Laman

Translate

AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM KEMNAKER RI

Rabu, 5 Mei 2021, AUDIENSI PENYERAHAN DOKUMEN PERUMUSAN ISU KRUSIAL LAYANAN TERPADU SATU ATAP (LTSA) DENGAN BIRO HUKUM KEMNAKER RI. Jaringan Buruh Migran (JBM) – Sebagai bagian dari advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI, JBM atas dukungan Yayasan Tifa minggu lalu melakukan audiensi dengan Biro Hukum Kemnaker RI dengan tujuan untuk menyerahkan dokumen perumusan isu krusial LTSA.  

Audiensi yang difasilitasi oleh SekNas JBM, Savitri Wisnuwardhani dilakukan secara daring melalui zoom meeting ini dihadiri oleh 12 partisipan yang terdiri dari perwakilan anggota JBM di Jakarta dan beberapa daerah lain, Sudaryanto selaku Program Officer Bidang Pengembangan dan Tata Kelola Ekonomi Yayasan Tifa, dan pihak Kemnaker RI yang diwakili oleh antara lain Agung Sugiri dan Dhatun dari Biro Hukum serta Sigit Ary Prasetyo selaku Kasi Evaluasi Kinerja Kelembagaan TKLN.  

Dokumen perumusan isu krusial LTSA merupakan produk konkret yang telah diselesaikan melalui serangkaian FGD di Jakarta dan beberapa daerah seperti Kupang, Banyumas, Indramayu, dan daerah lainnya oleh anggota-anggota JBM dalam mendukung advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI tentang penyelenggaraan LTSA. Dokumen yang berisi 13 isu krusial beserta penjabaran berbagai detil permasalahan dan rekomendasi bagi penyelenggaraan LTSA.

Savitri mempresentasikan dokumen yang berisi 13 kategori isu krusial tersebut, yaitu: a) kebijakan LTSA; b) kelembagaan dan instansi penyelenggara; c) pendirian LTSA; d) sosialisasi dan capacity building; e) prinsip, asas, dan kode etik pelayanan; f) mekanisme informasi; g) mekanisme pendataan dan sistem database; h) aksesibilitas; i) sarana dan prasarana; j) koordinasi; k) peninjauan dan pengawasan; l) pembiayaan; m) pengaduan penanganan kasus dan bantuan hukum; dan n) peran serta masyarakat. Tidak hanya merincikan permasalahan yang ada dalam setiap kategorisasi isu, Savitri turut menyampaikan rekomendasi JBM yang tertuang dalam dokumen tersebut. Savitri berharap bahwa dokumen ini nantinya dapat menjadi rujukan bagi Kemnaker RI dalam menyusun Rancangan Permenaker tentang LTSA dan dapat melibatkan JBM dalam pembahasannya.

Agung Sugiri selaku Kasubbag Penempatan Tenaga Kerja, Biro Hukum Kemnaker RI dan Sigit Ary Prasetyo selaku Kasi Evaluasi Kinerja Kelembagaan TKLN yang tampak antusias menyambut baik dan berterima kasih atas presentasi dokumen perumusan isu krusial LTSA yang dinilai mereka akan sangat membantu bagi penyusunan Permenaker tentang LTSA.

Agung sendiri mengatakan bahwa penyusunan Rancangan Permenaker tentang LTSA akan segera dilaksanakan, mengingat Permenaker tersebut merupakan amanat dari RPP No. 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Beliau tidak hanya berjanji akan melibatkan JBM dalam rangkaian pembahasan Rancangan Permenaker, namun juga akan melibatkan JBM dalam pembahasan rancangan aturan turunan UU PPMI lainnya seperti Rancangan Perpres Atase Ketenagakerjaan hingga RPP Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal dan Pelaut Perikanan.

Selain audiensi secara daring, pada hari yang sama, JBM yang diwakili oleh Savitri juga secara seremonial melakukan penyerahan dokumen fisik perumusan isu krusial LTSA ke Kemnaker RI.   

Dokumen perumusan isu krusial LTSA ini hanyalah satu dari sekian keluaran kegiatan yang dihasilkan oleh JBM dalam rangkaian advokasi dan pengawalan aturan turunan UU PPMI. Keluaran lainnya yang akan segera diluncurkan oleh JBM adalah E-book Penelitian LTSA yang Berperspektif HAM dan Gender. JBM memiliki harapan besar bahwa LTSA ke depannya dapat dioptimalisasikan sehingga dapat memberikan layanan bagi CPMI/PMI dan keluarganya dengan mengedepankan perspektif HAM dan gender. 

Bagi yang tertarik untuk membaca dokumen perumusan isu krusial LTSA, dapat mengakses secara daring melalui tautan berikut: http://bit.ly/isukrusialLTSA_JBM


RILIS JARINGAN BURUH MIGRAN : Buruh Migran Juga Bagian Dari Kelompok Pekerja

RILIS JARINGAN BURUH MIGRAN

PERINGATAN HARI BURUH SEDUNIA 1 MEI 2021:

Buruh Migran Juga Bagian Dari Kelompok Pekerja

Jaringan Buruh Migran (JBM) Menuntut Pemerintah Serius Melindungi Hak – Hak Buruh Migran Indonesia

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 28 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serta organisasi yang peduli terhadap hak-hak PMI. JBM yang dahulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia hingga UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 18 Tahun 2017 telah disahkan. JBM turut mengawal pembentukan aturan turunan UU PPMI dan implementasinya guna mendorong pemenuhan pelindungan kepada PMI.

Setelah penerbitan Undang-Undang Omnibus Law No. 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja, sejumlah pasal dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) telah direvisi, yaitu pasal 1 angka 16, 51, 53, 57 dan ditambah 89a. Pasal-pasal yang direvisi mengatur ketentuan tentang: Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), kementerian Pemberi izin, izin kantor cabang P3MI, mekanisme perpanjangan izin, dan penyesuaian dengan perizinan berusaha.

Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko yang merupakan aturan turunan dari UU Ciptaker, ternyata perubahannya tidak hanya ketentuan dari 5 pasal yang telah direvisi, tetapi juga menambahkan mekanisme sanksi administratif dan melemahkan sanksi pidana yang telah diatur dalam UU PPMI.

Bobi Anwar Ma’arif, SBMI menyayangkan adanya pelemahan sanksi pidana yang diatur UU PPMI menjadi sanksi administratif (pasal 535 PP No. 5/2021). Pasal dari UU PPMI yang berdampak akibat UU Ciker diantaranya adalah:
1. Pasal 82 huruf a dan b, yaitu menempatkan PMI pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja, dan sengaja menempatkan CPMI untuk jabatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan atau peraturan perundang undangan;
2. Pasal 86 huruf b dan c, yaitu menempatkan Calon PMI ke negara tertentu yang dinyatakan tertutup, dan menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa SIP2MI;
3. Pasal-pasal pidana penempatan pada poin 1 dan 2 diubah, dilemahkan dari sanksi pidana menjadi sanksi administratif berupa penghentian sementara;
4. Walaupun pemerintah telah menerbitkan aturan turunan PP Pelindungan PMI, namun hingga saat ini PP tentang Pelindungan ABK atau Pelaut Awak Kapal sebagaimana dimandatkan dalam pasal 64 UU PPMI, yang seharusnya telah diterbitkan pada 22 November 2019 lalu. Diharapkan, aturan turunan lainnya segera diselesaikan dengan melibatkan serikat buruh dan organisasi yang peduli PMI.

Savitri Wisnu, JBM menyayangkan dengan aturan turunan Ciker yakni PP No. 5/2021 sangat berdampak pada isi aturan turunan UU PPMI yakni PP Pelindungan PMI No. 59/2021. Misalnya didalam pasal 86 PP No 5/2021 disebutkan bahwa beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kejahatan hanya dikenai sanksi administratif. Padahal dalam pasal 82(2) UU 18/2017 Tentang Pelindungan PMI sangat jelas disebutkan bahwa bagi perorangan yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi pidana. Dengan diturunkannya derajat sanksi dari pidana kepada administratif dalam PP Pelindungan yang merupakan aturan turunan UU PPMI sangat berdampak pada meningkatnya kasus perdagangan orang. Selain itu, dengan dualisme perbedaan sanksi pada objek yang sama dapat menimbulkan multitafsir dan penegakan hukum yang tidak optimal untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.

Ayu Eza, LBH Jakarta menjabarkan permasalahan yang ditimbulkan oleh Omnibus Law UU Cipta Kerja semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan khususnya bagi Para Pekerja Migran, khususnya pada permasalahan pengawasan. Bagaimana tidak, dengan adanya UU Cipta Kerja dan kini ditambah lagi dengan adanya PP No. 5/ 2021 nyatanya justru semakin mempersempit peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama sebelum adanya UU Cipta Kerja telah banyak permasalahan terkait penerbitan izin P3MI yang berujung pada praktik-praktik pelanggaran hak Pekerja Migran dengan minimnya kepastian hukum atas peran pengawasan masyarakat yang ada kini dan dipermudahnya penerbitan izin P3MI berpotensi besar memperkeruh permasalahan perlindungan Perkerja Migran yang telah ada saat ini.

Selain itu, Yatini Sulistyowati, KSBSI menyambut baik inisiatif negara untuk menambah jaminan sosial bagi PMI seperti yang tertuang pada PP no. 59/ 2021 pasal 10 terkait dengan Jaminan Sosial kepada PMI. PP ini menyebutkan bahwa Jaminan Sosial untuk PMI dilakukan melalui sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan. Namun, harapannya dengan kehadiran PP ini, dapat mempermudah PMI dalam menerima manfaatnya. Mengingat selama ini, PMI sendiri masih minim dalam menerima manfaat program jamsos PMI terhadap PMI itu sendiri. Total premi yg dibayarkan PMI tidak sebanding dengan kecilnya klaim yg diterima PMI. Berdasarkan data yang dihimpun Agustus 2017-Januari 2021, penerimaan iuran dari PMI sebesar Rp. 263,48 M sedangkan claim hanya sebesar 21, 37 M, hanya 0,081% (CNN Indonesia: 29/02/2021). Hal ini akibat persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi. PMI masih dijadikan lahan bisnis insurance oleh negara, sementara manfaatnya belum banyak diterima PMI. Program JKK dan JKM harus menjadi tanggungan negara, karena PMI bekerja keluar negeri karena keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri dan sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warganya sebagaimana tenaga kerja dalam negeri program JKK dan JKm menjadi tangggungan Pemberi kerja.

Putri, Solidaritas Perempuan menjabarkan bahwa hingga hari ini negara masih belum memperlihatkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan sistem perlindungan bagi perempuan buruh migran. Usaha keras buruh migran dan masyarakat sipil yang tercantum dalam UU PPMI justru dikacaukan begitu saja melalui pengundangan UU Cipta Kerja. Dengan UU Cipta Kerja negara berupaya mengendorkan sistem pengawasan terhadap P3MI, yang mana selama ini menjadi aktor utama dalam melanggar hak buruh migran terutama perempuan. Tentu hadirnya PP No. 59/ 2021 masih belum bisa menyelesaikan penindasan perempuan buruh migran selama pengawasan terhadap aktor utama yang melanggar hak buruh migran justru dikendorkan secara sistemik. Apalagi pengaturan mengenai perlindungan masih belum diatur dan justru dimandatkan ke peraturan lainnya. Selain itu, situasi ini juga semakin memperparah penindasan terhadap perempuan buruh migran melalui kebijakan diskriminatif Kepmenaker 260/2015 yang hingga saat ini masih dipertahankan negara tanpa mau menyelesaikan akar permasalahannnya. Pada peringatan Hari Buruh Internasional harus menjadi satu peringatan bersama bahwa kita perlu memperkuat gerakan kita bersama perempuan buruh migran dalam merebut hak-hak perlindungan yang selama ini kita perjuangkan.

Jakarta, 01 Mei 2021

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right

Narahubung 
Bobi Alwy : 0852-8300-6797
Savitri Wisnuwardhani  : 0821-24714978
Yatini : 0853-1230-3209
Ayu Eza : 0821-1134-0222
Putri Fahimatul : 0857-8593-4496

Anggota Jaringan


SBMI, KSPI, KSBSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, Kotkiho, BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRR, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, JBM Jateng, PBH-BM, Migrant Aids, Institute Ecosoc

Contact Information


Telp / Fax : 021-8304153

jaringan@buruhmigran.or.id
jari.pptkiln@gmail.com

Alamat Sekretariat


d/a The Institute for Ecosoc Rights.
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No. 17 Jakarta Selatan