Paska UU PPMI disahkan : Perlindungan masih
Menggantung
Sejak
disahkan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) pada tanggal 22
November 2017, hingga sekarang peraturan turunan UU PPMI belum jelas proses
pembahasannya. Hingga sekarang masyarakat sipil belum dilibatkan dalam proses
pembahasan peraturan turunan.
Meskipun
mekanisme perlindungan telah dituangkan dalam di UU PPMI, namun isi UU PPMI
yang ada lebih banyak mengatur mengenai perlindungan secara umum. Sedangkan
peraturan yang lebih detail, akan dituangkan dalam peraturan turunan. Hingga
sekarang pemerintah masih membahas peraturan turunan dan belum menentukan
secara jelas kapan disahkannya peraturan turunannya, selain itu keterlibatan
organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan belum dilibatkan. Sedangkan bila
melihat peraturan turunan dari UU 39/2004, masih ada peraturan turunan yang
dibuat setelah 11 tahun UU No 39/2004 dibuat.
Disaat
belum jelasnya isi substansi peraturan turunan UU PPMI, pemerintah justru
sedang mencari formulasi yang bagus untuk membuka penempatan PMI ke Timur
Tengah. Dimana pemerintah sendiri telah membuat kebijakan penyetopan pengiriman
pekerja migran perseorangan ke Timur Tengah melalui Kepmenaker No 260 tahun
2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna
Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
Jaringan
Buruh Migran (JBM) sendiri melihat upaya pemerintah untuk membuka penempatan
PMI ke Timur Tengah, meski hanya masih dalam proses pembahasan, harus
dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pekerja migran, organisasi buruh migran
dan pemerhati buruh migran. Selain itu jaminan perlindungan juga sudah tertuang
dalam UU PPMI pasal 31 dimana penempatan PMI harus berdasarkan tiga persyaratan
yakni memiliki peraturan yang melindungi pekerja asing, memiliki perjanjian
tertulis antara pemerintah negara tujuan dan pemerintah negara Indonesia dan
memiliki sistem jaminan sosial/asuransi yang melindungi pekerja asing. Bila
melihat data kasus, Data BNP2TKI tahun 2017 menunjukkan di tahun 2016 jumlah
kasus pekerja migran yang bekerja di Arab Saudi sebanyak 1.145. Ditahun 2017
turun menjadi 809. Meskipun turun, kasusnya tetap banyak padahal pengiriman
pekerja migran di stop. Data dari SBMI mencatat selama bulan Jan-Juni 2018
terdapat 225 kasus yang masuk ke SBMI. Artinya setiap bulan sekitar 38
pengaduan yang masuk.
Savitri Wisnuwardhani,
SekNas JBM
melihat pasca disahkannya UU PPMI, perlindungan bagi PMI masih mengantung. Hal
ini dikarenakan belum adanya peraturan turunan yang dijadikan landasan untuk
mengimplementasikan perlindungan dari hulu ke hilir. Misalnya bila melihat
pasal yang berbicara mengenai layanan terpadu satu atap (LTSA) terdapat 3
mandat yakni mewujudkan efektifitas penyelenggarakan penempatan, pengurusan
dokumen dan percepatan kualitas pelayanan. Tiga mandat ini masih sangat umum
sedangkan bila melihat praktek LTSP misalnya di Indramayu, PMI masih harus
didampingi oleh sponsor dalam mengurus dokumennya yang seharusnya PMI dapat
mengurus dokumen sendiri atau PMI tidak mengurus ke LTSA dan langsung bekerja
melalui jalur tidak prosedural. Hal ini terjadi antara lain karena 1) PMI tidak
memahami apa manfaat dengan mengurus dokumennya sendiri di LTSA, 2) keberadaan LSTP/LTSA masih jauh dari kantong PMI sehingga
membutuhkan biaya transportasi yang cukup mahal untuk menjangkaunya, 3) masih
terbatasnya sarana dan prasarana pendukung terutama alur informasi yang
dipahami oleh PMI ketika mengurus dokumen di LTSP/LTSA. Diharapkan dalam
peraturan turunan mengatur mengenai standar pelayanan minimal mulai dari
informasi, mekanisme dan tata cara pengurusan dokumen kerja hingga kinerja
layanan yang mengedepankan layanan publik berperspektif HAM dan gender serta
transparant dan bebas pungli.
Boby Alwy, SBMI mengatakan Undang undang PPMI harus segera diimplementasikan melalui
penerbitan peraturan pelaksanana atau aturan turunan. Kementerian
Ketenagakerjaan mengatakan akan menyederhanakan 28 aturan turunan menjadi 14
aturan turunan. Pada suatu kesempatan Menteri Ketenagakerjaan pernah mengatakan
penyelesaiannya sampai bulan agustus 2018, lalu ada statemen satu tahun. Ini
jadinya tidak pasti. Lebih cepat lebih baik dan pada prosesnya melibatkan
masyarakat. Jika tidak diselesaikan sebelum tahun politik, nanti akan lama
lagi. Terlebih limitasi waktu penyelesaian akan berdampak pada implementasi di
pemerintah provinsi, daerah, dan desa.
Okky Wiratama, LBH Jakarta menekankan masih tingginya kasus-kasus
yang belum terselesaikan karena mekanisme penanganan kasusnya menggunakan jalur
mediasi dimana banyak PPTKIS tidak hadir dalam proses mediasi, petugas mediasi
tidak memiliki perspektif korban dan tidak ada sanksi yang tegas bagi
perusahaan yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan mediasi. Dalam peraturan turunan
nanti harus jelas dan tegas diatur mengenai mekanisme penanganan kasusnya
dimana peran mediator harus jelas, terakreditasi.
Risca Dwi, Solidaritas
Perempuan
menegaskan bahwa jika pemerintah ingin menekan angka kasus-kasus pekerja migran
maka pemerintah perlu lebih serius untuk menerapkan UU PPMI sesuai dengan
semangat perlindungan dalam Konvensi Migran 1990 dan CEDAW karena 70%-80%
pekerja migran adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT (domestik). Langkah penyelesaian yang bersifat parsial
dan tidak menyentuh akar persoalan perlu dihindari pemerintah agar kerentanan
dan kasus pekerja migran dapat teratasi. Optimalisasi peran pemerintah daerah
perlu didorong dan difasilitasi karena 80% persoalan migrasi ada di tingkat
daerah, fungsi pengawasan perlu diperkuat terutama pada pelaksanaan tugas dan
tanggungjawab pemerintah termasuk dalam tata kelola migrasi. Selian itu, fungsi
pengawasan juga perlu melibatkan masyarakat sipil agar pelindungan terhadap
pekerja migran indonesia bersifat partisipatif, transparent, dan inklusif.
Terakhir,
Yatini Sulistyowati, KSBSI menyoroti mengenai kebijakan asuransi yang beralih kepada BPJS melalui
Permenaker No 7 tahun 2017. Menurutnya, Permenaker No. 7 tahun 2017 belum
menjadi jaring pengaman bagi Pekerja Migran Indonesia. Pengajuan Klaim terhadap
kecelakaan kerja, dirasa menyulitkan bagi PMI karena harus ada nota dari KBRI
dan bukti- bukti asli dari rumah sakit. Sedangkan di banyak kasus yang KSBSI
temui, KBRI hampir tidak pernah mengeluarkan nota atau surat pengantar bagi PMI
yang akan di pulangkan ke Indonesia yang mengalami permasalahan. Selain itu
masih sulitnya PMI mendapatkan bukti bukti asli pengobatan dan medical record dari
rumah sakit dimana dia di rawat.
Selain itu terdapat pembedaan manfaat
peserta BPJSTK antara PMI dan buruh dalam negeri. Untuk buruh dalam negeri,
manfaat yang didapat tidak hanya pengobatan ketika sakit tapi juga mencover
penyakit yang ditimbulkan akibat kerja. Misalnya peserta BPJSTK dapat
mengajukan klaim untuk meneruskan perawatannya. Sayangnya manfaat itu tidak
didapat oleh PMI. Selain itu resiko jaminan sosial bagi PMI yang dicover oleh
BPJS masih terbatas. Sedangkan bila dibandingkan Permenaker No 7 tahun 2010,
jaminan resiko yang didapat PMI lebih besar hingga 13 resiko. Oleh karenanya,
Pemerintah harus segera merevisi Permenaker No. 7 tahun 2017. Pertanggungan
bagi PMI juga harus disesuaikan dengan peraturan turunan UU SJSN, UU BPJS dan
yang terpenting harus disesuikan dengan UU PPMI Pasal 29.
Jakarta, 05 Juni 2018
JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)
Narahubung :
Savitri Wisnuwardhani : 082124714978 / Boby
Alwy : 085283006797 / Oky Wiratama :
081265410330/ Risca Dwi : 081219436262 / Yatini : 085312303209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar