Laman

Translate

Peran dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan

 Ulasan Diskusi Isu Krusial

Peran dan Fungsi Atase Ketenagakerjaan

Jaringan Buruh Migran (JBM) merupakan Koalisi 28 organisasi dari berbagai organisasi buruh dalam dan luar negeri serta organisasi pemerhati buruh migran. JBM lahir karena keprihatinan akan masih rendahnya perlindungan bagi buruh migran dari segi kebijakan. Dalam sejarahnya, JBM yang dulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Pada Jumat, 02 Juli 2021, pukul 14.00 WIB, JBM yang terdiri dari  SBMI, KSBSI, Migran Aid dan HRWG dan difasilitasi oleh Sekret JBM melaksanakan diskusi bersama membahas perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan PerPres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan. Diskusi ini dilakukan guna menginventarisasi kategori isu krusial dan permasalahannya, serta mencari rekomendasi. Seperti yang kita ketahui bersama, PerPres Atase Ketenagakerjaan merupakan salah satu amanah dari pasal 22 ayat (4) UU PPMI yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, Padahal sudah 3 tahun lebih UU PPMI disahkan.  Hal tersebut telah melampaui amanat yang terkandung dalam UU PPMI bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU PPMI.

Dalam diskusi ini, Awigra dari HRWG menjabarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh HRWG di 3 negara, yaitu Hongkong, Malaysia, dan Singapura pada tahun 2017 – 2018. Penelitian ini, meneliti tugas perlindungan pelayanan di negara penempatan. Atase Ketenagakerjaan, pada tahun 2017-2018 masih berpersperktif good government, belum kepada rights-based. Namun, penelitian ini masih relevan hingga saat ini karena belum ada PerPres baru. Atase Ketenagakerjaan di SOP-nya masih peraturan lama, sehingga lebih mengedepankan good government.

Terdapat 3 permasalahan bila membahas Atase Ketenagakerjaan. Pertama, tentang struktural kemudian soal tata kelola yang mengatur upah buruh murah (mempekerjakan pekerja murah). Kedua di dokumen. Ketiga problem nyata yaitu masih good government. Good Government yang dimaksud yaitu; terdapat layanan, kontak center, alamat pengaduan. Namun, begitu ada masalah  tidak diangkat  lagi.  Permasalahan-permasalahan terjadi tidak kenal hari kerja, jam kerja, bahkan hari libur. Pekerja migran  tidak bisa akses fasilitas pelayanan karena Atase Ketenagakerjaan tidak punya sensitifitas terhadap korban. Hal ini menjadi satu temuan yang nantinya dapat direkomendasikan bahwa perwakilan harus punya respons terhadap persoalan, bahkan bila perlu dapat mendorong untuk mempekerjakan pekerja migran yang punya pengalaman.

Moh. Kholili dari Migran Aid menambahkan bahwa perlu di-review soal isu strategis yang dibuat oleh masing-masing KBRI khususnya Atase Ketenagakerjaan itu perlindungan PMI atau bukan. Isu perlindungan PMI masih jauh sekali dari isu strategis di masing-masing kedutaan konsuler dan sebagainya, sehingga Atase Ketenagakerjaan hanya menjadi bagian kecil. Selain itu, perlu ada satu data, kalau bahasa sekarang itu di banyak kabupaten kota itu butuh ada satu link yang nyambung antara kabupaten kota asal PMI kemudian BP2MI sama Atase Ketenagakerjaan, sehingga ketika ada masalah yang di kabupaten kota atau asal itu bisa bunyi di BP2MI, bisa bunyi juga di Atase Ketenagakerjaan. Penting juga menempatkan orang di Atase Ketenagakerjaan yaitu yang memiliki kepekaan mau melayani dan sebagainya kepada PMI beserta keluarganya.

Selain itu, Moh. Kholili menjabarkan bahwa terdapat banyak kasus yang telah ditangani, namun Atase Ketenagakerjaan tidak memiliki kepekaan kepada korban maupun keluarga. Beberapa waktu yang lalu, terdapat kasus kematian keluarga yang sedari awal sudah dikirimi surat kepada dinas sampai ke KBRI, tetapi pada saat pemulangan, jenazahnya diserahkan kepada orang lain yang bukan keluarganya. Pentingnya orang yang tepat karena ada kasus di beberapa negara, petugas yang ada di tempat pelayanan dulunya bekerja sebagai PMI sehingga dapat menjadi bagian dari pemangku kewajiban yang bertugas disitu.

Yatini Sulistyowati (KSBSI) juga menjelaskan bahwa mandat mengenai Atase Ketenagakerjaan di dalam UU PPMI sudah cukup komprehensif. Tugas Atase Ketenagakerjaan selain diplomasi, terdapat validasi mitra kerja di mana harus mendaftar atau membuat daftar mitra kerja dan mengumumkannya secara regular. Selain itu, terdapat banyak kasus yang ditangani oleh Konsuler dibandingkan oleh Atase Ketenagakerjaan. Selain itu, beginning posisi Atase Ketenagakerjaan dinilai sangat kurang, karena mereka belum dikategorikan diplomat, sehingga masih menggunakan paspor biasa bukan paspor diplomat. Hal ini mengakibatkan Atase Ketenagakerjaan tidak dapat dikategorikan diplomat untuk melakukan diplomasi terhadap negara tujuan. Faktanya juga ada Atase Ketenagakerjaan yang memang tidak menguasai kondisi di negara penempatan. Mungkin ke depan yang perlu digaris bawahi adalah penempatan Atase Ketenagakerjaan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki potensi melakukan diplomasi serta menguasai isu-isu di negara tujuan.

Jundi dari Sekretariat Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap ke depannya dapat kembali menyelenggarakan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak masukan agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan dapat membantu serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan demi tercapainya perlindungan kepada PMI.

FGD DARING PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN

Jumat, 2 Juli 2021, DISKUSI PERUMUSAN ISU KRUSIAL, PERMASALAHAN, DAN REKOMENDASI RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ATASE KETENAGAKERJAAN – Jaringan Buruh Migran (JBM) atas dukungan Yayasan Tifa baru saja menyelenggarakan diskusi terkait perumusan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi rancangan Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan.

Sebagaimana diketahui, Perpres Tugas dan Wewenang Atase Ketenagakerjaan merupakan satu dari tiga peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, padahal sudah tiga tahun lebih UU PPMI disahkan, melampaui amanat yang terkandung dalam UU tersebut, bahwa peraturan pelaksana UU PPMI harus sudah ditetapkan paling lambat 22 November 2019, atau dua tahun sejak disahkannya UU PPMI.

Diskusi yang berlangsung pada pukul 14.15 – 15.45 WIB melalui zoom meeting ini dihadiri oleh enam partisipan, yakni Daniel Awigra (HRWG), Yatini Sulityawati (KSBSI), Bobi Anwar Maarif (DPN SBMI), Moch. Kholili (Migrant Aid Jember), Sayyid M. Jundullah (Sekretariat JBM), dan Nur Alia Rosi (Sekretariat JBM). Diskusi berlangsung dengan baik tanpa hambatan yang signifikan, terlebih partisipan antusias dan aktif memberikan pendapat dan masukan hingga kegiatan berakhir.

Daniel Awigra mengawali dengan menyatakan bahwa selama ini kebijakan masih terlalu berfokus terhadap good governance, namun seringkali masih belum dapat mengaplikasikan rights-based approach. Padahal, dalam upaya pelindungan PMI, pendekatan HAM sangat diperlukan. Beliau lebih lanjut menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga garis besar permasalahan: (a) permasalahan kelembagaan; (b) permasalahan struktural (termasuk mentalitas pejabat); dan (c) permasalahan regularisasi migrasi kerja, karena memang pada hakikatnya tugas pokok dari Atase Ketenagakerjaan adalah melakukan diplomasi berbasis HAM dalam menanggulangi irregularitas.

Yatini, di sisi lain, menyampaikan beberapa temuan menarik yang langsung beliau temui di lapangan, berdasarkan pengalaman mengunjungi Perwakilan RI di luar negeri, salah satunya KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Yatini menekankan bahwa selain diplomasi, Atase Ketenagakerjaan memiliki tugas lain sesuai amanat UU PPMI, seperti validasi mitra usaha hingga pemberi kerja yang harus diumumkan secara reguler. Meskipun permasalahan PMI akan lebih aktif ditangani oleh Atase Ketenagakerjaan, hingga saat ini, peran kekonsuleran masih sangat dominan. Atase Ketenagakerjaan belum memiliki semacam bargaining position yang cukup mumpuni dan terkesan masih terdiskriminasi, dengan konteks bahwa Atase Ketenagakerjaan adalah perwakilan Kemnaker RI di luar negeri, namun mereka berposisi di dalam struktur Perwakilan RI di luar negeri yang dibawahi oleh Kemlu RI. Apalagi Atase tidak memiliki paspor diplomatic.

Moch. Kholili mengatakan bahwa pada dasarnya, perlu terdapat reviu strategis tentang apakah pelindungan PMI sebenarnya bagian dari prioritas Perwakilan RI. Mereka kebanyakan masih jauh dari isu strategis tersebut, sehingga hanya menjadi bagian kecil dari Perwakilan RI. Terlebih, Daniel Awigra menimpali bahwa memang setiap Perwakilan RI biasanya dipengaruhi oleh siapa duta besarnya, karena sebagian duta besar ada yang lebih besar berfokus di isu ekonomi, politik, atau bahkan sosial budaya. Kemudian, penting nantinya menempatkan orang yang kompeten, memiliki kepemimpinan dan latar belakang yang mumpuni untuk dapat menjadi Atase. Moch. Kholili menimpali bahwa selama ini, dalam pelatihan dan pendidikan Calon Atase Ketenagakerjaan, isu yang menjadi perhatian masih bersifat umum, belum menyentuh spesifisitas PMI, sehingga nantinya juga perlu dilakukan pendidikan dan pelatihan bagi Atase yang mendalami spesifisitas persoalan PMI.

Moch. Kholili kemudian menambahkan bahwa, lagi-lagi soal integrasi data merupakan hal yang sangat krusial. Sangat baik apabila data yang ada di tingkat daerah bisa terintegrasi hingga ke Atase Ketenagakerjaan untuk memperkuat pelindungan PMI, artinya Pemerintah harus membuka akses yang luas kepada keluarga di Indonesia yang butuh pelayanan dari pihak-pihak yang berwenang.

Bobi Anwar Maarif berharap bahwa pengerjaan Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan ini bisa diinvervensi dengan baik oleh Presiden. Dalam mengintervesi rancangan perpres tersebut, Presiden harus mampu menunjukkan semangat yang luar biasa, sebagaimana semangat beliau ketika menerbitkan UU Ciptaker dan peraturan-peraturan pelaksananya.

Meskipun jumlah partisipan diskusi hari ini masih terbatas, kegiatan ini bukan merupakan satu-satunya kegiatan yang akan dilakukan oleh JBM dalam merumuskan isu krusial, permasalahan, dan rekomendasi Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan. JBM berharap bahwa ke depannya dapat menyelenggarkan diskusi-diskusi lanjutan yang melibatkan lebih banyak orang, sehingga dapat menjaring lebih banyak masukan agar mampu menghasilkan keluaran advokasi kebijakan yang baik dan mampu membantu serta mendorong Pemerintah terkait Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan, demi #PelindunganPMI. (SMJ)

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan