Persoalan pokok dalam hal perlindungan pekerja migran pada dasarnya adalah tidak adanya sistem perlindungan yang dibangun pemerintah selama ini, yang secara komprehensif melindungi Pekerja Migran Indonesia sebagai pekerja, sebagai manusia seutuhnya, dan sebagai warga negara. Ketiadaan sistem perlindungan ini telah melahirkan rantai panjang persoalan Pekerja Migran Indonesia, di mana 80 persen dari mata rantai itu berada di dalam negeri.
Tidak adanya sistem perlindungan ini salah satunya berakar pada substansi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI dimana pengelolaan penempatan yang diserahkan kepada swasta dengan minimalis peran dan tanggungjawab Negara yang akhirnya melahirkan kekerasan dan eksploitasi sistematis terhadap Pekerja Migran Indonesia. Ini terbukti dari beberapa data berikut:
- Data kematian Pekerja Migran di Malaysia yang dikeluarkan KBRI di Kuala Lumpur menunjukkan, dari 513 Pekerja Migran yang mati di Malaysia pada tahun 2008, mayoritas (87,1%) adalah Pekerja Migran berdokumen atau Pekerja Migran legal. Ini berarti, bekerja melalui jalur resmi sebagaimana dimandatkan UU 39/2004 sama sekali tidak menjamin keselamatan Pekerja Migran. Jalur resmi migrasi Pekerja Migran ke luar negeri nyatanya sarat dengan eksploitasi.
- Data korban perdagangan orang yang dicatat oleh International Organisation of Migrant (IOM) sepanjang tahun 2005 – 2009 menunjukkan bahwa 67,24% korban perdagangan manusia di Indonesia bermodus penempatan Pekerja Migran dan dilakukan oleh PJTKI resmi. Ini menunjukkan, sistem penempatan Pekerja Migran membuka peluang bagi praktik perdagangan orang. Sementara UNICEF mencatat, jumlah perdagangan perempuan dan anak Indonesia setiap tahun mencapai 100.000 orang. Kalau setiap tahun sedikitnya 400.000 Pekerja Migran ditempatkan di luar negeri, berarti hampir 25 persen Pekerja Migran yang dikirim ke luar negeri adalah korban perdagangan orang.
- Hasil studi terhadap para mantan Pekerja Migran dari berbagai negara tujuan juga menunjukkan, Pekerja Migran yang bekerja secara resmi mengalami masalah yang tidak jauh berbeda dengan para Pekerja Migran yang bekerja tanpa melalui prosedur. .
Kematian dan kasus-kasus kekerasan terhadap Pekerja Migran akan terus berulang apabila tidak ada upaya untuk memperbaiki sistem perlindungan bagi Pekerja Migran. Sistem perlindungan ini sulit diwujudkan selama UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri itu masih menjadi acuan bagi kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan Pekerja Migran. Beberapa kelemahan mendasar dari substansi UU 39/2004 tersebut adalah :
- Memandang dan memperlakukan Pekerja Migran tak lebih sebagai komoditi
- Mayoritas (61%) pasal dan ayat bicara tentang bisnis penempatan Pekerja Migran
- Menyerahkan perlindungan Pekerja Migran pada PJTKI dan dengan cakupan perlindungan yang sangat terbatas
- Tidak bisa dipercaya baik sisi moralnya maupun sisi hukumnya karena tidak transparan dan tidak konsisten dalam mengatur migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Undang-undang ini sarat dengan peluang korupsi karena mengamanatkan pemerintah untuk mengatur, melaksanakan sekaligus mengawasi dirinya sendiri
- Menciptakan konflik kelembagaan antara Depnakertrans dan BNP2TKI
- Tidak mengakui peran serta masyarakat dan peran pemerintah daerah
- Sangat miskin perspektif gender dan mengabaikan kelompok rentan, khususnya PRT yang merupakan mayoritas Pekerja Migran.
Didorong oleh keprihatinan terhadap merosotnya kualitas perlindungan, meningkatnya kasus yang dialami Pekerja Migran, dan berlangsungnya konflik kelembagaan dalam pengurusan migrasi kerja, serta adanya inisiatif DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, berbagai organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari komponen serikat buruh, serikat buruh migran, akademisi, dan NGO, menyatukan diri dalam satu jaringan kerja, yaitu Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI, di samping tetap terus memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus yang terus-menerus menimpa para buruh migran dan perjuangan memenangkan kepentingan para buruh migran dalam berbagai fora di luar negeri, terutama ASEAN.
Adanya jaringan yang menyatukan berbagai komponen masyarakat sipil diharapkan dapat mendorong revisi UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI ke arah perlindungan efektif bagi Pekerja Migran Indonesia sebagai manusia, pekerja, dan warga negara RI tapi sekaligus terus memperjuangkan para buruh migran yang langsung berhadapan dengan berbagai masalah dan perjuangan regional ..**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar