and protection mechanisms, social and cultural isolation due to language and cultural barriers, lack of adequate and accurate information of work, restrictions on freedom of movement and association, the absence of employment law protection in the destination country, as well as the threat of being expelled from the destination country. The combination of these violations can overlap into human trafficking and forced labour.

Therefore:

1.    We urged for policies and services that eliminate discrimination against migrant workers in countries of origin and destination based on human rights principles and gender equality principles into policies, portable social protection, decent work services and welfare services. Policies made must based on evidence taken from the experiences and needs by migrant workers its self.

2.    Women migrant workers are often undervalued, de-skilled and exploited by employment agencies, we urged policies and services should promote the upgrading of skills, including up-skilling, re-skilling and skills for upward mobility.

3.    In relation to charging migrant workers, we urge for policies based on the principles of fair and ethical recruitment that recruitment fees and related costs should not be charged to migrant workers.

4.    We urged that bilateral and multilateral labour migration agreements compliance with international labour standard and UN Treaties so that all migrant workers have access to decent work, social protection, education, public services, vocational training and family reunification.

5.    Lastly, we urged to ratify the ILO Conventions (C87, C 98, C157/C102, C189, C190, C181) and International Convention on Migrant Workers to prevent abuse, harassment and violence by promoting occupational safety and health, fair and decent works, I, Thanks you.



#fairrecruitment

#gcm

#protection

#domesticworker

#advocacy

#regional

 

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan